Melestarikan Bahasa Daerah, Hidupkan ”Jembatan” Antargenerasi
Bahasa daerah adalah kekayaan negeri. Pelestarian bahasa daerah antargenerasi menjadi tanggung jawab bersama seluruh anak bangsa.
Ancaman punahnya bahasa daerah sebagai bahasa ibu perlu segera diantisipasi agar ”jembatan” antargenerasi tidak putus. Merevitalisasi bahasa daerah melalui lingkungan pendidikan dan komunitas menjadi salah satu solusi.
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar dan memiliki bahasa daerah terbanyak kedua di dunia. Hasil pemetaan yang dilakukan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tahun 2019 mencatat, terdapat 718 bahasa daerah yang tersebar dari ujung Pulau Sumatera hingga Papua.
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar dan memiliki bahasa daerah terbanyak kedua di dunia.
Sebanyak 60 persen adalah bahasa daerah di Pulau Papua. Hal ini menunjukkan betapa kayanya khazanah budaya bangsa kita. Bahasa daerah yang merupakan bahasa ibu (mother tongue) tak sekadar sebagai alat komunikasi, tetapi juga menjadi identitas yang kaya akan nilai, norma, adat kebiasaan, dan kearifan lokal suatu daerah.
Bahkan, bahasa daerah bisa menjadi instrumen pemersatu bangsa. Di awal pandemi, lewat bahasa daerah, komposer Eka Gustiwana berhasil mencuri perhatian publik lewat lagu kompilasi yang merangkum 42 bahasa daerah di seluruh Indonesia dengan menyebut kalimat ”Di Rumah Aja”.
Lewat karya tersebut, bahasa daerah telah menyatukan bangsa untuk bersama-sama melawan pandemi dengan mengingatkan untuk di rumah saja demi memutus meluasnya penyebaran virus korona.
Ratusan bahasa daerah juga menjadi bukti kekayaan bahasa di Indonesia dengan jumlah yang terus bertambah. Linimasa pemetaan bahasa daerah di Indonesia menunjukkan, pada 1972 Lembaga Bahasa Nasional (sekarang Badan Bahasa) memetakan ada 418 bahasa daerah dan dialek berdasarkan inventarisasi bahasa pada 1969 hingga 1971.
Ratusan bahasa daerah juga menjadi bukti kekayaan bahasa di Indonesia dengan jumlah yang terus bertambah.
Dua puluh tahun kemudian, persiapan pemetaan dilakukan untuk proses pemetaan tahap I (1993-1997). Setelah sempat terhenti selama tujuh tahun karena krisis moneter dan politik, pemetaan dilakukan kembali untuk tahap II (2006-2013) dan hasil pemetaan tahun 2013 ditemukan ada 578 bahasa daerah.
Pemetaan bahasa yang merupakan langkah awal untuk memotret distribusi variasi bahasa secara nasional terus dilanjutkan ke tahap III (2014-2018) dengan lebih banyak titik pengamatan. Hasilnya, dari 646 bahasa daerah yang ditemukan pada 2016 berkembang menjadi 652 tahun 2017 dan 668 tahun 2018.
Selanjutnya pada tahap percepatan/penyelesaian tahun 2019 telah bertambah lagi 50 bahasa baru sehingga bahasa daerah yang dimiliki bangsa Indonesia tercatat 718 bahasa. Penambahan paling banyak terjadi di Indonesia bagian timur, separuhnya dari provinsi Papua.
Bahasa sebagai bagian dari kebudayaan merupakan entitas yang tak berhenti mengalami perubahan dan bertransformasi sesuai dengan perkembangan zaman. Mengutip laman Badanbahasa.kemdikbud.go.id, proses pembentukan dan perubahan bahasa daerah terus berlangsung disebabkan oleh dua hal.
Bahasa sebagai bagian dari kebudayaan merupakan entitas yang tak berhenti mengalami perubahan dan bertransformasi sesuai dengan perkembangan zaman.
Pertama, dinamika internal sebagai hasil dari interaksi antarunsur kebudayaan serta antara unsur-unsur kebudayaan tersebut dan lingkungan sekitarnya. Kedua, adanya pengaruh-pengaruh eksternal yang terjadi karena semakin meningkatnya kemajuan teknologi komunikasi dan perubahan global di berbagai aspek kehidupan.
Baca Juga: Membunuh Rasa Malu Berbahasa Ibu
Ancaman kepunahan
Dinamika bahasa daerah tersebut tidak pernah serupa antara daerah satu dan daerah yang lain, antara kelompok bahasa daerah satu dan yang lainnya, serta antara kurun waktu. Oleh karena itu, meski ada penambahan, bahasa daerah yang kita miliki juga menghadapi ancaman kepunahan.
Berdasarkan data Kemendikbudristek tahun 2020, dilihat dari vitalitasnya (kemampuan bertahan hidup), puluhan bahasa daerah di Indonesia dalam kondisi tidak aman. Dalam arti, eksistensinya kian memudar.
Rinciannya, 25 bahasa masih dalam status aman, bahasa masih dipakai semua anak dan semua orang dalam etnis itu; sedangkan 19 bahasa lainnya dalam status stabil, tetapi terancam punah, dan 3 bahasa mengalami kemunduran.
Selain itu, 25 bahasa dalam kondisi terancam punah, 6 bahasa lainnya dalam status kritis, bahkan 11 bahasa daerah sudah punah (tidak ada penuturnya). Sembilan dari 11 bahasa daerah yang telah punah berasal dari Maluku. Bahasa dalam kondisi kritis antara lain bahasa Reta (Nusa Tenggara Timur), Saponi (Papua), Ibo (Maluku), Meher (Maluku), dan Letti (Maluku).
Kepulauan Maluku dan Papua, yang memiliki ragam bahasa daerah terbanyak, paling banyak pula menghadapi ancaman kepunahan.
Kepulauan Maluku dan Papua, yang memiliki ragam bahasa daerah terbanyak, paling banyak pula menghadapi ancaman kepunahan. Dari 42 bahasa yang berstatus terancam punah, kritis hingga sudah punah, semuanya berada di Indonesia bagian Timur, sebanyak 38 persen adalah bahasa daerah dari Pulau Papua dan 36 persen dari Pulau Maluku.
Tak hanya di Indonesia, UNESCO menyebutkan sebanyak 200 bahasa di dunia mengalami kepunahan dalam 30 tahun terakhir dan 607 bahasa dalam status tidak aman. Selain itu, diperkirakan sekitar 3.000 bahasa lokal akan punah di akhir abad ini.
Ancaman kepunahan bahasa daerah ini tak lepas dari kondisi penuturnya yang semakin ditinggalkan generasi muda. Bahasa daerah yang berstatus terancam punah semua penuturnya berusia 20 tahun ke atas dengan jumlah yang sedikit.
Sementara generasi tuanya tidak berbicara dengan anak-anak atau antara mereka sendiri menggunakan bahasa daerah. Adapun bahasa daerah yang statusnya kritis, penuturnya 40 tahun ke atas dan jumlahnya sangat sedikit.
Ancaman kepunahan bahasa daerah ini tak lepas dari kondisi penuturnya yang semakin ditinggalkan generasi muda.
Bahasa daerah yang semakin ditinggalkan oleh generasi mudanya terekam dalam Jajak Pendapat Kompas, Februari 2020, dengan hanya 7,5 persen Gen Z (di bawah 30 tahun) yang menggunakan bahasa daerah dalam percakapan sehari-hari. Dengan sebagian besar alasan (51 persen) tidak menguasai bahasa daerah tersebut sejak kecil.
Hal ini menjadi catatan bahwa transmisi bahasa daerah antargenerasi tidak terjadi. Kelangsungan hidup bahasa-bahasa itu sangat bergantung pada transmisi lisan antargenerasi.
Tak dapat dimungkiri, perpindahan penduduk dari daerah asal dan menetap di perkotaan yang multietnis atau terjadinya perkawinan antaretnis menjadikan bahasa Indonesia sering kali dipilih sebagai bahasa sehari-hari di dalam keluarga.
Hal ini berdampak dua hal, yaitu hilangnya penutur bahasa daerah dan tak adanya regenerasi pengguna bahasa daerah kepada keturunan.
Baca Juga: Ikhtiar agar Generasi Muda Gemar Berbahasa Daerah
Revitalisasi
Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk melestarikan bahasa daerah tersebut, terutama mengaktifkan kembali penuturnya dari generasi muda agar ”jembatan” antargenerasi tidak terputus.
Jajak Pendapat Kompas juga menangkap 42 persen pandangan publik bahwa salah satu upaya efektif untuk melestarikan bahasa daerah adalah melalui jalur pendidikan, baik sebagai bahasa pengantar atau menjadi mata pelajaran di sekolah.
Revitalisasi bahasa daerah melalui jalur pendidikan ini menjadi salah satu terobosan untuk merespons kondisi kritis bahasa daerah yang diimplementasikan Kemendikbudristek dengan meluncurkan Merdeka Belajar Episode ke-17.
Pada 2022 ini ada 38 bahasa daerah di 12 provinsi yang menjadi obyek revitalisasi dengan model revitalisasi yang tidak seragam. Sasaran revitalisasi bahasa daerah ini meliputi 17.955 kepala sekolah, 1.175 pengawas, 29.370 guru, serta 1,5 juta siswa di 15.236 sekolah.
Di samping itu juga menyasar 1.491 komunitas penutur bahasa daerah untuk mendukung pewarisan bahasa di daerah-daerah yang vitalitas bahasanya mengalami kemunduran, terancam punah, dan kritis. Misalnya bahasa-bahasa di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, dan Papua. Pewarisan bahasa daerah melalui jalur pendidikan ini bisa dilakukan secara terstruktur lewat pembelajaran ataupun dilakukan secara integratif dan adaptif melalui muatan lokal ataupun ekstrakurikuler.
Pewarisan bahasa daerah melalui jalur pendidikan ini bisa dilakukan secara terstruktur lewat pembelajaran ataupun dilakukan secara integratif dan adaptif melalui muatan lokal ataupun ekstrakurikuler.
Selain itu, diperlukan juga dukungan dalam bentuk penerbitan buku-buku bacaan berbahasa daerah, bahkan sejak anak usia dini. Tahun 2017, misalnya, Kemendikbud menerbitkan sebanyak 55 buku cerita berbahasa daerah sebagai bahan ajar pendidikan anak usia dini (PAUD).
Dengan pewarisan bahasa daerah yang menarik, diharapkan generasi muda menjadi penutur aktif yang semakin bangga menggunakan bahasa daerah dan ikut melestarikannya sebagai salah satu kekayaan bangsa. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Ajak Anak Berbahasa Daerah sejak Dini