Momentum Perbaikan Kualitas Udara Pascapandemi Covid-19
Kualitas udara di dunia sempat membaik di masa awal merebaknya pandemi Covid-19. Sayangnya, seiring pulihnya aktivitas masyarakat, kualitas udara global kembali menurun.
Mulai pulihnya aktivitas masyarakat dunia dan kegiatan ekonomi membuat kualitas udara global kembali menurun. Padahal, di masa awal merebaknya pandemi Covid-19, kualitas udara di dunia sempat membaik. Pola pembangunan berbasis lingkungan dan ekonomi hijau perlu ditingkatkan untuk menghadirkan udara bersih pascapandemi.
Penurunan kualitas udara global tecermin dari Laporan Kualitas Udara Dunia 2021 yang dirilis lembaga IQAir. Kualitas udara ini diukur dari bahan pencemar udara PM 2,5, yaitu partikel halus di udara yang ukurannya 2,5 mikron atau lebih kecil.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan standar polutan PM 2,5 yang merupakan batas aman kandungan bahan pencemar di udara maksimal 5 mikrogram per meter kubik. Batasan tersebut dinilai aman bagi lingkungan dan kehidupan manusia, termasuk mengurangi risiko penyakit karena infeksi pernapasan.
Dari 117 negara di seluruh dunia yang dipantau, hanya ada tiga negara yang memenuhi pedoman WHO. Demikian pula kota yang berhasil menjaga kualitas udaranya sangatlah sedikit (3,7 persen). Negara yang paling berpolusi di dunia adalah Bangladesh dengan kadar polutan mencapai 76,9 mikrogram per meter kubik. Indonesia menempati posisi ke-17 dengan kandungan PM 2,5 sebesar 34,3 mikrogram per meter kubik.
Temuan IQAir tersebut menjadi pukulan keras bagi banyak pihak sebab mayoritas negara di dunia belum bisa menyediakan udara aman dan sehat bagi warga negaranya. Polusi udara menjadi salah satu ancaman kesehatan terbesar umat manusia. Setiap tahunnya, ada 7 juta kematian terjadi karena penyakit yang disebabkan oleh polusi udara. Udara kotor turut menyebabkan makin parahnya penyakit, mulai dari asma hingga kanker.
Efek domino dari polusi udara adalah penurunan usia harapan hidup manusia. Laporan State of Global Air 2020 yang disusun oleh Health Effects Institute(HEI), The Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME), dan University of British Columbia menyebutkan bahwa polusi udara mampu mengurangi usia manusia hingga 1 tahun 8 bulan. Pantauan kualitas udara di Indonesia menunjukkan bahwa ada risiko berkurangnya usia hidup penduduk Indonesia hingga 1 tahun 9 bulan.
Berkurangnya usia ini disebabkan beberapa faktor, salah satunya adalah perubahan fisiologi tubuh manusia, seperti rusaknya respons kekebalan tubuh dan kapasitas darah pembawa oksigen karena penumpukan partikel kecil polutan di tubuh manusia. Kondisi ini menggambarkan makin banyaknya partikel pencemar di udara sangat berpengaruh terhadap kesehatan tubuh manusia.
Kesehatan publik
Timbulnya sejumlah penyakit tidak lepas dari kualitas udara yang sangat buruk. Implikasi dari polusi udara adalah kematian jutaan orang setiap tahunnya yang tercatat oleh WHO. Setidaknya sembilan dari 10 orang hidup di area dengan kualitas udara buruk menurut WHO. Polusi udara di ruang terbuka turut menyumbang 4,2 juta kematian penduduk di seluruh dunia setiap tahunnya. Selain polusi udara, kondisi fisik tubuh manusia diperburuk dengan aktivitas merokok.
Polusi udara juga memiliki dampak serius di ruang tertutup, seperti dapur. Hingga kini, ada sedikitnya 2,6 juta orang masih memasak dengan kayu bakar dan kompor. Akibatnya, pengaruh pencemaran udara skala domestik ini terus meningkat hingga menyebabkan lebih dari 3,8 juta orang meninggal dunia karena penyakit akibat polusi.
Dua penyakit paling lazim muncul adalah pneumonia dan penyakit jantung iskemik, yaitu masing-masing 27 persen. Tak hanya dua penyakit tersebut, sedikitnya 20 persen orang menderita penyakit paru obstruktif kronik dan 18 persen orang terkena stroke. Sisanya, ada 8 persen orang yang menderita kanker paru-paru.
Riset tentang pengaruh polusi udara terhadap kesehatan manusia terus dilakukan, mengingat risiko perburukannya juga besar. Laporan State of Global Air 2020 menempatkan polusi udara di peringkat keempat sebagai faktor penyebab kematian terbesar manusia. Urutan pertama adalah penyakit tekanan darah tinggi, dilanjutkan rokok dan produk tembakau, serta penyakit metabolisme karena diet bermasalah. Faktor risiko lainnya setelah polusi udara adalah diabetes, obesitas, disfungsi ginjal, malnutrisi, dan minuman keras.
Pascapandemi
Situasi pandemi Covid-19 sebenarnya membawa dampak yang sangat besar bagi kehidupan manusia. Dari sisi pencemaran udara, pembatasan mobilitas dan kegiatan ekonomi menyumbang perbaikan kualitas udara. Laporan Kualitas Udara Dunia 2020 mencatat 65 persen kota-kota besar menunjukkan penurunan polutan, sementara 84 persen negara di dunia turut memperlihatkan tren perbaikan serupa.
Beberapa kota besar yang mengalami penurunan kadar polusi udara adalah Singapura (25 persen), Beijing (23 persen), Bangkok (20 persen), Tokyo (17 persen), dan Jakarta (11 persen). Di sisi lain, ada sejumlah wilayah mengalami sedikit penambahan polusi udara, tetapi lebih disebabkan pembakaran hutan dan lahan, yaitu Sao Paulo (5 persen), Los Angeles (1 persen), dan Melbourne (1 persen).
Menginjak tahun kedua pandemi, aktivitas di berbagai sektor ekonomi mulai meningkat seiring perbaikan pencegahan, penanganan perawatan, dan vaksinasi. Namun, pulihnya aktivitaspublik dan kegiatan ekonomi membuat kualitas udara kembali menurun.
Pantauan polutan PM 2,5 terlihat meningkat secara global sepanjang 2021. Tren tersebut diprediksi terus meningkat di tahun-tahun mendatang sebab ada lonjakan aktivitas setelah sempat terhenti sepanjang akhir 2019 hingga 2020.
Selain PM 2,5, ada satu bahan pencemar udara lain yang patut diperhitungkan, yaitu nitrogen dioksida. Apabila polutan PM 2,5 adalah bahan yang melayang di udara dengan ukuran 24 kali lebih kecil dari diameter satu helai rambut manusia, maka nitrogen dioksida adalah gas beracun yang dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar fosil.
Lembaga Greenpeace melakukan pengamatan kandungan nitrogen dioksida di berbagai lokasi di dunia, termasuk tujuh lokasi di Indonesia. Dua lokasi di antaranya berada di PLTU Cilegon dan PLTU Suralaya. Terlihat bahwa sepanjang periode April-Juni 2020, saat awal pandemi merebak, kadar nitrogen dioksida di udara turun hingga 20 persen.
Namun, pengamatan di periode yang sama tahun 2021 menunjukkan hasil penurunan kualitas udara. Kadar nitrogen dioksida di Jakarta meningkat tajam hingga 54 persen, sementara di Bandung meningkat 34 persen. Wilayah lain yang turut menunjukkan signifikansi peningkatan adalah Semarang (31 persen) dan Surabaya (20 persen).
Peningkatan kadar polutan PM 2,5 dan nitrogen dioksida pascapandemi menjadi bahan evaluasi bersama negara-negara di dunia, terutama Indonesia. Kadar polutan PM 2,5 yang cukup tinggi pada 2021 menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan kualitas udara buruk di dunia.
Penurunan kualitas udara pascapandemi menjadi tantangan menghadirkan kesehatan publik yang perlu segera diatasi. Seiring terkendalinya pandemi, aktivitas ekonomi dan kegiatan masyarakat diperkirakan akan terus meningkat. Akibatnya, kadar polutan dalam udara juga berpotensi turut bertambah.
Pemerintah perlu segera merumuskan strategi pengelolaan energi dan sumber-sumber pencemar agar peningkatan polutan dapat dijaga di bawah ambang batas aman bagi masyarakat. Kualitas udara yang sehat di masa-masa pandemi Covid-19 dapat digunakan sebagai momentum untuk mengingatkan kembali seluruh masyarakat guna menghadirkan udara bersih. Pola pembangunan berbasis lingkungan dan ekonomi hijau perlu ditingkatkan oleh berbagai pihak, mulai dari pemerintah, swasta, hingga level individu. (LITBANG KOMPAS)
Baca Juga: Secercah Indah di Tengah Wabah