Menguatkan Kembali Mandat Rakyat
Pemilu adalah mekanisme pemberian mandat rakyat kepada penyelenggara negara. Menunda pemilu berarti menciptakan kekosongan siapa yang berhak menjalankan mandat rakyat tersebut.
Setidaknya diskursus ini beranjak dari pernyataan tiga pimpinan partai politik yang memunculkan wacana penundaan pemilihan umum dengan alasan menjaga momentum pemulihan ekonomi akibat pandemi tidak terganggu. Jika pemilu digelar, dikhawatirkan akan mengoyak agenda membangkitkan kembali kehidupan ekonomi.
Layaknya orkestrasi, wacana penundaaan pemilu ini diikuti dengan klaim bahwa usulan tersebut merupakan masukan masyarakat.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Seperti yang sudah menjadi konsumsi publik, wacana penundaan pemilihan umum ini pertama kali dilontarkan oleh Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia pada Januari lalu. Ia menyerukan usulan penundaan pemilu dengan alasan ada masukan dari pengusaha.
Sebulan kemudian, tepatnya pada 23 Februari 2022, Wakil Ketua DPR Abdul Muhaimin Iskandar yang juga Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa dalam keterangan pers di Kompleks Parlemen mengusulkan Pemilu 2024 ditunda satu atau dua tahun agar momentum perbaikan ekonomi tidak hilang dan kemudian tidak terjadi freeze (pembekuan ekonomi) untuk mengganti stagnasi selama dua tahun masa pandemi.
Sehari kemudian, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto menyatakan akan mengusulkan perpanjangan masa jabatan presiden hingga tahun 2027 atau bahkan 2028.
Hal ini berpijak dari aspirasi para petani sawit di Kabupaten Siak, Riau saat bertemu Airlangga. Ibarat lari estafet, esoknya, usulan ini kemudian dilanjutkan oleh pernyataan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan yang mendukung penundaan pemilu karena kondisi pandemi Covid-19 dan biaya pemilu yang besar. Ia berdalih persetujuan atas usulan itu setelah mempertimbangkan masukan dari masyarakat.
Layaknya orkestrasi, wacana penundaaan pemilu ini diikuti dengan klaim bahwa usulan tersebut merupakan masukan masyarakat. Klain ini menjadi bungkus utama yang dikemukakan elite-elite politik di atas.
Namun, klaim ini kemudian diuji melalui sejumlah survei yang kemudian cenderung memperlemah argumentasi bahwa ide tersebut adalah kemauan rakyat.
Salah satunya hasil jajak pendapat Kompas yang kemudian menguji apakah usulan yang disampaikan terkait penundaan pemilihan umum itu merupakan ekspresi dari para pemilih partai-partai tersebut. Hasilnya, sebagian besar dari responden pemilih dari masing-masing partai politik, cenderung menolak usulan penundaan pemilu yang diungkap oleh ketiga pimpinan partai politik tersebut.
Pemilih dari masing-masing partai politik, cenderung menolak usulan penundaan pemilu yang diungkap oleh ketiga pimpinan partai politik tersebut.
Dari tiga partai politik dimana ketua umumnya tercatat sudah menyampaikan ke publik mendukung penundaan pemilu, terekam bahwa sebagian pemilih mereka menolak pemilihan umum ditunda. Mereka lebih menginginkan pemilihan umum tetap digelar 2024. Dari pemilih PKB hampir separuh menyetujui jadwal pemilu tidak perlu diundur.
Hal yang sama juga tercatat pada kelompok pemilih Partai Golkar, sebanyak 66,7 persen di antaranya menolak pemilu ditunda. Senada dengan pemilih PKB dan Golkar, pemilih PAN juga lebih banyak yang menolak wacana penundaan pemilu.
Baca juga : Jajak Pendapat ”Kompas”: Publik Berharap Pemilu Tetap Digelar 2024
Dominasi partai
Tidak sejalannya aspirasi pemilih partai dengan langkah elite partai menjadi gambaran bahwa partai politik lebih dominan memainkan peran dibandingkan pemilih dan publik.
Apalagi, pernyataan Muhaimin Iskandar yang dikutip media makin memperkuat hal tersebut. ”Kalau partai-partai kompak, (Presiden Jokowi) pasti setuju. Tapi kalau partai-partai enggak kompak, ya, enggak tahu,” kata Muhaimin ke sejumlah awak media saat ditemui di Pendopo Kabupaten Kediri, Jawa Timur, Senin (7/3/2022).
Pernyataan Muhaimin ini semakin menegaskan bahwa partai politik cenderung menguasai aspirasi publik. Bahkan, pernyataan Muhaimin ini direspons oleh Ketua Dewan Perwakilan Daerah AA La Nyalla Mahmud Mattalitti dalam sebuah webinar bertajuk “Pemilu 2024: Jadi atau Ditunda?” yang digelar oleh Forum Guru Besar dan Doktor Insan Cita, Minggu malam (20/3/2022).
Dalam sambutannya, La Nyala mengutip pernyataan Muhaimin di atas. Menurutnya, kalimat tersebut menjadi salah satu permasalahan fundamental bangsa ini, yakni hegemoni partai politik, sekaligus tirani mayoritas partai politik di Senayan, adalah persoalan mendasar bangsa ini.
”Kalimat tersebut menunjukkan bagaimana negara ini bisa diatur suka-suka atas dasar kekompakan partai politik saja. Asal partai kompak, mau apa saja pasti bisa,” ungkap La Nyala.
Hegemoni partai politik, sekaligus tirani mayoritas partai politik di Senayan, adalah persoalan mendasar bangsa ini.
Dari disinilah kegelisahan kemudian muncul, lalu di mana sebenarnya kedaulatan rakyat hakiki rakyat Indonesia? Apakah rakyat hanya sekadar dibutuhkan suaranya setiap lima tahun sekali?
Padahal, sejarah mencatat, partai politik lahir dari rakyat. Hal ini bermula dari lahirnya Maklumat Wakil Presiden Muhammad Hatta pada 3 November 1945 soal dibukanya kesempatan lahirnya partai-partai politik untuk memperjuangkan aspirasi rakyat.
Baca juga : Publik Menolak Usulan Penundaan Pemilu 2024
Mandat
Rekam jejak sejarah kelahiran partai politik itu menegaskan bahwa rakyatlah yang menjadi pemilih sah mandat dan kedaulatan. Hal ini juga diperkuat dengan adanya Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 hasil amendemen yang menyatakan ”Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Lahirnya amendemen terhadap pasal ini tidak lepas dari pergulatan pemikiran dalam proses perubahan UUD 1945, khususnya terkait gagasan kedaulatan rakyat.
Pasal di atas merupakan hasil perubahan ketiga UUD 1945. Sebelumnya, Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 di atas berbunyi ”Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Hasil amendemen ini menunjukkan terjadinya perubahan mendasar terkait gagasan tentang kedaulatan rakyat dalam UUD 1945.
Perubahan ini makin menegaskan bahwa pemilik kekuasaan tertinggi dalam negara adalah rakyat yang pelaksanaannya sesuai dengan Undang-Undang Dasar. Perubahan ini kemudian diekspresikan ke sejumlah hal, di antaranya dengan perubahan cara rakyat memberikan mandat terhadap penyelenggara kekuasaan negara.
Pemilik kekuasaan tertinggi dalam negara adalah rakyat yang pelaksanaannya sesuai dengan Undang-Undang Dasar.
Di antaranya adalah pemilihan presiden, yang sebelumnya dipilih melalui MPR, kini rakyat langsung memberikan mandatnya kepada presiden melalui pemilihan langsung.
Semangat yang sama juga diekspresikan melalui cara rakyat memilih anggota legislatif. Jika sebelumnya hanya melalui partai politik dengan mencoblos gambar partai, sejak Pemilu 2009 pemilih bisa langsung turut menentukan siapa calon legislatif yang ia percaya dan sukai untuk menduduki kursi parlemen. Hal ini makin menegaskan fungsi partai politik, salah satunya adalah melakukan agregasi politik terhadap aspirasi dan kehendak rakyat.
Tentang posisi rakyat inilah filosof Immanuel Kant mengatakan bahwa rakyat adalah pemilih satu-satunya kekuasaan dan kedaulatan. Kedaulatan tersebut kemudian diserahkan pada negara yang dibentuk melalui mekanisme pemilihan yang adil dan jujur sebagai bagian dari demokrasi.
Kant juga menyatakan, tujuan negara adalah menegakkan dan menjamin kebebasan warga negaranya yang diatur dalam perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan sendiri merupakan penjelmaan kemauan atau kehendak rakyat. Jadi, pendek kata, rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi atau kedaulatan ada di tangan rakyat.
Peraturan perundang-undangan merupakan penjelmaan kemauan atau kehendak rakyat.
Lalu, jika memahami konsep kedaulatan ini, mewakili siapa elite-elite partai politik yang memunculkan wacana penundaan pemilu jika sebagian besar konstituennya sendiri cenderung menolaknya? Terlepas dari pro dan kontra soal wacana penundaan pemilihan umum, meletakkan kembali rakyat sebagai pemilik mandat menjadi sebuah keharusan. Mandat tersebut ”dipinjamkan” kepada partai politik selama lima tahun sesuai ketentuan undang-undang.
Di ujung akhir menjalankan mandat tersebut, pemegang kekuasaan penyelenggara negara wajib mengembalikan kepada rakyat melalui seleksi dan kontestasi melalui pemilihan umum. Pemilu adalah mekanisme untuk merebut mandat rakyat secara sah. Legitimasi penyelenggara negara lebih terjamin dan kuat hanya melalui pemilu, bukan yang lain. (LITBANG KOMPAS).
Baca juga : Akhiri Polemik Penundaan Pemilu