Peluang Geliat Wisata Sejarah Setelah Pandemi
Pengembangan wisata sejarah memasuki babak baru sejak periode pandemi. Transformasi berbasis kebermanfaatan menjadi kunci untuk membangkitkan geliat wisata sejarah jika pandemi berakhir.
Dalam dua dekade terakhir, pariwisata berbasis sejarah telah melalui beberapa periode pengembangan. Kini, wisata sejarah memasuki periode baru jika pandemi dinyatakan berakhir.
Di tengah mulai meningkatnya minat masyarakat pada edukasi dan wisata berbasis sejarah, periode ini perlu dimanfaatkan sebagai momentum kebangkitan wisata sejarah di Indonesia.
Dalam dua dekade terakhir, sejarah sebagai produk ilmu pengetahuan semakin terbuka untuk lebih dekat dengan masyarakat.
Sejarah sebagai produk ilmu pengetahuan semakin terbuka untuk lebih dekat dengan masyarakat.
Jika pada era Orde Baru sejarah belum sepenuhnya dapat dinikmati karena intervensi penguasa, selama sekitar dua dekade terakhir secara perlahan masyarakat kian mengenal sejarah daerah hingga sejarah nasional lebih dekat, tak hanya sebagai bahan pembelajaran, melainkan juga sebagai tujuan wisata berbasis edukasi.
Dalam praktiknya, pengembangan wisata sejarah dihadapi tantangan dan proses yang tidak mudah. Proses pengembangan ini dapat dibagi menjadi beberapa periodisasi.
Pertama, dalam kurun waktu 1998-2002, pada periode ini sebagian daerah di Indonesia masih merumuskan arah pengembangan wisata sejarah setelah krisis ekonomi yang dilalui. Sebagian peninggalan bersejarah saat itu juga masih dalam kondisi kurang terawat.
Pada September 1998, misalnya, harian Kompas saat itu mencatat sekitar 60 persen dari 160 bangunan kuno di kawasan cagar budaya Jakarta Kota berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Salah satu faktor penyebab kerusakan adalah kerusuhan beberapa bulan sebelumnya pada Mei 1998.
Baca juga : Menyusuri Kota Tua
Pada September 2000, kekhawatiran terkait kondisi obyek peninggalan bersejarah juga muncul dari tokoh masyarakat di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau. Jejak-jejak kebesaran Kerajaan Melayu (Riau-Lingga) saat itu terancam hilang karena sebagian lahan dibangun untuk pemukiman nelayan.
Pada periode ini, kurang terawatnya obyek peninggalan bersejarah tidak terlepas dari krisis ekonomi yang sempat melanda Indonesia di tahun 1998. Akibatnya, ketersediaan anggaran juga terbatas untuk merawat sejumlah benda atau obyek peninggalan bersejarah di berbagai daerah.
Pada periode berikutnya, sejak tahun 2003-2010, secara perlahan perbaikan mulai banyak dilakukan pada berbagai obyek peninggalan bersejarah di Indonesia. Kondisi ini Indonesia yang telah mulai stabil setelah melalui gejolak krisis 1998 berbanding lurus dengan semakin membaiknya perawatan berbagai peninggalan bersejarah di Indonesia.
Perbaikan Pasiraman Umbul Binangun Tamansari di kompleks Keraton Yogyakarta, misalnya, tahap pertama perbaikan obyek bersejarah ini mulai dilakukan sejak Januari 2004. Perbaikan saat itu menghabiskan anggaran sekitar Rp 2,5 miliar. Jika dibandingkan dengan nilai tukar dollar AS terhadap rupiah saat itu, anggaran perbaikan tersebut kini setara dengan Rp 4,2 miliar.
Kondisi ini Indonesia yang mulai stabil setelah gejolak krisis 1998 berbanding lurus dengan semakin membaiknya perawatan berbagai peninggalan bersejarah di Indonesia.
Kesadaran untuk melakukan perbaikan dan pemanfaatan obyek bersejarah pada periode ini juga terlihat di Kota Padang, Sumatera Barat. Pada April 2009, ide untuk merevitalisasi kota tua di Kota Padang digulirkan oleh pemerintah provinsi saat itu. Targetnya, bangunan yang didirikan sejak zaman penjajahan Belanda dapat diperbaiki tanpa meninggalkan arsitektur kuno yang telah melekat sebagai identitas bangunan.
Pada periode ini, pemberitaan media massa juga cukup masif untuk memberikan informasi terkait kerusakan dan upaya perbaikan obyek peninggalan bersejarah. Kondisi ini juga berdampak pada kian dikenalnya obyek peninggalan bersejarah di tengah-tengah masyarakat.
Baca juga : Momentum Bangkitkan Wisata Sejarah
Transformasi digital
Periode berikutnya adalah era transformasi digital sejak tahun 2011 hingga 2019. Pada periode ini, pemanfaatan teknologi digital mengiringi pengembangan wisata sejarah di Indonesia.
Penggunaan media sosial sebagai sarana promosi dan edukasi, hingga mulai maraknya pembahasan wisata sejarah oleh masyarakat di media sosial menjadi nilai tambah dan bagian tak terpisahkan dalam pengembangan wisata sejarah di Indonesia.
Pemanfaatan media sosial cukup efektif untuk mendekatkan sejarah dengan masyarakat. Sejalan dengan itu, terjadi kenaikan jumlah pengunjung pada sejumlah obyek wisata sejarah di Indonesia.
Museum Nasional, misalnya, jika pada tahun 2012 dan 2013 jumlah pengunjung ke museum ini tidak pernah melebihi 1,5 juta pengunjung setiap tahunnya, pada tahun 2017 dan 2018 jumlah pengunjung ke museum ini selalu di atas 1,8 juta pengunjung per tahun. Dalam kurun waktu enam tahun, jumlah pengunjung ke museum ini naik hingga 40 persen.
Kondisi serupa terjadi di sejumlah museum dan lokasi tujuan wisata sejarah lainnya di luar Jawa. Museum Goedang Ransum di Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, misalnya, jika pada tahun 2010 jumlah pengunjung hanya mencapai 5.640 orang, pada 2019 mengalami lonjakan hingga lebih dari tiga kali lipat mencapai 19.073 pengunjung.
Pemanfaatan media sosial cukup efektif untuk mendekatkan sejarah dengan masyarakat.
Bisa dikatakan, periode transformasi digital sekaligus menjadi babak baru dalam pengenalan wisata sejarah di tengah-tengah masyarakat. Periode ini juga berbanding lurus dengan meningkatnya minat masyarakat untuk melakukan wisata sejarah, meski belum secara merata dirasakan pada berbagai daerah di Indonesia.
Berikutnya, pada periode pandemi sejak tahun 2020 hingga saat ini, wisata berbasis sejarah pada akhirnya benar-benar memasuki babak baru. Di tengah keterbatasan ruang gerak dan penutupan berbagai obyek wisata, pengelola wisata sejarah mencoba melakukan transformasi dengan menghadirkan berbagai layanan yang dapat diakses secara digital.
Ragam inovasi yang dilakukan, di antaranya, wisata virtual melalui aplikasi hingga Youtube, diskusi daring, hingga pameran daring. Cara ini cukup efektif untuk menjaring masyarakat guna mengenal dan menikmati peninggalan obyek bersejarah di Indonesia.
Bahkan, jajak pendapat Litbang Kompas pada 34 provinsi di Indonesia pada Desember 2021 lalu merekam sebanyak 1 dari 4 responden pernah melakukan wisata sejarah secara virtual dalam setahun terakhir. Kondisi ini menggambarkan bahwa wisata sejarah secara virtual mulai dikenal di tengah-tengah masyarakat.
Baca juga : Upaya Bangkitkan Perekonomian Jalan Tunjungan Surabaya yang Legendaris
Periode baru
Kini, di tengah pelonggaran kebijakan dan wacana peralihan status pandemi menjadi endemi, wisata sejarah di Indonesia memasuki periode baru.
Di tengah mulai meningkatnya antusiasme masyarakat untuk melakukan wisata sejarah, layanan digital yang diberikan oleh sejumlah pengelola obyek wisata sejarah dapat menjadi opsi bagi masyarakat untuk menikmati peninggalan bersejarah secara virtual.
Kondisi ini tentu menjadi peluang sekaligus tantangan. Pada satu sisi, jumlah pengunjung untuk melakukan wisata sejarah berpeluang mengalami kenaikan setelah pandemi. Perkiraan ini mengacu pada tren kenaikan jumlah pengunjung pada sejumlah obyek wisata bersejarah di Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun terakhir sebelum pandemi.
Jika tren ini berlanjut, terbuka peluang peningkatan minat masyarakat untuk melakukan wisata sejarah. Apalagi, jajak pendapat Litbang Kompas akhir tahun lalu merekam hampir separuh responden tidak pernah melakukan wisata sejarah secara langsung akibat khawatir situasi pandemi.
Artinya, berakhirnya pandemi boleh jadi menjadi momen yang akan dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat untuk melepas rindu melakukan wisata sejarah, baik ke museum maupun cagar budaya di setiap daerah.
Jajak pendapat Litbang Kompas akhir tahun lalu merekam, hampir separuh responden tidak pernah melakukan wisata sejarah secara langsung akibat khawatir situasi pandemi.
Peluang lainnya adalah pengembangan wisata sejarah berbasis digital. Hal ini masih tergolong baru dan belum dikenal oleh seluruh masyarakat.
Jika wisata sejarah berbasis digital terus dikembangkan seperti saat pandemi, maka hal ini dapat semakin mendekatkan masyarakat untuk mengenal peninggalan bersejarah lintas daerah. Artinya, masyarakat memiliki dua pilihan, yakni melakukan kunjungan langsung atau secara virtual.
Peluang ini sangat mungkin dimanfaatkan mengingat Indonesia memiliki banyak potensi wisata sejarah yang dapat dikembangkan dan dimanfaatkan dalam ruang virtual. Selain ribuan cagar budaya, Indonesia juga memiliki museum dan desa adat yang dapat dikembangkan menuju arah wisata virtual.
Namun, pemanfaatan peluang ini bukannya tanpa tantangan andai pandemi berakhir. Untuk kunjungan fisik secara langsung, tantangan utama adalah pemberian pemahaman kepada masyarakat terkait protokol kesehatan di masa endemi.
Baca juga : Ramadhan dan Siasat Politik Pemerintah Kolonial
Pemahaman ini penting diberikan, khususnya bagi masyarakat yang baru pertama kali melakukan wisata sejarah sejak tahun 2020 lalu.
Mengapa pemberian pemahaman ini penting? Sepanjang pandemi, kekecewaan diungkapkan oleh sebagian pengunjung wisata sejarah di sejumlah obyek melalui media sosial. Pasalnya, dengan membayar harga tiket masuk normal, ruang gerak pengunjung dibatasi sebagai bagian dari protokol kesehatan.
Hal ini salah satunya tampak di Candi Borobudur, Jawa Tengah. Dengan membayar harga tiket masuk normal, pengunjung hanya boleh menikmati wisata hingga pelataran atau halaman candi.
Jika pembatasan ini masih dilakukan, tentu edukasi pada pengunjung perlu dilakukan agar tidak berujung pada kekecewaan wisatawan. Atau, cara lainnya adalah menurunkan harga tiket masuk agar tidak memberikan dampak kekecewaan yang cukup besar dari pengunjung.
Kualitas sumber daya manusia yang ahli dalam bidang teknologi dan informasi menjadi tantangan untuk syarat pengembangan wisata sejarah berbasis digital di Indonesia.
Tantangan lainnya adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia yang ahli dalam bidang teknologi dan informasi. Hal ini dibutuhkan sebagai syarat pengembangan wisata sejarah berbasis digital di Indonesia.
Bagaimanapun, periode setelah pandemi adalah harapan baru bagi geliat wisata sejarah di Indonesia. Pengelola obyek wisata sejarah tentu perlu terus melakukan transformasi agar peninggalan masa lampau tetap dapat dinikmati dengan cara kekinian tanpa mengubah nilai-nilai sejarah yang diwarisi. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Merawat Eksistensi Museum Kala Pandemi