Urgensi Menjawab Krisis Pangan Nasional
Indonesia dilukiskan Koes Plus memiliki tanah surga, sehingga tongkat kayu dan batu pun bisa menjadi tanaman. Optimisme lirik lagu tersebut agaknya kini justru mengundang pertanyaan di tengah gejolak komoditas pangan.
Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam. Namun di sisi lain Indonesia masih menghadapi tingkat kerawanan pangan.
Belakangan ini, gejolak harga pangan memenuhi pemberitaan media massa dan menjadi narasi di kalangan masyarakat. Komoditas minyak goreng yang mengalami gejolak harga dan stok sejak November 2021 silam masih saja hangat diperbincangkan. Apalagi, setelah pemerintah melepas harga minyak goreng mengikuti mekanisme pasar yang membuat harganya melonjak tinggi.
Dalam kurun waktu yang hampir bersamaan, muncul juga persoalan kelangkaan komoditas lainnya seperti kedelai, daging sapi, dan cabai. Sejumlah faktor menjadi penyebab persoalan pangan tersebut. Mulai dari kelangkaan bahan pangan dan yang terjadi secara global, hingga beragam persoalan domestik. Kurangnya pasokan dalam negeri pun tak jarang menjadi alasan naiknya harga-harga hingga kelangkaan barang.
Hal ini menjadi ironi, lantaran Indonesia kaya akan potensi sumber daya alam. Indonesia menjadi salah satu negara dengan karunia hamparan daratan yang sangat luas. Merujuk data Bank Dunia 2018, total area Indonesia seluas 1,88 juta kilometer persegi atau 1,4 persen dari luas lahan seluruh dunia. Angka itu pun membawa Indonesia masuk dalam jajaran 15 negara dengan lahan terluas di dunia, bersama China, Amerika Serikat, India, hingga Meksiko.
Dari total luas tersebut, sepertiga bagian lahan di Indonesia digunakan untuk pertanian. Idealnya, luasan tersebut mampu mencukupi kebutuhan pangan masyarakatnya dan tidak terus-menerus dihadapkan dengan gejolak stok pangan.
Ketahanan pangan
Dalam catatan Kompas, bukan kali ini saja Indonesia mengalami persoalan kelangkaan bahan pangan. Tahun 2008, misalnya, kelangkaan minyak goreng serta tahu dan tempe pernah terjadi. Harga minyak goreng melejit karena tingginya harga minyak sawit mentah (CPO) dunia. Situasi yang sama berulang di tahun 2011.
Kelangkaan bahan pokok juga terjadi pada komoditas tahu dan tempe. Dua produk pangan harian masyarakat itu pernah absen hadir di sejumlah warung angkringan dan pasar tradisional pada tahun 2008, lantaran harga kedelai yang menjadi bahan bakunya melambung tinggi. Komoditas lainnya, yaitu gandum, harganya pun naik tak terbendung. Dengan pengalaman tersebut, Indonesia semestinya mempunyai cukup cara untuk mengatasi problem kelangkaan bahan pokok.
Sayangnya, hal serupa masih terus menjadi kendala dari tahun ke tahun. Ketahanan pangan tak kunjung terwujud. Berdasarkan laporan Economist Impact, skor indeks ketahanan pangan global (GFSI) di Indonesia pada 2021 berada di skor 59,2 (kategori moderat). Skor indeks tersebut turun 2,2 poin dari tahun sebelumnya.
Padahal, di tahun pertama pandemi (2020), skor menunjukkan bahwa indeks ketahanan pangan Indonesia sudah mencapai kategori baik (61,4). Bahkan nilainya naik satu poin jika dibandingkan tahun sebelumnya, dan menduduki peringkat ke-62 dari 113 negara yang dipantau.
Kini, peringkatnya pun merosot menjadi ke-69 seiring dengan skor yang menurun. Posisi Indonesia jauh di bawah negara tetangga Singapura (15) dan Malaysia (39). Jika dibandingkan dengan negara-negara di Kawasan ASEAN, Indonesia hanya lebih unggul dari Myanmar (72), Kamboja (81), dan Laos (91).
Bahkan, jika dibandingkan dengan beberapa negara yang memiliki karakteristik tak jauh berbeda, seperti banyaknya jumlah penduduk, posisi Indonesia masih relatif tertinggal. Brasil, misalnya, negara dengan penduduk sebanyak 209 juta jiwa itu, menduduki peringkat ke-63 dengan skor 60,0 di tahun 2021.
Sama dengan Indonesia, Brasil juga merupakan salah satu negara yang dilimpahi area lahan yang luas. Dari luas lahan 8,3 juta km persegi, lebih dari seperempat bagiannya digunakan untuk lahan pertanian. Jika dibandingkan dengan populasinya, maka luas lahan pertanian di Brasil sebesar 0,011 km persegi per kapita di tahun 2018.
Begitu halnya dengan China. Negara berpenduduk 1,4 miliar jiwa dan menjadi yang tertinggi di dunia itu juga dilimpahi daratan terluas. Dari 9,4 juta km persegi, lebih dari separuhnya digunakan untuk pertanian. Sehingga, luas lahan pertanian menjadi 0,0048 km persegi per orang.
Meskipun luas lahan per kapita lebih kecil dari Brasil, namun peringkat GFSI China lebih unggul, yakni ke-34. Boleh jadi, teknologi turut berperan dalam mewujudkan ketahanan pangan di Negeri Tirai Bambu tersebut.
Seperti Jepang, negara berpenduduk terbanyak ke-10 itu boleh dikatakan sangat berhasil mewujudkan ketahanan pangan. Negara yang terkenal dengan teknologi yang canggih itu menduduki peringkat ke-8 untuk GFSI 2021. Padahal, luas lahan pertanian hanya 0,0003 km persegi per orang.
Yang tak kalah menarik adalah India. Negara dengan populasi terbanyak kedua di dunia itu menduduki peringkat GFSI ke-71 dengan skor 57,2. Meski dengan lahan yang tak seluas Brasil dan China, namun hampir dua pertiganya digunakan untuk lahan pertanian (1,8 juta km persegi). Jika dibagi dengan total populasinya, maka luas lahan pertanian sebesar 0,0013 km persegi per kapita.
Sementara, luas lahan pertanian di Indonesia relatif lebih besar, yakni 0,0023 per kapita. Namun, skor dan peringkat GFSI Indonesia hanya berbeda tipis dari India, yang jumlah penduduknya lima kali lipat dari populasi Indonesia.
Kerawanan pangan
Kendati posisinya lebih rendah dari Indonesia, namun skor dari setiap aspek pembentuk GFSI India dapat dikatakan relatif lebih baik. Indeks ketahanan pangan global disusun berdasarkan empat aspek, yakni keterjangkauan, ketersediaan, kualitas dan keamanan, serta ketahanan sumber daya alam.
Di India, aspek ketersediaan performanya baik, dengan skor 65,7. Tiga aspek lainnya masuk kategori moderat. Sementara Indonesia, meski aspek keterjangkauan dan ketersediaan masuk kategori baik, namun aspek kualitas dan keamanan masih tergolong moderat (48,5).
Yang perlu mendapat catatan adalah aspek ketahanan sumber daya alam. Aspek yang baru diikutsertakan sebagai faktor utama pembentuk GFSI pada tahun 2017 ini hanya mendapat skor 33,0. Karenanya, tergolong ke dalam kategori lemah dan menduduki peringkat terakhir dari semua negara yang dianalisis.
Indikator tersebut menilai dampak perubahan iklim, hingga adaptasi negara pada situasi tersebut. Sayangnya, komitmen dan adaptasi politik Indonesia pada aspek tersebut hanya mendapatkan skor 3,9 dari skor penuh 100. Sementara, rata-rata skor dunia pada indikator tersebut sebesar 60,9. Dengan kata lain, potensi lahan yang luas dengan sumber daya alam yang melimpah menjadi tak berarti jika respons dan pengelolaannya tak optimal.
Padahal, respons suatu negara pada risiko-risiko perubahan iklim yang turut memengaruhi ketahanan pangan erat kaitannya dengan kerawanan pangan. Hal tersebut menggambarkan kondisi ketidakcukupan pangan yang dialami suatu negara.
Merujuk laporan Departemen Pertanian AS (USDA), kerawanan pangan di Indonesia tergolong tinggi. Tahun 2021, kerawanan pangan di Indonesia dialami oleh 42,2 juta jiwa, sekitar 15,7 persen dari populasi. Di antara negara-negara Asia Tenggara, hampir setengah dari populasi rawan pangan berada di Indonesia.
Baca juga: Masyarakat Tertekan Gejolak Harga Pangan
Hal tersebut memperkuat bahwa persoalan pangan di Indonesia sudah sangat genting. Sementara, selama ini, keseriusan penanganan ketahanan pangan di Indonesia boleh dikatakan masih meragukan. Misalnya saja dari sisi anggaran. Sempat naik di tahun 2021 menjadi Rp 104,2 triliun, besarannya kembali menyusut menjadi Rp 76,9 triliun di tahun 2022. Bahkan, nilainya menjadi yang terendah, setidaknya dalam lima tahun terakhir.
Padahal, stok pangan di tingkat global juga bergejolak. Sementara, ketergantungan Indonesia akan impor pangan masih tinggi. Menurut catatan Kementerian Perdagangan, impor barang konsumsi Indonesia sepanjang tahun 2021 mencapai 20,18 miliar dollar AS, atau setara Rp 284,54 triliun.
Penggunaan anggaran 2022 pun akan difokuskan pada keterjangkauan dan kecukupan pangan. Pemerintah juga menyebutkan bahwa Agenda Pembangunan Nasional 2022-2024 akan diprioritaskan untuk ketersediaan, akses, dan kualitas pangan. Padahal, laporan GFSI menunjukkan bahwa aspek ketahanan sumber daya alam masih sangat minim.
Indonesia dikaruniai tanah subur dan kekayaan alam melimpah. Namun, kerawanan pangan dan ketahanan sumber daya alam masih menjadi tantangan Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan kesejahteraan warganya. Kondisi ini menuntut peran dan komitmen para pemangku kebijakan dalam mengambil setiap langkah dan keputusan. Sebab, menjadi ironi jika dilimpahi tanah surga, tetapi tidak bisa dimanfaatkan sebagai penghasil makanan. (LITBANG KOMPAS)