Masyarakat Tertekan Gejolak Harga Pangan
Kesabaran dan kemampuan daya beli masyarakat sedang diuji oleh kenaikan harga beberapa komoditas pangan. Pemerintah diharapkan segera menuntaskan gejolak harga pangan yang berlarut-larut.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F03%2F17%2F99916f46-b3b1-4659-84cd-c8717fe03dee_jpg.jpg)
Petugas menata minyak goreng kemasan di salah satu pasar swalayan di Bandar Lampung, Kamis (17/3/2022). Setelah pemerintah mencabut kebijakan harga eceran tertinggi, harga jual minyak goreng di Lampung mencapai Rp 24.000 per liter.
Gejolak harga sejumlah komoditas pangan masih terus terjadi. Kenaikan harga yang cukup menekan, terutama harga minyak goreng, daging sapi, dan cabai, kian menekan kemampuan daya beli masyarakat.
Kenaikan harga komoditas pangan yang paling menyita perhatian masyarakat adalah minyak goreng. Pada 16 Maret 2022, harga minyak goreng kemasan dijual di kisaran Rp 20.000 hingga Rp 24.000 per liter. Kenaikan harga ini terjadi setelah pemerintah memutuskan harga minyak goreng kemasan dilepas ke harga keekonomian. Kebijakan ini membuat stok minyak goreng tersedia, tetapi harganya naik.
Persoalan stok dan kenaikan harga minyak goreng belum menemukan titik terang meski telah berjalan beberapa bulan. Minyak goreng kemasan bermerek sempat mencapai harga Rp 24.000 per liter di bulan November 2021. Padahal, di bulan September 2021 harga rata-rata minyak goreng masih berada di kisaran Rp 14.000 per liter.
Salah satu faktor penyebabnya adalah kenaikan harga minyak kelapa sawit mentah (CPO) di pasar internasional. Merujuk data Bank Dunia, rata-rata harga CPO global melampaui 1.000 dollar AS per ton sepanjang tahun 2021. Puncaknya terjadi pada bulan Oktober yang menembus angka 1.390 dollar AS per ton, sementara ambang batas yang disepakati harga CPO hanya 750 dollar AS per metrik ton.
Di lain sisi, penggunaan CPO untuk biodiesel yang kian meningkat seiring kebijakan B30 juga disinyalir menjadi penyebab kenaikan harga minyak goreng. Pemerintah juga menyatakan bahwa turunnya panen sawit di dalam negeri turut mengganggu rantai distribusi industri minyak goreng. Akibatnya para pelaku usaha memprioritaskan ekspor mengingat harga CPO yang tinggi sehingga menipiskan pasokan minyak goreng untuk pasar dalam negeri.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F03%2F17%2F0a57a482-34b0-4cc6-91cf-8ad0b316abb8_jpg.jpg)
Pedagang menunjukkan minyak goreng curah yang saat ini diburu oleh pembeli setelah harga minyak goreng kemasan meroket tinggi hingga Rp 22.450 per liter di Pasar Petisah, Medan, Sumatera Utara (17/3/2022). Harga meroket setelah ketentuan harga eceran tertinggi dicabut pemerintah untuk minyak goreng dalam kemasan. Untuk minyak curah, HET ditetapkan Rp 14.000 per liter.
Merespons situasi tersebut, pemerintah pun mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk mengatasi harga minyak goreng yang kian melambung. Domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) merupakan dua dari beberapa kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah.
DMO merupakan kewajiban produsen kelapa sawit untuk menyerahkan sebagian dari produksinya untuk pasokan negara sebelum diekspor. Besaran yang ditetapkan adalah 20 persen berlaku sejak 27 Januari 2022 dan kemudian naik menjadi 30 persen. Seiring kebijakan tersebut, harga eceran tertinggi (HET) pun ditetapkan oleh pemerintah.
Sayangnya dengan dua kebijakan itu masih terjadi gejolak harga. Akhirnya demi mengembalikan keseimbangan antara tuntutan pemenuhan pasar dalam negeri dan kemauan produsen untuk mengejar keuntungan dari harga dunia, dikeluarkan kebijakan terbaru, yaitu pada 15 Maret 2022 pemerintah mencabut kebijakan HET.
Selain mencabut ketentuan tentang HET minyak goreng kemasan, pemerintah juga mencabut kebijakan DMO minyak sawit mentah dan olein. Pemerintah juga menaikkan pungutan ekspor minyak kelapa sawit mentah dan produk turunannya untuk menambah dana kelolaan sawit yang akan digunakan untuk menyubsidi harga minyak goreng curah di dalam negeri.

Komoditas lain
Belum selesai dengan karut-marut persoalan minyak goreng, masyarakat kembali diresahkan karena kenaikan harga komoditas pangan lainnya. Pertengahan Februari 2022, sejumlah produsen tahu dan tempe melakukan aksi mogok lantaran harga kedelai impor yang kian melambung. Harganya mencapai Rp 11.000-Rp 12.000 per kilogram atau naik 30-40 persen dibandingkan harga yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 8.500 per kg.
Naiknya harga kedelai tersebut disebabkan oleh terbatasnya pasokan impor lantaran cuaca buruk yang terjadi di negara produsen kedelai. Mahalnya harga kedelai juga dipengaruhi oleh tingginya permintaan di China untuk kebutuhan pakan ternak.
Tingginya harga daging sapi pun turut menambah daftar komoditas pangan yang mengalami kenaikan harga. Awal Maret 2022, harga daging sapi di pasaran tembus hingga Rp 140.000 per kg. Sebelumnya, harga daging sapi masih berada di kisaran Rp 110.000-Rp 120.000 per kg.
Kebijakan Australia untuk mengurangi ekspor sapi bakalan menjadi salah satu penyebab utamanya. Pasalnya, selama ini Indonesia hanya mengimpor sapi bakalan dari Australia. Kebijakan Australia untuk membatasi jumlah sapi yang dipotong dilakukan sebagai upaya repopulasi sapi. Tak hanya itu, pemenuhan pasokan dalam negeri juga terkendala biaya operasional yang tinggi, seperti biaya pakan, jasa angkut, dan biaya tenaga kerja.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F02%2F23%2F5fc82e83-efd2-4c88-a7ed-68c600082169_jpg.jpg)
Perajin menyiapkan produksi tempe di sentra pembuatan tahu tempe di Semanan, Kalideres, Jakarta Barat (23/2/2022). Setelah mogok produksi dan berjualan selama tiga hari sejumlah perajin tahu tempe mulai menyiapkan kembali produksi tahu tempe. Tingginya harga kedelai sebagai bahan baku utama membuat para perajin menghentikan produksi sehingga membuat stok tahu tempe langka di pasaran.
Kenaikan harga tersebut juga disambut dengan aksi mogok berjualan, seperti halnya kisah tahu dan tempe. Dampaknya pun meluas hingga ke sejumlah usaha turunan lainnya, seperti pedagang bakso. Memperkecil ukuran bakso hingga perolehan keuntungan yang minim turut dirasakan oleh mereka.
Apalagi, penganan yang sering disandingkan dengan mi ayam ini juga terancam oleh perang Rusia dengan Ukraina. Bagaimana tidak, selama ini Indonesia bergantung pada impor gandum dari Ukraina. Sementara, invasi Rusia ke Ukraina mengganggu produksi dan distribusi komoditas Ukraina ke luar negeri.
Sederet komoditas yang mengalami kenaikan harga itu pun kian panas dan pedas lantaran harga cabai di pasaran juga merangkak naik hingga dua kali lipat. Jika sebelumnya harga cabai rawit berada di kisaran Rp 35.000 per kg, naik menjadi Rp 60.000-Rp 70.000 per kg. Cuaca ekstrem membuat pasokan cabai berkurang dan berujung pada tingginya harga.
Gabungan pengusaha juga mengungkap bahwa pasokan cabai yang berkurang terjadi karena berkurangnya jumlah produksi dari petani. Mereka enggan kembali menanam cabai karena rendahnya harga cabai saat musim panen sebelumnya. Tingginya biaya produksi karena kelangkaan pupuk bersubsidi kian mengurungkan niat petani untuk menanam cabai.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F03%2F02%2F96f8f8b1-389d-48d1-9643-1a3ffab5280c_jpg.jpg)
Suasana lengang di los daging Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, saat para pedagang daging sapi melakukan aksi mogok berdagang (2/3/2022). Aksi mogok berjualan dipicu harga daging yang melonjak hingga Rp 150.000 per kg dari sebelumnya Rp 110.000 per kg.
Proporsi pengeluaran
Kenaikan harga komoditas pangan yang berbondong-bondong menyerbu itu pun berujung pada tekanan di kalangan masyarakat. Pasalnya, sejumlah komoditas tersebut menjadi konsumsi keseharian masyarakat.
Sebagai gambaran, merujuk data Badan Pusat Statistik, jumlah pengeluaran masyarakat untuk beberapa komoditas yang mengalami kenaikan harga itu mencapai Rp 13.886 per orang dalam seminggu di tahun 2021. Jika dibandingkan dengan total pengeluaran tanpa rokok dan tembakau, proporsinya mencapai lebih dari 10 persen. Angka tersebut mungkin tidak terlalu besar, tetapi tidak bisa serta-merta diabaikan lantaran menyangkut pemenuhan kebutuhan keseharian masyarakat.
Bagaimanapun, ketergantungan masyarakat akan sejumlah komoditas tersebut masih tinggi, termasuk kebutuhan akan minyak goreng guna mengolah bahan makanan yang ada. Komoditas lain seperti tahu dan tempe juga sulit dilepaskan dari masyarakat karena menjadi salah satu sumber protein yang mudah ditemukan dan terjangkau oleh semua kalangan.
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional BPS Maret 2020 menunjukkan, rata-rata orang Indonesia mengonsumsi tahu dan tempe sebanyak 37 potong dalam sebulan. Tak hanya di pedesaan, masyarakat perkotaan pun tak mengabaikan sumber protein nabati tersebut. Bahkan, tahu dan tempe tak jarang hadir di meja restoran untuk kalangan menengah ke atas dengan variasi olahannya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F02%2F24%2Fa676b52b-5f11-48b4-b870-dc71f86925c8_jpg.jpg)
Warga antre membeli barang kebutuhan sehari-hari dalam pasar murah yang diadakan oleh Food Station di Kantor Kelurahan Pondok Kopi, Jakarta Timur (24/2/2022). Warga hanya diperbolehkan membeli maksimal dua liter minyak goreng. Dalam pasar murah tersebut disediakan 300 bungkus beras, 500 bungkus minyak goreng dan 300 bungkus gula pasir.
Persoalan harga komoditas dan pasokannya harus segera mendapatkan titik terang. Hal ini guna meningkatkan kembali optimisme masyarakat yang tengah surut. Berdasarkan survei konsumen yang dilakukan oleh Bank Indonesia, indeks keyakinan konsumen (IKK) pada Februari 2022 sebesar 113,1. Keyakinan konsumen ini cenderung melemah jika dibandingkan pada bulan sebelumnya, yakni 119,6 meski masih berada di zona optimis.
Setelah berangsur-angsur naik, IKK termutakhir mengalami penurunan ke situasi Oktober 2021, bahkan lebih rendah lantaran IKK Oktober mencapai 113,4. Melemahnya keyakinan tersebut didorong oleh pesimisme masyarakat melihat kondisi ekonomi saat ini tecermin dari nilai IKE yang hanya sebesar 95,5. Akhirnya, optimisme masyarakat akan masa mendatang pun turut melemah menjadi 130,8 dari 138,3.
Baca juga: Mendag Klaim Minyak Goreng Melimpah meski Harganya Meroket
Benang kusut harga dan pasokan komoditas pun kian mendesak diurai karena hari raya Ramadhan tinggal hitungan hari. Perayaan hari raya selalu mendorong peningkatan permintaan pada semua komoditas pangan, tak terkecuali pada sejumlah komoditas yang kini harganya telah melambung tinggi.
Jika kenaikan harga barang tak terbendung, ancaman inflasi juga kian membayangi. Bagaimanapun, pemerintah memegang peranan vital dalam penanganan harga-harga komoditas yang melejit saat ini. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Setelah Minyak Goreng, Giliran Gas Melon dan Solar yang Langka