Besarnya potensi pasar industri kecantikan membuat usaha di bidang ini tumbuh subur. Sayangnya, masih ada pemain ilegal yang turut mengail ”cuan” dengan mengabaikan aturan. Pemerintah perlu memperketat pengawasan.
Oleh
MB Dewi Pancawati
·4 menit baca
Drama Korea tak hanya ”menghipnotis” penggemarnya, tetapi kecantikan dan kemulusan kulit para bintangnya juga menjadi impian perempuan-perempuan di Indonesia. Siapa yang tak ingin memiliki kulit putih, bersih, cerah, dan kinclong atau glowing istilah yang viral saat ini.
Oleh karena itu, produk kecantikan, khususnya skincare asal Korea Selatan yang dikenal dengan ”K-beauty”, laris manis dicari konsumen di Tanah Air dari segala kalangan. Bahkan, pada 2020, Indonesia menempati peringkat kedua di antara negara-negara dengan popularitas K-beauty tertinggi.
Hal ini mendorong produsen lokal berinovasi membuat produk yang mempunyai keunggulan seperti produk-produk asal Korea Selatan. Kebutuhan konsumen dalam negeri akan manfaat, kemudahan untuk membeli, dan harga jual yang terjangkau membuat industri ini kian bertumbuh.
Cantik adalah ketika memiliki wajah yang bersih dan mulus (tidak ada bekas jerawat, flek, atau noda lainnya) dan sebanyak 60 persen menilai cantik jika memiliki kulit cerah dan glowing.
Potensi pasar
Awal pandemi tahun 2020, kinerja industri ini sempat menurun. Riset Statista.com per September 2020 menemukan pangsa orang yang tidak menggunakan riasan meningkat sekitar 2 persen. Namun, ketika ekonomi mulai menggeliat pada 2021, bisnis ini diprediksi kembali bertumbuh.
Seiring dengan tren masyarakat Indonesia yang mulai menjadikan produk kecantikan sebagai kebutuhan primer, peluang bisnis di bidang kecantikan sangat besar. Ini mengingat potensi pasar di Indonesia sebesar 270,2 juta jiwa (Sensus 2020), dengan populasi perempuan mencapai 133,5 juta jiwa dan 70 persen merupakan perempuan usia produktif (15-64 tahun).
Selain itu, merujuk hasil survei Markplus Inc dan Zap Clinic dalam Zap Beauty Index 2021, sebanyak 67,1 persen dari lebih kurang 6.000 perempuan yang menjadi responden berpendapat, cantik adalah ketika memiliki wajah yang bersih dan mulus (tidak ada bekas jerawat, flek, atau noda lainnya) dan sebanyak 60 persen menilai cantik jika memiliki kulit cerah dan glowing.
Survei juga menemukan mayoritas responden (70,3 persen) mencari produk untuk mencerahkan kulit, 57,4 persen untuk melindungi dari sinar UV, 53,8 persen untuk antijerawat, dan 51,3 persen untuk menyamarkan pori-pori wajah. Data tersebut menggambarkan bahwa cukup tinggi persentase perempuan yang mengalami berbagai macam permasalahan pada kulit wajah, yang artinya adalah potensi pasar.
Segmen pasar kecantikan juga tidak hanya dimonopoli kaum hawa, baik di perkotaan maupun perdesaan, tetapi juga menyasar kaum adam, bahkan anak-anak. Untuk itu, demi penampilan dan kepercayaan diri, konsumen rela merogoh kantong lebih dalam untuk membeli toner, foundation, tabir surya, serum, dan perawatan wajah lainnya.
Dalam catatan Statista, rata-rata pengeluaran konsumen per kapita untuk kosmetik dan perlengkapan mandi di Indonesia 20,2 dollar AS. Nilai tersebut diprediksi akan meningkat tujuh dollar AS pada tahun 2024, menunjukkan pertumbuhan pasar yang berkelanjutan.
Hal tersebut berpengaruh pada pangsa pasar produk kecantikan yang terus mengalami peningkatan. Laporan dari Statista (2020) menunjukkan, pangsa pasar industri ini sekitar 4,6 miliar dollar AS dan tahun 2023 diprediksi menjadi 5,2 miliar dollar AS. Pasar terbesar dari industri kecantikan Indonesia adalah dari segmen perawatan kulit (skincare) dengan volume pasar 1,7 miliar dollar AS.
Perketat pengawasan
Prospeknya untuk mendatangkan cuan membuat industri kecantikan tumbuh menjamur. Apalagi semakin mudah untuk mendapat sertifikat Esthetician dari Formula Botanica, London, Inggris. Untuk bisa menjadi peracik formula skincare (formulator) bisa dilakukan secara daring dengan biaya sekitar Rp 30 juta hanya dalam waktu satu tahun (Kompas, 23 Januari 2022).
Kekayaan sumber daya alam Indonesia memudahkan untuk mendapat bahan baku lokal. Selain itu, kini banyak pabrik yang menerima pembuatan skincare sehingga tidak perlu membuat pabrik sendiri. Untuk pemasaran, kontribusi media sosial berperan sangat besar dalam menarik minat konsumen.
Kementerian Perindustrian mencatat, pada 2018 terdapat 760 perusahaan industri kosmetik di Indonesia. Jumlah ini bertambah menjadi 797 pada 2019 yang terdiri dari industri besar serta IKM (Industri kecil dan menengah).
Namun sayang, di balik tumbuhnya industri ini masih ada oknum-oknum yang mengambil keuntungan dengan cara ilegal dan merugikan konsumen. Pada Januari 2021, polisi menggerebek pabrik peracik kosmetik ilegal karena tidak memiliki izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di Jatiasih, Bekasi, Jawa Barat. Selain itu, peracik juga tidak memiliki kompetensi dan sertifikat seorang formulator.
Kemudian, pada November 2021, BPOM Buleleng menggerebek sebuah rumah di Jembrana, Bali, dan menemukan ratusan bungkus kosmetik ilegal berbagai merek yang mengandung bahan berbahaya.
Dari laporan Direktorat Pengawasan Kosmetik, BPOM RI tahun 2020, ditemukan beberapa pelanggaran (ketidakpatuhan) pelaku usaha produk kosmetik. Terkait pemeriksaan sarana produksi kosmetika, ditemukan 19 persen sarana produksi yang tidak memenuhi ketentuan (TMK), dengan rincian 3 persen mengandung bahan berbahaya (BB), 35 persen tidak memiliki izin edar, serta 62 persen belum menerapkan aspek CPKB (cara pembuatan kosmetik yang baik) secara konsisten.
Demikian pula untuk sarana distribusi, masih ada 10 persen yang tergolong TMK dengan 100 persen masalah karena tidak memiliki izin edar. Sementara hasil pengawasan iklan kosmetik menunjukkan jumlah yang memenuhi ketentuan (MK) menurun dari tahun-tahun sebelumnya. Pergeseran pembuatan iklan di media daring berpotensi munculnya klaim yang dilarang/menyesatkan ataupun iklan kosmetik yang tanpa izin edar.
Sejumlah temuan pelanggaran tersebut menjadi tantangan bagi pihak yang berwenang untuk lebih memperketat pengawasan agar produk kosmetik yang dihasilkan senantiasa mengedepankan asas keamanan, kemanfaatan, dan mutu yang baik bagi konsumen.