Harapan Pada Rekrutmen Caleg yang Lebih Terbuka
Rekrutmen calon legislatif menjadi momen bagi partai politik menjaring sosok yang berkomitmen dalam memperjuangkan aspirasi rakyat. Partai politik dituntut lebih terbuka dan melibatkan publik dalam proses rekrutmen ini.
Proses rekrutmen politik dalam menjaring calon legislatif di pemilihan umum diharapkan lebih terbuka kepada publik. Partai politik juga dituntut lebih selektif dalam menjaring sosok-sosok yang akan dimasukkan dalam daftar calon legislatifnya.
Penerapan sistem pemilihan umum proporsional terbuka menjadikan relasi partai politik dan calon legislatif relatif “setara”. Di satu sisi partai politik menjadi rumah sekaligus kendaraan bagi calon legislatif untuk bertarung dalam pemilu. Di sisi yang lain, calon legislatif juga memiliki peluang memberikan insentif elektoral terhadap partai politik.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Partai politik tetap memiliki otoritas penuh terhadap calon legislatifnya, bahkan ketika sudah menjadi anggota legislatif pun.
Namun kesetaraan ini, dalam prakteknya, terkadang juga tidak berjalan mulus. Partai politik tetap memiliki otoritas penuh terhadap calon legislatifnya, bahkan ketika sudah menjadi anggota legislatif pun, partai memiliki kewenangan untuk mengganti, termasuk memberhentikan anggota legislatif tersebut dengan anggota lainnya.
Dalam proses penentuan calon legislatif terpilih di pemilu pun terkadang terjadi gejala favoritisme oleh partai politik. Gejala ini dimaknai dengan kecenderungan partai politik memberikan perlakuan istimewa kepada satu orang (calon legislatif) yang diunggulkan partai dengan mengorbankan orang lain.
Jika mengacu pada undang-undang, gejala ini mengarah pada diskriminasi yang pada akhirnya melahirkan ketidakadilan. Padahal pemilihan umum, seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan, salah satunya harus dilaksanakan dengan adil.
Namun, fakta gejala favoritisme ini tidak bisa dibantah. Fenomena ini terjadi di dalam partai politik. Pengalaman di Pemilu 2019 mencatat, ada sejumlah calon legislatif, yang di atas kertas terpilih, pada akhirnya harus kehilangan kursinya karena ada kecenderungan partai yang menaunginya lebih setuju dengan calon legislatif lainnya. Tentu, dengan sejumlah dalih politik berbungkus aturan internal partai.
Baca juga : Berharap Relasi Kuat Rakyat dan Wakil Rakyat
Nasib ini dialami oleh sejumlah calon legislatif. Salah satunya Misriani Ilyas. Calon legislatif DPRD Sulawesi Selatan di Pemilu 2019 ini tidak bisa menduduki kursi yang dimenanginya. Meskipun sudah ditetapkan KPUD Sulsel sebagai salah satu anggota DPRD Sulsel terpilih, ia tidak bisa dilantik.
Hal ini dipicu oleh surat pemberhentian Misriani dari kader Partai Gerindra tanpa diketahui apa penyebabnya. Misriani pun batal menghadiri acara pelantikan karena namanya tidak ada dalam surat keputusan (pelantikan) itu. Kisah Misriani ini tidak sendiri, sejumlah kasus serupa juga terjadi.
Tak pelak, otoritas partai politik memang “mengendalikan” calon legislatif maupun anggota legislatifnya. Hal ini tertuang di Pasal 426 Ayat (1) UU No 7/2017 tentang Pemilihan Umum.
Pasal ini menyebutkan, ada empat alasan partai politik mengganti calon legislatif terpilih, yakni meninggal; mengundurkan diri; tak lagi memenuhi syarat sebagai anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, atau DPRD kabupaten/ kota; serta terbukti melakukan tindak pidana pemilu berupa politik uang atau pemalsuan dokumen berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Umumnya, dalih yang dimainkan partai politik adalah tidak terpenuhinya syarat menjadi anggota legislatif, yakni tidak lagi menjadi anggota partai politik karena sudah dipecat oleh partai.
Di sinilah potret bagaimana partai politik memiliki kuasa penuh atas calon legislatif yang diusungnya. Dengan penerapan sistem pemilu terbuka berbasis suara terbanyak, khususnya bagi calon legislatif yang berhak menduduki kursi yang diraih partai politik, kedudukan partai tetap dominan.
Sistem ini menjadikan ruang kontestasi lebih banyak dimainkan oleh calon legislatif, bahkan derajat persaiangannya lebih banyak antar calon legislatif di dalam partai politik yang sama.
Inilah pekerjaan rumah pertama bagi partai politik, yaitu bagaimana menjamin kemurnian suara yang diraih calon legislatif tersebut sampai pada tahapan konversi ke kursi yang diraih partai politik.
Jaminan menjaga kemurnian suara ini juga dibarengi dengan mengikis gejala favoritisme di dalam partai politik yang cenderung menguntungkan elite partai politik yang dekat dengan pemegang otoritas politik dari partai tersebut.
Baca juga : Memahami Identitas Kepartaian dan Pemilih Partai
Integritas caleg
Pekerjaan rumah kedua yang tidak kalah penting bagi partai politik adalah menjamin integritas calon legislatif yang diusungnya. Di posisi inilah proses rekrutmen calon legislatif oleh partai diharapkan lebih terbuka dan publik bisa turut memantau.
Sejumlah partai politik memang melakukan pendaftaran terbuka bagi publik yang ingin maju menjadi calon legilaslatif dari partai tersebut. Namun, sebagian besar partai masih mempraktekkan proses rekrutmen yang tertutup dan cenderung kurang membuka partisipasi publik.
Hasil jajak pendapat Kompas pertengahan Februari lalu merekam bagaimana harapan publik akan hadirnya proses rekrutmen calon legislatif yang lebih terbuka bagi publik ini bisa dilakukan oleh partai politik. Sebanyak 84,4 persen responden menginginkan keterbukaan tersebut.
Hal yang tidak kalah penting adalah harapan publik soal seleksi yang ketat bagi calon anggota legislatif. Mayoritas responden dalam jajak pendapat (92,4 persen) berharap besar partai memiliki mekanisme yang ketat untuk menjaring calon-calon legislatif yang diusung di Pemilu 2024 nanti.
Banyaknya anggota legislatif yang terjerat kasus korupsi di KPK bisa menjadi cerminan bagi partai politik bagaimana menjaring calon anggota legislatif yang rekam jejaknya bersih dan layak dicalonkan untuk mewakili partai.
Dari tahun ke tahun, jumlah anggota legislatif, baik DPR maupun DPRD, menduduki porsi paling besar dari kasus penindakan korupsi yang melibatkan pejabat negara. Tahun 2020 saja, ada 21 orang anggota legislatif (DPR dan DPRD) atau rata-rata tiap tahun sekitar 20 persen dari total tersangka yang terjerat korupsi.
Selain proses rekrutmen lebih terbuka dan selektif, partai politik juga diharapkan bisa menampung aspirasi publik terhadap sosok-sosok yang bisa diusulkan menjadi calon anggota legislatif. Secara sederhana, partai politik juga bisa aktif menjaring tokoh-tokoh kredibel dan memiliki integritas sekaligus dekat dengan masyarakat.
Apa yang dilakukan Partai Perindo dengan menggelar Konvensi Rakyat untuk menjaring calon legislatif guna persiapan Pemilu 2024, bisa menjadi ilustrasi menarik bagaimana strategi partai harus lebih aktif menjadi “pencari bakat” guna menjaring calon legislatif.
Hal yang sama sebenarnya juga dilakukan Partai Nasdem saat awal-awal berdiri dengan membuka pendaftaran bagi anggota masyarakat yang tertarik menjadi calon legislatif dari partai ini.
Meskipun demikian, proses kaderisasi di internal partai juga diharapkan tetap berjalan. Di satu sisi partai menjaring sosok-sosok baru, namun di sisi yang lain partai juga harus melakukan proses kaderisasi politik bagi kader-kadernya yang selama ini sudah “berkeringat” dan mengabdi untuk kepentingan partai.
Tidak heran jika kemudian sebagian besar responden juga setuju jika partai politik mengutamakan kadernya yang sudah aktif di partai untuk menjadi calon legislatif dibandingkan orang baru. Pendek kata ada proses kaderisasi sekaligus regenerasi yang sehat di internal partai.
Isu-isu terkait proses rekrutmen politik yang lebih terbuka, selektif, dan menjaring secara aktif aspirasi masyarakat terkait calon legislatif, tanpa melupakan proses kaderisasi di internal partai, lebih banyak disampaikan dan disepakati oleh kelompok responden dengan pendidikan menengah ke atas. Porsi dukungan dari kelompok responden ini lebih besar dibandingkan kelompok responden pendidikan dasar.
Hal ini menjadi sinyal hal-hal terkait perbaikan proses rekrutmen politik terhadap calon legislatif masih menjadi isu elite dan belum membumi. Tentu, ini menjadi pekerjaan rumah ketiga bagi partai, yakni bagaimana mengkampanyekan proses rekrutmen politik yang terbuka dan selektif ini dengan strategi yang lebih bisa menyasar semua kelompok masyarakat.
Baca juga : Berkah Politik Nomor Urut
Sumbangan elektoral
Mengapa partai politik harus memperhatikan kembali proses rekrutmen calon legislatif? Tujuannya tidak lain agar partai mendapatkan sosok calon legislatif yang lebih baik. Tidak sekadar populer, tapi juga kompeten dan berintegritas. Jika sosok seperti ini yang didapatkan, di atas kertas, calon legislatif tersebut mampu memberikan sumbangan elektoral kepada partai politik.
Jika mengacu hasil kajian Litbang Kompas terkait perolehan suara caleg dan suara partai di Pemilu 2019, disebutkan ada kecenderungan pemilih lebih banyak memilih nama caleg dibandingkan gambar partai politik. Setidaknya ada 283 caleg (49,2 persen) yang perolehan suaranya melebihi perolehan suara partai politik.
Menjelang perhelatan Pemilu 2024, khususnya jika mengacu tahapan, pengajuan daftar calon anggota legislatif akan dilakukan pada Mei 2023, maka setidanya partai politik memiliki waktu kurang lebih satu tahun untuk menyiapkan proses rekrutmen tersebut.
Ada kecenderungan pemilih lebih banyak memilih nama caleg dibandingkan gambar partai politik.
Masih tingginya ketidakpuasan publik pada calon legislatif di Pemilu 2019, seperti halnya yang ditangkap dalam jajak pendapat Kompas ini, bisa menjadi pelecut bagi partai untuk segera membangun dan memperkuat proses rekrutmen calon legislatif yang lebih terbuka, selektif, dan partisipatif (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Hitung Mundur Kerja Politik Partai