Tantangan Di Balik Apresiasi Kinerja Bidang Pendidikan
Pendidikan menjadi indikator penting bagi kinerja pemerintah di bidang kesejahteraan sosial. Sejumlah pekerjaan rumah membenahi sektor pendidikan tetap menjadi agenda yang harus diselesaikan oleh pemerintah.
Kepuasan terhadap kinerja pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan menjadi salah satu indikator yang menyumbang tingginya kepuasan publik di bidang kesejahteraan sosial dalam Survei Kompas 2022.
Namun demikian, di balik apresiasi tersebut masih banyak pekerjaan rumah yang menjadi tantangan pemerintah untuk mewujudkan pendidikan yang semakin berkualitas.
Pada Survei Kompas Januari 2022 terpotret, kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin di bidang kesejahteraan sosial mendapat apresiasi tertinggi. Sebanyak 78,3 persen publik puas terhadap kinerja di bidang ini, lebih tinggi di banding kepuasan di bidang politik dan keamanan, penegakan hukum, dan ekonomi.
Baca juga : Putus Sekolah Bukan Sekadar Angka
Salah satu indikator yang berkontribusi pada tingginya apresiasi bidang kesejahteraan sosial adalah kinerja pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan, misalnya terkait masalah kurikulum, kompetensi guru, dana pendidikan, dan sebagainya.
Tingkat kepuasan pada aspek pendidikan sebesar 72,2 persen berada di urutan ketiga setelah kepuasaan pada indikator meningkatkan layanan kesehatan (79,4 persen), mengembangkan budaya gotong royong (79,2 persen), memberikan bantuan langsung (70,5 persen), dan mengatasi kemiskinan (59 persen).
Tingkat kepuasan publik pada kinerja pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan pada survei ini tercatat tertinggi sejak pandemi Covid-19 dan meningkat 8,5 persen dibanding kepuasan pada survei Oktober 2021.
Peningkatan yang sangat signifikan karena sebelumnya justru mengalami penurunan sebesar 5,6 persen, dari 69,3 persen pada survei April 2021 menjadi 63,7 pada survei Oktober 2021.
Masih banyak pekerjaan rumah yang menjadi tantangan pemerintah untuk mewujudkan pendidikan yang semakin berkualitas.
Hal ini tentu saja tidak lepas dari beratnya tantangan sektor pendidikan apalagi ketika kasus Covid-19 varian Delta sedang menanjak pada pertengahan tahun 2021 dan pembelajaran jarak jauh (PJJ) dengan segala kendalanya semakin lama berlangsung.
Hasil survei juga menunjukkan, apresiasi tinggi diberikan oleh responden dari semua level pendidikan, baik yang berpendidikan dasar, menengah, maupun tinggi dengan rata-rata tingkat kepuasan sebesar 70 persen.
Demikian juga jika dilihat dari latar belakang kelas sosial ekonomi responden, secara umum menyatakan rasa puas yang tinggi pada upaya pemerintah meningkatkan kualitas pendidikan, mayoritas sebanyak 85,7 persen dinyatakan oleh responden dari kelas ekonomi atas.
Sementara dari kaca mata generasi, Gen Z atau generasi muda di bawah umur 25 tahun terpantau paling tinggi memberikan penilaian sangat puas (15,7 persen) dibanding kelompok generasi lainnya.
Bisa jadi generasi yang lebih melek teknologi ini merasa puas dengan program-program pemerintah dalam dunia pendidikan yang kreatif dan inovatif dengan berbagai tantangan di masa pandemi.
Baca juga : Menanti Kurikulum Merdeka Menjadi Kurikulum Nasional
Mitigasi dan capaian
Di tengah kesulitan multidimensi akibat pandemi tersebut, pemerintah terus berupaya melakukan mitigasi agar pendidikan tetap berlangsung. Meski tak dapat dimungkiri terjadi perlambatan capaian pembelajaran yang berpengaruh pada kualitas pendidikan yang sedang dibangun.
Gebrakan untuk melakukan transformasi pendidikan melalui program Merdeka Belajar yang diinisiasi Mendikbudristek Kabinet Indonesia Maju, Nadiem Makarim, setelah dilantik pada Oktober 2019, sedikit banyak menjadi terkendala.
Akan tetapi, datangnya pandemi yang membelenggu gerak dunia pendidikan selama dua tahun ini justru memunculkan ide-ide kreatif, selain memitigasi dampak pandemi juga untuk mempercepat upaya meningkatkan mutu pendidikan.
Selama dua tahun pandemi telah diluncurkan 17 episode program Merdeka Belajar yang mengakomodir kebutuhan semua elemen satuan pendidikan (peserta didik maupun guru/dosen dan sekolah) dari tingkat PAUD hingga Pendidikan Tinggi (PT), termasuk masalah pendanaan.
Datangnya pandemi yang membelenggu gerak dunia pendidikan selama dua tahun ini justru memunculkan ide-ide kreatif.
Konsep Merdeka Belajar ala Nadiem Makarim ini terdorong karena keinginannya menciptakan suasana belajar yang bahagia tanpa dibebani dengan pencapaian skor atau nilai tertentu.
Sejumlah terobosan melalui Merdeka Belajar diantaranya adalah dihapuskannya Ujian Nasional (UN) dan diganti dengan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) yang terdiri dari literasi dan numerasi, Survei Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar.
Sistem asesmen yang baru ini tidak membebani sekolah, peserta didik, maupun orang tua dan mengacu pada asesmen tingkat internasional melalui pelaksanaan Program for International Student Assessment (PISA), dengan harapan skor Indonesia pada PISA akan meningkat.
Pada tahun 2021, pelaksanaan asesmen nasional sudah terealisasi di 283.609 satuan pendidikan, dengan rincian 174.698 SD/MI, 65.676 SMP/MTs, 23.617 SMA/MA, dan 19.618 SMK/MAK.
Esensi kemerdekaan belajar harus didahului oleh para guru sebelum mereka mengajarkannya pada siswanya.
Esensi kemerdekaan belajar harus didahului oleh para guru sebelum mereka mengajarkannya pada siswanya. Untuk meningkatkan kompetensi dan kualitas guru, Merdeka Belajar meluncurkan episode ke-5 tentang program guru penggerak.
Program yang diluncurkan pada 3 Juli 2020 ini merupakan upaya Kemendikbudristek dalam mendorong Guru Penggerak menjadi pemimpin-pemimpin pendidikan di masa depan yang mewujudkan generasi unggul Indonesia. Sampai tahun 2021, program Pendidikan Guru Penggerak telah mendidik lebih dari 16 ribu guru dalam empat angkatan.
Terkait kurikulum, program Merdeka Belajar episode ke-15 merilis program Kurikulum Merdeka yang dipersiapkan menjadi Kurikulum Nasional pada 2024 mendatang. Sebagai upaya pemulihan pembelajaran dampak pandemi,
Kurikulum Merdeka melengkapi episode ke-7 Merdeka Belajar terkait Sekolah Penggerak, dimana sekitar 2.500 sekolah penggerak dari TK, SD, SMP hingga SMA dan 901 SMK Pusat Keunggulan (SMK PK) sejak Tahun Ajaran 2021/2022 telah mengimplementasikan Kurikulum Merdeka yang sebelumnya bernama Kurikulum Prototipe. Pemberlakuan Kurikulum Prototipe ini diklaim lebih efektif memitigasi ketertinggalan pembelajaran pada masa pandemi.
Episode Merdeka Belajar lainnya juga ditujukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia dari berbagai aspek dan akan terus dikembangkan dalam rangka percepatan transformasi pendidikan mengikuti perubahan jaman yang begitu cepat.
Baca juga : Pembelajaran Tatap Muka dan Bayang-bayang Omicron
Tantangan
Meski demikian, masih banyak pekerjaan rumah yang menjadi tantangan pemerintah untuk memberikan pendidikan yang merata dan bermutu bagi warganya dan tidak tertinggal dalam tataran global. Pemerintah masih harus bekerja keras dalam memulihkan pembelajaran yang selama dua tahun ini terhambat karena pandemi.
Ketimpangan kualitas pendidikan secara geografis tak dapat dimungkiri. Hasil penilaian Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) 2019 menunjukkan, berdasarkan pengelompokan pulau, terjadi kesenjangan yang tinggi antara pulau-pulau di Timur Indonesia seperti Sulawesi, Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara dibandingkan dua provinsi dengan niai tertinggi (DKI Jakarta dan DI Yogyakarta).
Di beberapa pulau kecil, terutama di daerah 3T (Tertinggal, Terluar, dan Terdepan) sulit didirikan sekolah dan mendatangkan guru. Alih-alih mengikuti perkembangan teknologi, hasil Survei Wahana Visi Indonesia pada Mei 2020 bahkan menemukan, sebanyak 32 persen siswa di daerah 3T tidak memiliki akses sama sekali dalam PJJ, baik untuk belajar luring, apalagi daring.
Untuk memitigasi, melalui program Kampus Mengajar pemerintah memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk mengajar di SD dan SMP, khususnya di daerah 3T. Program ini telah diikuti oleh 14.641 peserta di angkatan pertama dan 35 ribu peserta di angkatan kedua dari 360 Perguruan Tinggi.
Angka Partisipasi Kasar (APK) untuk jenjang PAUD dan Perguruan Tinggi (PT) juga masih menjadi pekerjaan rumah. Tren APK PAUD selama periode 2019-2021 menunjukkan adanya indikasi efek pandemi dalam partisipasi prasekolah.
APK PAUD mengalami penurunan pada tahun 2021 (35,65 persen) lebih rendah dibanding tahun 2019 sebelum pandemi (36,98). Hal ini perlu mendapat perhatian serius mengingat PAUD merupakan kunci keberhasilan pembangunan SDM sepanjang hayat.
Sementara APK PT angkanya masih di kisaran 30 persen belum menunjukkan peningkatan yang menggembirakan dan belum mencapai target RPJMN, yakni sebesar 37,63 persen pada tahun 2024 mendatang.
Pekerjaan rumah juga masih harus dituntaskan untuk meningkatkan kompetensi guru.
APK PAUD dan PT Indonesia juga masih jauh dibandingkan angka-angka negara lain yang sudah mencapai 70 persen. Dibandingkan dengan Filipina dengan PDRB di bawah Indonesia, APK PAUD Indonesia masih jauh tertinggal.
Pekerjaan rumah juga masih harus dituntaskan untuk meningkatkan kompetensi guru dan memberikan sarana prasarana pendidikan yang memadai agar transformasi pendidikan segera terwujud. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Potret Buram Guru di Daerah Tertinggal