Minyak Goreng: Dari Gejolak Politik hingga Keresahan Sosial
Selama sekitar dua dekade terakhir, Indonesia beberapa kali mengalami kelangkaan minyak goreng. Apa penyebabnya dan bagaimana langkah pemerintah untuk mengatasinya?
Dalam kurun waktu dua dekade terakhir, Indonesia telah beberapa kali menghadapi persoalan kelangkaan minyak goreng. Penyebabnya dan upaya mengatasinya pun beragam, mulai dari intervensi pemerintah hingga kerja sama dengan pengusaha.
Barangkali tak pernah terbayangkan oleh nenek moyang bangsa ini bahwa kelak Indonesia akan menjadi bangsa pencinta aneka gorengan. Ikan, ayam, adonan sayuran, hingga es krim pun kini disajikan dengan cara digoreng.
Dahulu, Indonesia adalah bangsa yang gemar dengan aneka makanan dengan cara direbus atau dibakar. Cara pengolahan makanan ini diperkirakan telah dikenal sejak masa neolitikum atau sekitar 10.000 tahun yang lalu.
Pada periode neolitik awal saat manusia telah mengenal pembuatan tembikar, daging yang sebelumnya dibakar diperkirakan telah diolah dengan cara yang berbeda. Dengan menggunakan wadah tembikar, daging diolah dengan cara direbus sebelum dimakan (Susilowati, 2009).
Salah satu bukti arkeologis yang juga menggambarkan tentang menu makanan nenek moyang bangsa Indonesia tergambar dalam relief Candi Borobudur. Harang-Harang Kasyam atau Sidat Bakar Madu menjadi salah satu menu yang diukir oleh nenek moyang bangsa. Makanan dari ikan sidat ini diperkirakan diolah dengan cara dibakar.
Hingga kini, pengolahan makanan dengan cara direbus dan dibakar masih diwarisi secara turun-temurun. Suku Mentawai di Sumatera Barat, misalnya, hingga saat ini masih memiliki tradisi memakan olahan sagu dengan ikan rebus.
Namun, kebiasaan konsumsi makanan rebusan ini perlahan tergantikan dengan cara menggoreng. Kebiasaan ini diperkirakan dikenal oleh bangsa Indonesia saat bersentuhan dengan kebudayaan China.
Namun, sebagian teori lain menyebutkan bahwa teknik menggoreng telah dikenal di Nusantara seiring penggunaan logam yang telah dikenal sejak masa perundagian dan penggunaan minyak kelapa di sejumlah wilayah.
Terlepas dari perdebatan ini, yang jelas, masyarakat Indonesia sejak lama telah terbiasa mengonsumsi makanan gorengan. Salah satu catatan tentang kebiasaan ini tergambar dalam catatan Justus van Maurik, pengusaha Belanda yang menjadi pelancong di Pulau Jawa pada akhir abad ke-19.
Saat itu, ia menemukan warung di pinggir jalan yang menjual berbagai makanan, termasuk ikan goreng. Ikan goreng juga ditemui di warung yang terletak di perkampungan orang-orang Tionghoa (Soedewo, 2009).
Baca juga : Mencari Identitas Bangsa lewat Kuliner
Kebutuhan utama
Setelah Indonesia merdeka, kebiasaan mengonsumsi makanan gorengan kian jamak ditemui. Pada tahun 1950-an, misalnya, saat masyarakat Indonesia mulai mengenal slogan 4 sehat 5 sempurna. Slogan ini mulai diperkenalkan setelah Indonesia melalui gejolak revolusi. Disadari atau tidak, slogan ini pada akhirnya melekat dan mulai tertanam dalam benak masyarakat untuk mengonsumsi ikan, tahu, atau tempe goreng.
Bahkan, dalam buku pelajaran pada era Orde Baru, makanan yang digoreng kerap menghiasi gambar di buku pelajaran, seperti telur mata sapi, ikan goreng, hingga ayam goreng. Sejak masa kanak-kanak pun, aneka makanan gorengan telah menghiasi alam pikiran masyarakat Indonesia dalam pendidikan formal.
Boleh jadi, kondisi inilah yang bermuara pada tingginya kebutuhan terhadap minyak goreng pada setiap generasi. Pada zaman Orde Baru, misalnya, saking pentingnya, minyak goreng bahkan menjadi bagian dari bantuan luar negeri utama yang diterima oleh Departemen Sosial pada tahun 1978-1979.
Berdasarkan catatan arsip Kompas, bantuan ini diberikan bersama beras dan susu yang juga menjadi kebutuhan utama masyarakat.
Tingginya kebutuhan terhadap minyak goreng tidak selalu diiringi oleh ketersediaan stok di pasaran.
Hingga kini, minyak goreng juga kerap diberikan dalam setiap bantuan sosial. Bahkan, tak jarang minyak goreng menjadi gerbang pembuka bagi aktor politik untuk mendekatkan diri pada masyarakat. Kondisi ini menegaskan betapa pentingnya minyak goreng dalam kehidupan sehari-hari.
Sayangnya, tingginya kebutuhan terhadap minyak goreng tidak selalu diiringi oleh ketersediaan stok di pasaran. Sejak tahun 1998 hingga saat ini, tercatat Indonesia telah beberapa kali mengalami kelangkaan minyak goreng.
Di tengah gejolak politik dan krisis ekonomi 1998, minyak goreng adalah salah satu kebutuhan yang sulit untuk ditemukan saat itu. Daerah-daerah di Indonesia bagian barat hingga Indonesia bagian timur mengeluhkan hal yang sama, yakni kelangkaan stok minyak goreng.
Saat itu, penyebab kelangkaan minyak goreng beragam. Di Makassar, Sulawesi Selatan, kelangkaan minyak goreng terjadi pada Januari 1998 karena pabrikan kesulitan memperoleh kopra sebagai bahan baku.
Produksi kopra dari petani mengalami penurunan yang diduga akibat perubahan cuaca. Akibatnya, harga minyak goreng melambung hingga 86 persen dari Rp 35.000 menjadi Rp 65.000 per jeriken isi 22 liter.
Gejolak politik, stabilitas harga minyak sawit, pasokan bahan baku, hingga biaya angkut menjadi faktor pendorong yang berdampak pada keresahan sosial di tengah-tengah masyarakat
Kelangkaan minyak goreng juga masih terjadi pada Februari 1998 pada sejumlah daerah, seperti DKI Jakarta, Surabaya, dan Medan. Saat itu kelangkaan minyak goreng tidak terlepas dari gejolak nilai tukar rupiah sehingga berdampak pada ketidakpastian biaya produksi.
Pada Mei 1998, kelangkaan minyak goreng masih dialami oleh sejumlah daerah, seperti Bandar Lampung, Semarang, dan Bandung. Tingginya biaya angkut di tengah gejolak politik dan krisis ekonomi turut menjadi salah satu penyebab kelangkaan minyak goreng.
Pada periode reformasi, kelangkaan minyak goreng juga pernah terjadi di Bandung, Jawa Barat, pada Mei 2007. Pada saat yang bersamaan, kenaikan harga minyak goreng juga mencekik masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kondisi ini disebabkan oleh membaiknya harga minyak kelapa sawit mentah (CPO) dunia sehingga ekspor dari Indonesia meningkat. Kenaikan ekspor ini berdampak pada berkurangnya pasokan bahan baku minyak goreng sehingga mengurangi produksi minyak goreng di sejumlah daerah.
Kini, persoalan serupa kembali terjadi. Berdasarkan temuan Ombudsman, kelangkaan minyak goreng disebabkan oleh sejumlah faktor, yakni adanya penimbunan, pengalihan penjualan dengan harga yang lebih mahal, dan kepanikan masyarakat yang memicu pembelian dalam jumlah banyak(panic buying).
Baca juga : Mengurai ”Keruh” Minyak Goreng
Solusi
Dari catatan sejarah terkait kelangkaan minyak goreng di Indonesia, diketahui bahwa banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kelangkaan minyak goreng.
Gejolak politik, stabilitas harga minyak sawit, pasokan bahan baku, hingga biaya angkut menjadi faktor pendorong yang berdampak pada keresahan sosial di tengah-tengah masyarakat. Keresahan sosial ini tergambar dari sebagian masyarakat yang rela antre lama untuk mendapatkan minyak goreng dengan harga murah.
Bahkan, pada Februari 1998, antrean minyak goreng di Pekanbaru, Riau, pernah menyebabkan lima orang pingsan (Kompas, 10 Februari 1998). Hal ini menegaskan bahwa keresahan sosial akibat kelangkaan minyak goreng bukan pertama kali terjadi.
Beberapa strategi pun pernah diterapkan oleh pemerintah untuk mengatasi kelangkaan minyak goreng sekaligus menekan harga minyak goreng di pasaran. Pada tahun 2007, misalnya, produsen minyak kelapa sawit mentah dan produsen minyak goreng sepakat mengurangi laba demi menyubsidi harga minyak goreng di pasar dalam negeri.
Kebijakan ini disepakati pada Mei 2007 seusai pemerintah melakukan rapat tertutup dengan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, Asosiasi Industri Minyak Makan Indonesia, dan Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia. Hal ini dilakukan demi mengamankan stok minyak goreng dalam negeri dengan harga yang normal.
Strategi lain yang pernah dilakukan oleh pemerintah dan pengusaha untuk menjamin stok dan stabilitas harga minyak goreng adalah dengan melakukan operasi pasar minyak goreng dan pembatasan pembelian sebelum harga semakin bergejolak.
Selain itu, sosialisasi kepada masyarakat secara langsung di lapangan untuk tidak membeli minyak goreng dalam jumlah banyak juga menjadi strategi tak kalah penting yang pernah dilakukan pemerintah selama sekitar 20 tahun terakhir untuk menghadapi kelangkaan minyak goreng.
Bagaimanapun, sebagai bahan kebutuhan utama, stok minyak goreng tentu perlu dijamin untuk selalu tersedia di tengah-tengah masyarakat. Jika tidak, implikasinya tentu akan menyentuh ranah kekuasaan politik karena menimbulkan keresahan sosial.
Stok minyak goreng perlu dijamin untuk selalu tersedia di tengah-tengah masyarakat.
Atau, jika di masa yang akan datang kebutuhan ini dirasa sulit untuk terpenuhi, narasi tentang makanan yang digoreng perlu dikurangi. Narasi untuk kembali ke makanan rebusan, kukus, atau pengolahan lainnya seperti nenek moyang bangsa terdahulu perlu kembali disuarakan sama kerasnya seperti menyuarakan agar masyarakat tidak menumpuk minyak goreng. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Bertahan di Tengah Licinnya Harga Minyak Goreng