Dampak Omicron pada Pertumbuhan Ekonomi Kuartal I-2022
Lonjakan kasus Covid-19 berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Berkaca pada pengalaman serupa pada triwulan III-2021 saat merebak varian Delta, pertumbuhan ekonomi tumbuh melambat.
Harapan akselerasi ekonomi di tahun 2022 kembali dihadapkan pada sejumlah tantangan. Melonjaknya kasus Covid-19 varian Omicron, pengetatan di sejumlah wilayah, inflasi, serta tidak adanya momentum perayaan hari besar bakal menekan pertumbuhan ekonomi di awal tahun.
Optimisme akan adanya pemulihan ekonomi di tahun kedua pandemi Covid-19 benar-benar terjadi. Setelah mengalami kontraksi cukup dalam pada tahun pertama pandemi 2020 (minus 2,07 persen), ekonomi Indonesia kembali mencatatkan pertumbuhan positif sebesar 3,69 persen sepanjang tahun 2021.
Pada triwulan IV-2021, ekonomi tumbuh 5,02 persen jika dibandingkan periode yang sama tahun 2020 (year-on-year). Pertumbuhan positif tersebut terjadi pada seluruh komponen pengeluaran dan hampir semua sektor. Hanya sektor jasa keuangan dan asuransi yang masih mencatatkan kontraksi.
Bahkan, jika dibandingkan dengan triwulan III-2021 (quarter-to-quarter), laju pertumbuhan juga menunjukkan tren positif, yakni 1,06 persen. Padahal, menurut historinya, laju pertumbuhan triwulan IV secara triwulanan selalu mencatatkan pertumbuhan negatif, rata-rata minus 1,7 persen sepanjang 10 tahun terakhir.
Pemulihan tersebut didorong oleh semakin membaiknya sejumlah indikator ekonomi. Perbaikan penanganan pandemi seiring percepatan laju vaksinasi pun turut berkontribusi. Berkaca pada pemulihan tersebut, optimisme akan akselerasi ekonomi di tahun ketiga pandemi 2022 menjadi lebih tinggi.
Hanya saja, asa tersebut kembali dihadapkan pada jalan yang tak sepenuhnya mulus. Memasuki awal tahun, kasus terkonfirmasi positif Covid-19 di Indonesia kembali bertambah setelah mencapai titik puncak pada Juli 2021.
Momentum libur akhir tahun 2021 dengan kebijakan relatif lebih longgar membuat mobilitas masyarakat kian tinggi. Bahkan, penerbangan luar negeri, baik keluar maupun masuk, kembali dibuka.
Dampaknya, aktivitas ekonomi memang kembali aktif yang berujung pada laju pertumbuhan yang cukup tinggi. Namun, di sisi lain, virus Covid-19 kembali menyebar. Ditambah lagi terdeteksinya varian virus Omicron di Indonesia yang lebih mudah menular dibandingkan varian-varian sebelumnya.
Pada 15 Januari 2022, kasus terkonfirmasi positif Covid-19 di Indonesia sebanyak 1.054 kasus. Penambahan kasus baru ini cukup mengkhawatirkan mengingat terakhir kali kasus baru harian menembus angka 1.000 pada 14 Oktober 2021. Bahkan, menurut catatan Kementerian Kesehatan, kasus baru harian pada 26 Desember 2021 hanya 92 kasus.
Kasus terkonfirmasi positif kembali bertambah 1.362 kasus pada 18 Januari 2022. Sejak saat itu, kasus Covid-19 terus memuncak. Termutakhir, kasus baru pada 8 Februari 2022 tercatat 37.492 kasus. Jika dibandingkan dengan 479 kasus baru pada 8 Januari 2022, jumlah kasus harian bertambah 78 kali lipat dalam satu bulan.
Pembatasan aktivitas
Mencermati tren yang terjadi, rata-rata kasus baru dalam tujuh hari terakhir menunjukkan tren yang konsisten meningkat setiap harinya. Jumlah kasus yang kian bertambah tersebut diikuti kian tingginya persentase kasus aktif Covid-19 yang sempat melandai di pengujung 2021.
Angka kasus aktif menunjukkan proporsi penderita Covid-19 yang belum sembuh terhadap total kasus, dan masih berpotensi menularkan pada orang lain.
Pada 1 Januari 2022, persentase aktif Covid-19 masih berada di angka 0,10 persen. Namun, di akhir bulan, persentasenya naik menjadi lebih dari 1 persen. Hingga pada 8 Februari, seiring tingginya kasus harian, persentase aktif berada di kisaran angka 5,09 persen.
Dengan persentase aktif yang kian tinggi dan transmisi varian Omicron yang kian cepat, infeksi virus berpotensi kian cepat menyebar. Bahkan, sejumlah pihak memprediksi, lonjakan kasus varian Omicron bisa tiga kali lebih banyak dibandingkan saat varian Delta memuncak.
Meski dampak lanjutan dari virus jenis baru tersebut relatif lebih ringan dari varian sebelumnya, hal itu tetap mengancam kelompok-kelompok rentan, seperti warga lansia, warga dengan penyakit penyerta (komorbid), dan masyarakat yang belum menerima vaksin.
Menanggapi situasi tersebut, pemerintah kemudian mengambil langkah menerapkan kembali pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 3 di sejumlah daerah. Pada minggu kedua Februari, pemerintah menerapkan PPKM level 3 pada 41 daerah yang tersebar di Jawa-Bali. Pada minggu pertama Februari, pemerintah hanya memberlakukan PPKM level 3 pada dua daerah di Jawa-Bali (Kabupaten Pamekasan dan Kota Serang).
Layaknya kebijakan yang diterapkan sebelumnya, sejumlah aktivitas masyarakat, seperti perkantoran, sekolah, perbelanjaan, hiburan, hingga wisata, kembali dibatasi. Pembatasan tersebut berpotensi menurunkan kinerja ekonomi secara nasional lantaran besarnya peran ekonomi Pulau Jawa.
Hingga 2021, peran ekonomi Pulau Jawa masih paling dominan, yakni 57,89 persen dari total PDB nasional dengan sumbangan sumber pertumbuhan 2,15 persen. Secara spasial, DKI Jakarta menjadi penyumbang terbesar dengan kontribusi 17,19 persen pada periode yang sama.
Sementara itu, seluruh wilayah di DKI Jakarta masuk dalam kategori PPKM level 3. Berikutnya adalah Jawa Timur dan Jawa Barat dengan kontribusi ekonomi masing-masing 14,48 persen dan 13,03 persen. Sejumlah wilayah Jawa Barat yang menjadi bagian dari aglomerasi DKI Jakarta juga masuk kategori PPKM level 3.
Tak hanya Jawa-Bali, terdapat pula 37 daerah di luar Jawa-Bali yang juga menerapkan PPKM level 3. Sedikit banyak, penurunan sejumlah aktivitas tersebut akan berdampak pada kinerja ekonomi secara nasional khususnya pada triwulan pertama tahun ini.
Tertekan
Berkaca pada pengalaman serupa pada triwulan III-2021, pertumbuhan ekonomi tumbuh melambat. Setelah tumbuh ekspansif sebesar 7,07 persen pada triwulan II dan berhasil membawa Indonesia keluar dari jurang resesi, laju pertumbuhan triwulan III hanya 3,51 persen secara tahunan.
Dasar pertumbuhan yang rendah (low based effect) pada tahun sebelumnya memang memicu tingginya pertumbuhan tersebut. Namun, secara triwulanan, laju pertumbuhan triwulan III juga mengalami perlambatan menjadi 1,55 persen dari sebelumnya 3,31 persen.
Transportasi menjadi salah satu sektor yang cukup tertekan saat itu. Secara triwulanan, sektor transportasi terkontraksi minus 1,37 persen dan secara tahunan sebesar minus 0,72 persen. Aktivitas masyarakat yang lebih banyak dilakukan di rumah akan membuat permintaan pada sektor transportasi menurun.
Sektor lain yang terancam terimbas dampak pengetatan adalah penyedia akomodasi makan-minum. Setelah tumbuh positif pada triwulan II, sektor yang berkaitan erat dengan aktivitas wisata itu terkontraksi minus 5,73 persen secara triwulanan dan minus 0,14 secara tahunan.
Bukan tidak mungkin, hal serupa terjadi pada triwulan pertama tahun ini. Ditambah lagi, tidak ada momentum khusus yang mampu mendongkrak aktivitas ekonomi. Momentum hari raya libur Natal dan Tahun Baru telah usai. Peringatan Ramadhan dan Idul Fitri pun baru dimulai triwulan berikutnya.
Tantangan lainnya adalah tingkat inflasi. Hal ini patut diwaspadai lantaran inflasi yang mulai menyentuh angka 2,18 persen pada Januari 2022 kurang mencerminkan tingginya permintaan, melainkan tingginya harga sejumlah komoditas. Salah satunya adalah minyak goreng seiring dengan tingginya harga minyak mentah (CPO) secara global.
Inflasi global yang kian tinggi juga perlu diwaspadai lantaran dapat berujung pada peningkatan suku bunga untuk kembali menekan inflasi. Jika suku bunga global dinaikkan, bukan tidak mungkin pemerintah turut meningkatkan suku bunga. Salah satunya untuk mencegah keluarnya arus modal asing (capital outflow). Di lain sisi, peningkatan suku bunga akan berdampak pada perlambatan ekonomi karena tingginya antusias masyarakat untuk menyimpan dananya.
Baca juga: Inflasi, Omicron, dan Ekonomi
Mengantisipasi hal tersebut, pemerintah harus segera mengambil langkah untuk stabilisasi harga. Pemerintah juga perlu menjaga stok komoditas guna menanggulangi kelangkaan dan kenaikan harga komoditas impor. Di tengah terbatasnya aktivitas masyarakat karena kebijakan PPKM, belanja daring dapat dioptimalkan agar kegiatan ekonomi tetap terkendali di tengah keterbatasan.
Di tengah semua itu, pengendalian Covid-19 menjadi hal yang terpenting. Pengawasan tegas harus dilakukan, terutama pada wilayah-wilayah yang menerapkan PPKM level 3, agar terlaksana secara optimal dan mencegah gelombang Covid-19 kian memuncak. Sinergi perlu dilakukan agar persoalan kesehatan tetap teratasi, tetapi kegiatan pertumbuhan ekonomi tidak kembali terhenti.(LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Optimisme Ekonomi Indonesia pada 2022