Harapan Baru Pengobatan Pasien Covid-19
Perkembangan riset klinis obat untuk pasien Covid-19 terus berlanjut hingga saat ini. Ada tiga rekomendasi baru dari WHO terkait pengobatan Covid-19 terutama untuk pasien gejala berat hingga kritis.
Di tengah lonjakan kasus infeksi Covid-19 yang disebabkan varian Omicron, WHO merekomendasikan obat baru bagi pasien dengan gejala berat dan kritis. Perkembangan dan ketersediaan obat Covid-19 turut menjadi harapan dunia dalam menghadapi pandemi korona.
Dunia masih terus berjuang menghadapi wabah penyakit yang disebabkan virus korona. Situasi pandemi belum sepenuhnya terkendali mengingat dalam dua tahun terakhir terus bermunculan varian baru dari Covid-19 yang jauh lebih infeksius.
Menyikapi infeksi virus korona yang terus mengancam, setidaknya ada empat hal utama yang dilakukan sejumlah negara untuk menghadapi pandemi, yaitu pengendalian mobilitas warga, penerapan protokol kesehatan, vaksinasi Covid-19, dan pengobatan. Aspek terakhir, yaitu keberhasilan pengobatan, menjadi harapan besar dunia dalam menghadapi wabah korona.
Pentingnya upaya pengobatan bertujuan untuk menyembuhkan pasien Covid-19 dari risiko memburuknya kondisi paparan virus korona. Salah satu kebutuhan utama dari sisi layanan kesehatan di tengah melonjaknya kasus Covid-19 adalah ketersediaan obat dan ventilator.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) secara berkala memperbarui pedoman pengobatan Covid-19 seiring dengan perkembangan pengobatan infeksi virus korona. Pada 14 Januari 2022, WHO menerbitkan dokumen pedoman pengobatan pasien Covid-19. Dalam dokumen kedelapan bertajuk ”Therapeutics and Covid-19: Living Guideline” tersebut ada 14 rekomendasi baru terkait pengobatan Covid-19, salah satunya adalah obat baru untuk pasien dengan gejala berat dan kritis.
Bahasan mengenai obat untuk pasien Covid-19 menjadi bagian krusial dalam penanganan pandemi. Di Indonesia telah ada aturan yang mendasari klaim penggantian biaya perawatan pasien, yaitu Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/5673/ 2021.
Biaya perawatan yang ditanggung pemerintah melalui Kementerian Kesehatan mencakup administrasi pelayanan, akomodasi ruang rawat inap, jasa dokter, ruang isolasi, pemeriksaan penunjang, obat-obatan dan alat kesehatan, serta alat pelindung diri (APD).
Kementerian Kesehatan membagi jenis obat yang digunakan di Indonesia terpisah menjadi tiga bagian, yaitu multivitamin, obat simtomatik, dan antivirus. Dua jenis vitamin yang wajib diberikan untuk semua pasien dengan berbagai gejala adalah vitamin C dan D.
Sementara obat simtomatik disesuaikan dengan jenis gejala yang muncul. Gejala paling lazim muncul adalah demam sehingga jenis obat yang diberikan adalah parasetamol, biasa ditambah obat pereda nyeri. Khusus obat antivirus, jenis obat disesuaikan dengan derajat keparahan. Khusus pasien gejala sedang-berat ditambahkan oksigenasi dalam perawatannya.
Lima obat antivirus yang digunakan di Indonesia adalah favipiravir, molnupiravir, nirmatevir, ritonavir, dan remdesivir. Bagi pasien bergejala sedang, diberikan pula pengobatan antikoagulan untuk mencegah terjadinya penggumpalan darah. Sementara pasien gejala berat perlu mendapatkan kortikosteroid dan IL-6.
Kortikosteroid dinilai mampu mengurangi risiko kematian pasien, termasuk dapat membatasi penggunaan ventilator dan memotong durasi perawatan. Hampir serupa, IL-6 mampu mengendalikan infeksi hingga mengurangi potensi kematian. Jenis obat IL-6 yang dipakai Indonesia adalah tocilizumab.
Bagi pasien di Indonesia, stok obat yang tersedia di dinas kesehatan per provinsi terbilang memadai. Data per 28 Januari 2022, pemerintah telah menyediakan stok lima jenis obat, yaitu favipiravir (6,69 juta butir), remdesivir (233.700 vial), tocilizumab 400 mg/20 ml (303 vial), tocilizumab 80 mg/4 ml (748 vial), dan multivitamin (6,44 juta butir).
Varian obat
Perkembangan riset klinis obat untuk pasien Covid-19 terus berlanjut hingga saat ini. Dokumen ”Therapeutics and Covid-19: Living Guideline” edisi kedelapan yang disusun WHO menjelaskan perkembangan terbaru penggunaan obat, termasuk obat apa saja yang sudah tidak direkomendasikan.
Ada tiga rekomendasi baru dari WHO terkait pengobatan Covid-19. Pertama, obat baricitinib dapat dipakai sebagai alternatif pengganti IL-6 untuk pasien gejala berat hingga kritis. Penggunaan obat baricitinib atau IL-6 dikombinasikan dengan kortikosteroid.
Baricitinib diberikan sebanyak 4 mg setiap hari dalam durasi 14 hari. Hasil uji klinis menunjukkan bahwa baricitinib mampu mengurangi risiko kematian, durasi penggunaan ventilator, dan lama perawatan di rumah sakit rujukan. Sebagai perbandingan, kematian pasien dengan perawatan standar sebesar 130 per 1.000 orang. Namun, saat ada intervensi baricitinib, mortalitas turun 85 per 1.000 orang.
Kedua, rekomendasi alternatif terhadap obat ruxolitinib dan tofacitinib untuk pasien gejala berat dan kritis. Untuk pasien gejala berat dan kritis, WHO sangat merekomendasikan baricitinib dibandingkan dua obat lain, yaitu ruxolitinib dan tofacitinib. Ketiga, rekomendasi alternatif bagi pasien tak bergejala berat adalah obat sotrovimab.
Sotrovimab memiliki fase khusus pemberian kepada pasien, yaitu lebih disarankan pada pasien yang berisiko tinggi mengalami perburukan dan perlu rujukan ke rumah sakit. Selain sotrovimab, obat untuk pasien gejala tidak berat yang direkomendasikan adalah casirivimab-imdevimab.
Selain tiga temuan baru tersebut, WHO juga menegaskan berbagai jenis obat/terapi yang harus dilarang penggunaannya untuk pasien Covid-19, kecuali dalam konteks uji klinis. Dalam dokumen ”Therapeutics and Covid-19: Living Guideline” edisi ketujuh yang dirilis pada 7 Desember 2021, terapi plasma konvalesen harus dihentikan secara keseluruhan.
Tak hanya plasma konvalesen, dalam dokumen keempat yang dirilis 31 Maret 2021, WHO menyatakan bahwa ivermectin dilarang untuk digunakan sebagai obat. Sebelumnya, dokumen ketiga (17 Desember 2020) juga merekomendasikan penghentian obat jenis hidroklorokuin.
Penggunaan obat tertentu untuk pasien Covid-19 tentu dilakukan berdasarkan hasil penilaian secara medis oleh dokter. Karena skala pengobatan cukup detail dan subyektif, setiap individu bisa saja memiliki jenis perawatan yang berbeda, terutama bagi yang memiliki komorbid.
Isolasi mandiri
Konsumsi obat untuk pasien terkonfirmasi Covid-19, khususnya pasien isolasi mandiri di rumah, tidak bisa dilakukan secara sembarangan tanpa pantauan tenaga medis. Setiap jenis obat memiliki efek samping sehingga dosis yang diberikan harus terukur.
Kebutuhan obat Covid-19 diperkirakan akan terus bertambah seiring peningkatan kasus terkonfirmasi di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Lonjakan kasus turut dialami Indonesia saat ini, per 5 Februari 2022 tercatat 33.729 kasus baru dan 44 orang meninggal. Kasus aktif pun telah mencapai 163.468 kasus di seluruh Indonesia.
Dari ribuan kasus aktif, hanya 12 persen pasien yang dirawat di rumah sakit. Artinya, pasien saat ini didominasi pasien isolasi mandiri atau yang menggunakan fasilitas isolasi terpusat. Bagi pasien isolasi mandiri, pemantauan kondisi medis mutlak dibutuhkan, khususnya pemberian obat-obatan yang tepat.
Tenaga kesehatan di tingkat daerah, khususnya puskesmas, harus rutin mengevaluasi status klinis pasien. Setidaknya tujuh status klinis perlu dipastikan, yaitu demam, sesak napas, batuk, nyeri dada, gangguan kesadaran, penurunan nafsu makan dan minum, serta diare.
Sementara syarat klinis untuk pasien dapat melakukan isolasi mandiri adalah usia kurang dari 45 tahun, tidak memiliki komorbid, dapat mengakses telemedicine (pengobatan jarak jauh) dan layanan kesehatan terdekat, serta berkomitmen tetap diisolasi sebelum selesai karantina.
Kemenkes telah menyiapkan paket obat bagi pasien tanpa gejala dan bergejala ringan, khususnya pasien isolasi mandiri, yang bisa diakses melalui telemedicine. Paket untuk pasien tanpa gejala berisikan multivitamin C, B, E, dan Zinc sebanyak 10 butir. Sementara paket untuk pasien gejala ringan terdiri dari multivitamin C, B, E, dan Zinc (20 butir), favipiravir 200 mg atau malnupiravir 200 mg (40 butir), dan parasetamol 500 mg (20 butir).
Baca juga: Molnupiravir, Obat Covid-19, Tiba di Indonesia
Pengadaan obat bagi pasien Covid-19 sama pentingnya dengan vaksinasi, terlebih bagi pasien yang mengalami gejala. Banyak nyawa bisa diselamatkan melalui pengobatan atau terapi yang tepat, mulai dari multivitamin, obat simtomatik, hingga antivirus.
Hingga kini penelitian tentang obat masih terus berlanjut. WHO akan memberikan rekomendasi baru jika ditemukan bukti-bukti medis terkait jenis obat Covid-19, termasuk akan melarang penggunaan obat yang dinilai berbahaya dan tidak memberikan dampak signifikan. Perkembangan riset pengobatan dan ketersediaan obat Covid-19 menjadi harapan dunia dalam menghadapi pandemi korona yang belum berakhir. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengawasi Akses dan Penggunaan Obat bagi Pasien Covid-19