Melihat dampak perubahan iklim yang semakin nyata, program serta pendanaan untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim wajib menjadi bagian dalam kebijakan pemerintah.
Oleh
Debora Laksmi Indraswari
·6 menit baca
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Rumah yang tenggelam dan ditinggalkan warga di Desa Sriwulan, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah (2/9/2019). Abrasi, pasang air laut, dan perubahan iklim yang terus terjadi menjadi persoalan utama di pesisir utara Pulau Jawa.
Untuk menghadapi perubahan iklim dibutuhkan biaya yang besar. Tanpa pendanaan yang cukup, program perubahan iklim menjadi tidak maksimal dan dapat menyebabkan kondisi bumi bertambah parah. Bagaimana upaya Indonesia mencukupi pendanaan untuk menghadapi perubahan iklim?
Salah satu isu yang kuat diperbincangkan dalam Konferensi Perubahan Iklim Ke-26 atau COP 26 di Glasgow, Skotlandia, pada November 2021 adalah pendanaan iklim. Poin utama dari perbincangan itu adalah menagih komitmen negara-negara maju dalam wujud dana 100 miliar dollar AS per 2020 untuk diberikan kepada negara miskin dan berkembang. Pada akhirnya dalam Pakta Iklim Glasgow, komitmen tersebut berhasil disepakati kembali.
Mencuatnya isu pendanaan iklim di kancah global menjadi penting lantaran terjadi kesenjangan antara negara maju dan negara miskin dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Negara miskin dan berkembang turut menerima dampak kerusakan lingkungan yang disebabkan negara-negara maju pada puluhan tahun sebelumnya. Sementara tanpa adanya biaya yang cukup, negara miskin dan berkembang tidak mampu menghadapi dampak perubahan iklim dengan maksimal.
Biaya yang dibutuhkan untuk menghadapi perubahan iklim sangat besar. Program Lingkungan PBB (UNEP) memperkirakan, kebutuhan biaya adaptasi perubahan iklim negara-negara berkembang mencapai 140-300 miliar dollar AS per tahun pada 2030. Kebutuhan akan meningkat menjadi 280 miliar dollar AS-500 miliar dollar AS per tahun pada 2050.
ICHWAN SUSANTO
Menteri Keuangan Sri Mulyani berbicara di Paviliun Indonesia saat Konferensi Para Pihak (COP) 26 Perubahan Iklim di Glasgow, Skotlandia (1/11/2021).
Bagi Indonesia, menurut perhitungan Kementerian Keuangan, kebutuhan pendanaan perubahan iklim mencapai Rp 3.779 triliun jika mengikuti peta jalan Dokumen Kontribusi Nasional (NDC). Artinya, setiap tahun anggaran yang dibutuhkan mencapai Rp 200 triliun-Rp 300 triliun. Jumlah tersebut setara dengan 7-11 persen anggaran belanja negara 2022.
Kebutuhan pendanaan tersebut meningkat seiring bertambahnya komitmen Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim yang tercantum dalam NDC. NDC adalah dokumen yang berisi komitmen setiap negara dalam upaya mengurangi dampak perubahan iklim. Dalam NDC, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen (unconditional) dan 41 persen jika negara lain membantu (conditional).
Berdasarkan NDC, pendanaan untuk menghadapi perubahan iklim dibagi menjadi lima sektor. Kelimanya adalah kehutanan dan lahan, pertanian, energi dan transportasi, limbah serta proses industri dan penggunaan produk.
Sama seperti permasalahan pendanaan iklim global, kebutuhan biaya tidak sebanding dengan dana yang tersedia. Dari pendanaan yang bersumber dari APBN, pada 2020 alokasi anggaran mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sebesar Rp 77,81 triliun. Sebelumnya pada 2018 dan 2019, pemerintah menganggarkan Rp 132,47 triliun dan Rp 97,66 triliun.
Anggaran tersebut tentunya tidak mencukupi kebutuhan pembiayaan iklim yang mencapai rata-rata Rp 200 triliun-Rp 300 triliun setiap tahun. Hal ini menjadi tantangan lain bagi Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim.
Jika kebutuhan dana tidak terpenuhi, program untuk mengurangi dan mengatasi dampak perubahan iklim tidak maksimal. Akibat selanjutnya, dampak perubahan iklim semakin parah dan menimbulkan kerugian yang lebih besar.
MUHAMMAD SAMSUL HADI
Seorang peserta berjalan meninggalkan tempat berlangsungnya Konferensi Iklim atau COP 26 di Glasgow, Skotlandia (28/10/2021). Dalam konferensi di Glasgow itu, komunitas internasional menyepakati sejumlah langkah mitigasi dampak perubahan iklim. Selain komitmen pendanaan untuk transisi energi, kesepakatan lain adalah ambang batas emisi karbon di setiap negara.
Pendanaan internasional
Pemerintah telah mengupayakan berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan pendanaan iklim. Beberapa di antaranya adalah mengusahakan dukungan dana dari negara lain, lembaga atau pihak swasta, serta sejumlah inovasi pembiayaan lainnya.
Misalnya, dalam program Penurunan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan atau REDD+, Indonesia berhasil mendapatkan dana senilai 103,78 juta dollar AS atau sekitar Rp 1,5 triliun dari Green Climate Fund (GCF). GCF adalah lembaga internasional yang dibentuk olehKonvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) pada 2010 untuk menyalurkan pendanaan iklim bagi negara-negara berkembang. Pendanaan tersebut didapatkan Indonesia dari skema pembayaran berbasis hasil karena Indonesia berhasil menurunkan angka deforestasi.
Dalam program REDD+, Indonesia juga menandatangani kesepakatan dengan Pemerintah Norwegia pada 2010. Dalam kesepakatan itu, Pemerintah Norwegia sepakat untuk memberi dukungan dana senilai satu miliar dollar AS atau sekitar Rp 14,26 triliun untuk melakukan moratorium penebangan hutan. Akan tetapi, kesepakatan tersebut berakhir pada September 2021 karena kendala implementasi kesepakatan.
WAWAN HADI PRABOWO
Aktivis lingkungan yang tergabung dalam Aliansi Perlawanan Perubahan Iklim melakukan aksi unjuk rasa di Jalan Merdeka Selatan, Jakarta (5/11/2021). Mereka meminta pemerintah melakukan aksi nyata untuk menghentikan krisis iklim global. Para aktivis meminta pemerintah untuk menghentikan pemberian izin baru untuk pembangunan PLTU batubara, mengedepankan zero deforestation, dan menghentikan pemberian konsesi di pulau-pulau kecil dan wilayah pesisir.
Selain itu, Indonesia juga mendapatkan pendanaan untuk sembilan proyek yang telah disetujui oleh GCF. Dua di antaranya adalah Proyek Bus Rapid Transit di Semarang dan Geothermal Resource Risk Mitigation.
Seiring dengan bertambahnya program dan pendanaan iklim Indonesia, pemerintah pun meresponsnya dengan membentuk badan atau lembaga yang mengatur aliran pendanaan iklim. Untuk kepentingan GCF, Badan Kebijakan Fiskal mewakili Kementerian Keuangan menjadi otoritas nasional (national designated authority). BKF bertanggung jawab merancang dan mengatur kebijakan fiskal yang berkaitan dengan pendanaan iklim.
Selain itu, pemerintah juga membentuk Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup. Badan ini bertugas untuk menghimpun pendanaan dan penyaluran Dana Lingkungan Hidup (LH Fund) dan perubahan iklim yang bersumber dari dalam maupun luar negeri.
LAILY_RACHEV
Presiden Joko Widodo hadir dalam KTT Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim (COP 26) di Scottish Event Campus, Glasgow, Skotlandia, Sabtu (30/10/2021). Presiden Jokowi berkomitmen Indonesia terus berkontribusi dalam penanganan perubahan iklim.
Inovasi pembiayaan
Mengandalkan pendanaan dari anggaran publik, negara lain, dan lembaga internasional saja belum cukup untuk memenuhi kebutuhan pendanaan perubahan iklim. Karena itu, dibentuklah inovasi pendanaan melalui berbagai instrumen pembiayaan untuk proyek atau program mengatasi perubahan iklim.
Pada 2018, misalnya, Indonesia telah menerbitkan Sukuk Hijau Global pertama senilai 1,25 miliar dollar AS atau Rp 16,75 triliun. Hingga pertengahan 2021, total nilai Sukuk Hijau Global yang telah diterbitkan mencapai 3,5 miliar dollar AS. Jumlah tersebut merupakan akumulasi empat kali penerbitan Sukuk Hijau Global. Selain itu, pemerintah juga menerbitkan Sukuk Hijau Ritel selama dua kali dalam kurun waktu 2018-2020 dengan total nilai 490,1 juta dollar AS atau Rp 6,86 triliun.
Sukuk Hijau adalah surat berharga negara syariah yang mengedepankan pembiayaan program atau proyek-proyek ramah lingkungan. Berdasarkan laporan Alokasi dan Dampak Sukuk Hijau 2021, pendanaan melalui Sukuk Hijau telah digunakan untuk sejumlah sektor, seperti transportasi berkelanjutan, ketahanan terhadap perubahan iklim bagi wilayah rentan dan mitigasi bencana, efisiensi energi, manajemen air dan limbah, serta energi baru terbarukan.
Dalam wujud lain, pemerintah juga memperkuat instrumen kebijakan pengendalian dampak perubahan iklim melalui pajak karbon. Pajak karbon diterapkan untuk mengendalikan emisi karbon di Indonesia yang cukup tinggi.
Pajak karbon dikenakan pada emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup. Pada tahap pertama, pajak karbon akan dikenakan ke sektor pembangkit listrik tenaga uap batubara mulai April 2022. Implementasinya direncanakan hingga 2024, baru setelahnya akan menyasar sektor-sektor lain.
Melihat dampak perubahan iklim yang semakin nyata, program dan pendanaan untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim wajib menjadi bagian dalam kebijakan pemerintah. Sejauh ini, ragam pendanaan perubahan iklim yang telah diupayakan oleh pemerintah sedikit demi sedikit telah membuahkan hasil. Hanya saja, upaya tersebut perlu dipelihara bahkan ditingkatkan di masa depan, mengingat masih jauhnya target yang harus dicapai.
Misalnya dari sektor energi, pada 2020 Indonesia hanya berhasil menurunkan emisi 64,4 juta ton CO2e. Meskipun melebihi target dari sektor energi, yaitu 58 juta ton CO2e, target keseluruhan penurunan emisi GRK pada 2030 yang mencapai 314 juta ton CO2e akan sulit tercapai jika tidak ada peningkatan usaha.
Di masa pandemi seperti saat ini, memang perlu adanya refocusing anggaran untuk mengatasi dampak pandemi. Kendati demikian, komitmen pendanaan perubahan iklim dapat diselaraskan dengan program atau kebijakan ekonomi.
Selain itu, meski lembaga penganggaran, penyalur, dan pengelola dana iklim sudah tersedia di tingkat pusat, keterlibatan pemerintah daerah perlu ditingkatkan. Pemerintah daerah juga berkewajiban menyusun rencana aksi daerah untuk penurunan emisi gas rumah kaca beserta anggarannya. Sayangnya, hal itu masih minim.
Upaya untuk mengurangi dampak perubahan iklim tidak hanya membutuhkan upaya teknis, tetapi juga finansial. Komitmen kuat untuk mengurangi dan mengantisipasi dampak perubahan iklim perlu dukungan pendanaan yang cukup. (LITBANG KOMPAS)