Berharap Relasi Kuat Rakyat dan Wakil Rakyat
Relasi rakyat dan wakil rakyat perlu dikuatkan. Dominasi partai politik semestinya memberi ruang penguatan tersebut karena sistem proporsional terbuka lebih menguatkan legitimasi wakil rakyat di hadapan pemilihnya.

Didie SW
Sistem pemilu proporsional terbuka semestinya menjamin kedekatan antara rakyat sebagai pemilih dan wakil rakyat yang dipilihnya. Faktanya, relasi yang terjadi masih didominasi oleh kekuasaan partai politik. Keberadaan wakil rakyat cenderung lebih banyak tunduk pada arah kebijakan partai meskipun terkadang berbeda dengan arus keinginan publik.
Salah satu kekuasaan partai politik terhadap anggota legislatif itu terwujud dari kewenangannya untuk melakukan penggantian antarwaktu (PAW) anggota legislatif. Salah satunya melalui kewenangan pemecatan keanggotaan. Dengan tidak lagi menjadi anggota partai, otomatis syarat menjadi anggota legislatif tidak lagi bisa dipenuhi oleh seseorang yang sudah dipecat oleh partai politik.
Baca juga : Ujian Politik Partai Politik Baru
Pengalaman PAW sejumlah anggota DPR, terutama yang dilatarbelakangi oleh sikap perlawanan anggota legislatif terhadap keputusan partai, menunjukkan besarnya kewenangan partai politik menentukan nasib kadernya.
Hal ini tentu tidak lepas dari keberadaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, terutama Pasal 16 yang mengatur, anggota partai politik bisa diberhentikan apabila melanggar anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART). Sementara penyusunan AD/ART merupakan domain partai.

Warga melewati coretan kritik untuk mendengarkan suara rakyat di Cempaka Baru, Kemayoran, Jakarta Pusat, Selasa (11/1/2022). Suara rakyat seharusnya kapan saja didengar oleh penguasa, tidak hanya saat pemilu.
Terkait domain partai politik dalam membentuk AD/ART ini sempat menjadi pertimbangan gugatan terkait masalah hukum yang melanda Partai Demokrat beberapa waktu lalu. Pertengahan September 2021, empat kader Demokrat yang terafiliasi dengan kubu Kongres Luar Biasa Demokrat Deli Serdang mengajukan uji materi terhadap AD/ART Partai Demokrat Tahun 2020 ke Mahkamah Agung dengan menggandeng advokat senior Yusril Ihza Mahendra.
Salah satu isu yang dibawa pengajuan uji materi ini adalah bahwa MA berwenang menguji AD/ART parpol karena aturan itu dibuat atas perintah undang-undang dan delegasi dari UU No 2/2011 tentang Partai Politik.
Pengujian AD/ART parpol juga dinilai penting mengingat peran krusial parpol dalam demokrasi dan penyelenggaraan negara. Menurut Yusril, parpol tidak boleh dibentuk dan dikelola sesuka hati oleh para pendiri atau tokoh penting melalui AD/ART yang berlawanan dengan undang-undang atau UUD 1945.
Namun, gugatan uji materi ini kandas karena Mahkamah Agung menyatakan tidak berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus obyek permohonan uji materi terhadap AD/ART Partai Demokrat.

Salah satu perwakilan partai politik yang hadir dalam Sosialisasi Pemanfaatan Teknologi Informasi pada Pemilu Tahun 2024 yang diselenggarakan KPU di Gedung KPU, Jakarta, Kamis (13/1/2022). Kegiatan ini dihadiri perwakilan partai politik, Bawaslu, dan DKPP secara daring dan luring.
MA menilai AD dan ART partai politik bukanlah aturan perundang-undangan, juga tidak mengikat untuk umum, sehingga obyek uji materi tidak dapat diterima. Praktis, kewenangan internal partai politik lebih dipegang oleh otoritas internal partai politik yang bersangkutan.
Pengalaman PAW dan upaya menggugat AD/ART partai politik di atas menjadi cermin bahwa tidak mudah untuk memisahkan kekuasaan partai politik.Pengalaman sejumlah anggota DPR yang mengalami PAW atau ditarik oleh partainya (recall) adalah salah satu fenomena bagaimana partai politik memiliki kekuasaan penuh terhadap anggota legislatif.
Baca juga : Jalan Lapang dan Terjal Partai Politik
Fahri Hamzah termasuk salah satu anggota DPR yang berselisih dengan partainya, PKS, saat menjadi anggota DPR 2014-2019. Pada 3 April 2016 Fahri menerima surat keputusan DPP PKS terkait pemberhentiannya sebagai anggota PKS. Alasannya, karena pernyataan dan sikap Fahri sering kali bertentangan dengan kebijakan partai (Kompas, 5/4/2016).
Apa yang dialami Fahri sebelumnya juga dirasakan oleh politisi lainnya. Lihat saja perlawanan Effendi Choirie dan Lily Chadijah Wahid. Dua anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa DPR periode 2009-2014 ini juga dipecat partainya lantaran sering berseberangan dengan keputusan partai.

Supriyanto
Berpijak dari kuatnya kewenangan partai politik ini, tidak mudah kemudian memutus relasi partai politik dengan anggota legislatifnya melalui gagasan penghapusan fraksi di DPR seperti yang pernah diungkap oleh Partai Gelora.
Bagaimanapun, seperti yang disebutkan dalam undang-undang, partai politik adalah peserta pemilu dan calon anggota legislatif harus melalui prosedur pengusulan oleh partai politik untuk menjadi calon angggota DPR.
Baca juga : Partai Baru Berjalan di Lorong Sempit
REFORMASI PARTAI
Untuk itu, reformasi sistem kepartaian memang menjadi kunci untuk memperkuat relasi antara wakil rakyat yang disodorkan oleh partai politik dan rakyat yang memilihnya. Penerapan sistem pemilu proporsional terbuka sebenarnya menjadi pintu masuk untuk memperkuat hal tersebut.
Dengan sistem ini, otoritas partai secara tidak langsung ”berkurang” karena pemilih turut menentukan siapa yang berhak mendapatkan kursi di parlemen meskipun pintu pencalonan masih melalui partai politik.
Hasil pemilu memang menyebutkan partai politik masih menjadi faktor pertimbangan orang menentukan pilihan. Hal ini terbukti dengan lebih banyaknya suara yang diperoleh partai dibandingkan suara yang diraih calon anggota legislatif.

Survei Litbang Kompas soal partai politik baru di mata publik.
Namun, sejak terbukanya sistem pemilu proporsional terbuka, mulai muncul calon-calon anggota legislatif yang meraih suara melebihi suara yang diraih partai di tingkat daerah pemilihan.
Hasil pengolahan Litbang Kompas dari perolehan suara 575 anggota DPR terpilih di Pemilu 2019 menyebutkan, hampir separuh dari anggota DPR terpilih (49,2 persen) meraih suara lebih tinggi dari suara yang ditujukan pada partai politik. Hal ini mengindikasikan lebih banyak pemilih yang mencoblos calon anggota legislatif dibandingkan pemilih yang hanya mencoblos gambar partai politik.
Perolehan suara anggota DPR bahkan ada yang jauh melebihi suara murni partai politik (suara yang ditujukan ke partai politik). Dari 283 anggota DPR terpilih, sepuluh orang mendulang suara yang jauh melebihi suara partai di daerah pemilihannya, bahkan kisarannya 9-45 kali lipat lebih selisihnya dengan suara murni yang ditujukan ke partai politiknya.
Dari sepuluh anggota DPR terpilih dengan suara jauh lebih besar dari suara partai ini, enam orang berasal dari dapil Jatim XI (Madura) dan dua di antaranya berasal dari dapil Sulawesi Selatan I.

Mural yang mengharapkan negara yang adil dan sejahtera menghiasi pagar tembok di Situ Gadung, Kecamatan Pagedangan, Kabupaten Tangerang, Banten, Minggu (8/1/2022). Pemilu sebagai sistem suksesi kepemimpinan selalu memunculkan harapan akan munculnya pemimpin yang adil dan membawa kesejahteraan.
Sebut saja nama Haruna MA yang terpilih melalui dapil Sulsel I dengan pencapaian 46.692 suara. Angka ini senilai 45 kali lipat dari suara partainya (PKB) yang hanya tercatat 1.040 suara. Selanjutnya di urutan kedua Willy Aditya dengan 190.814 suara dari dapil Jawa Timur XI. Perolehan suaranya setara 35 kali lipat dari suara partainya (Nasdem) yang hanya meraih 5.347 suara.
Jika merujuk pada kecenderungan banyak pemilih memberikan suaranya untuk mencoblos calon anggota legislatif dibandingkan partai politik, bisa dikatakan ada indikasi kuat sistem proporsional terbuka dengan mekanisme suara terbanyak lebih mendukung penguatan kedaulatan pemilih dibandingkan proporsional tertutup.
Pada akhirnya tujuan utamanya adalah bagaimana menjamin kedekatan rakyat dengan wakil rakyat yang dipilihnya tanpa harus menanggalkan urgensi dari peran partai politik.
Bagaimanapun, kedaulatan pemilih mutlak harus dijamin, seperti yang pernah ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya no 22-24/PUU-VI/2008, suara pemilih adalah bentuk penghargaan kepada kedaulatan rakyat.
Pada akhirnya tujuan utamanya adalah bagaimana menjamin kedekatan rakyat dengan wakil rakyat yang dipilihnya tanpa harus menanggalkan urgensi dari peran partai politik.
Menyeimbangkan antara kedaulatan pemilih di satu sisi dan tetap menjaga otoritas partai politik di sisi lainnya adalah ”jalan tengah” untuk memperkuat relasi rakyat dan wakil rakyat. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Menguji Kemapanan Pilihan Partai Politik