Gangguan Tidur Perparah Kualitas Istirahat
Di tengah sempitnya waktu untuk istirahat, gangguan tidur makin mempersulit manusia mencapai kualitas tidur yang paripurna. Gangguan tidur mesti dikenali demi tidur yang optimal.
Di tengah sempitnya waktu untuk istirahat, gangguan tidur makin mempersulit manusia mencapai kualitas tidur yang paripurna. Gangguan tidur mesti dikenali demi tidur yang optimal.
Laporan Global Sleep Survey tahun 2019 menunjukkan, rata-rata orang dewasa tidur selama 6,8 jam per hari. Survei yang dilakukan oleh perusahaan teknologi Philips pada 11.006 responden di 12 negara ini juga menemukan 44 persen responden memiliki kualitas tidur yang memburuk selama lima tahun terakhir.
Durasi tidur sendiri tidak diwakili oleh angka ajaib yang menjamin tidur yang berkualitas. Hingga kini, patokan durasi tidur hanya ditentukan berbasis kategori usia. Misalnya, otoritas Amerika Serikat dan Kanada menganjurkan lama tidur usia 18 tahun ke atas adalah 7-9 jam. Sementara di Indonesia, Kementerian Kesehatan menganjurkan durasi tidur 7-8 jam untuk rentan usia yang sama.
Durasi tidur menjadi faktor risiko yang mengarah pada gangguan tidur. Dalam buku Clinical Methods: The History, Physical, and Laboratory Examinations (1990), para penulis menyebut gangguan tidur atau sleep disturbance sebagai gejala yang mengarah pada ketidakmampuan untuk memulai tidur dan mempertahankan tidur (insomnia), rasa kantuk yang berlebihan (hipersomnia), gangguan saat fase tidur (parasomnia), dan gangguan siklus tidur.
Gejala yang terjadi pada insomnia dapat berupa kesulitan bernapas, kram, dan rasa gatal pada kaki hingga terbangun terlalu pagi. Pada hipersomnia, gangguan dapat berupa serangan kantuk yang tiba-tiba dan kebutuhan tidur lebih dari 12 jam.
Hipersomnia bahkan dianggap sangat berbahaya karena dapat memicu kecelakaan kerja atau kecelakaan lalu lintas. Sementara parasomnia dicirikan dengan aktivitas tidak normal, seperti berjalan saat tidur, serangan kepanikan, mimpi buruk, dan kaku pada seluruh tubuh.
Gangguan tidur dialami oleh respoden, baik yang kurang tidur maupun yang terlalu lama berada di tempat tidur.
Anomali durasi, baik terlalu pendek maupun panjang, dapat menimbulkan gangguan tidur. Dalam laporan penelitian berjudul Sleep Disturbance is Associated with Not Only Shorter Sleep Duration, but also Longer Time in Bed: A Japanese General Population Survey yang dimuat jurnal Sleep and Biological Rhythms pada 21 Juni 2019, para peneliti menemukan bahwa gangguan tidur dialami oleh respoden, baik yang kurang tidur maupun yang terlalu lama berada di tempat tidur.
Survei pada 2.542 responden berusia 20 tahun ke atas di Jepang ini memaparkan rata-rata durasi tidur orang Jepang adalah 6,6 jam. Sementara rata-rata lama waktu berada di tempat tidur (time in bed) adalah tujuh jam.
Variabel lain juga menunjukkan persentase responden yang mengalami gangguan tidur, yaitu sebanyak 32,7 persen kesulitan tidur (ASD), sebanyak 14,7 persen kesulitan memulai tidur (DIS), sebanyak 26,4 persen kesulitan mempertahankan tidur (DMS), dan 11,6 persen bangun terlalu pagi (EMA).
Kelompok yang tidur kurang dari 6 jam ditemukan cenderung memiliki keempat gangguan insomnia yang disebutkan di atas (ASD, DIS, DMS, dan EMA). Sementara kelompok yang tidur 6-7 jam hanya memiliki gangguan EMA.
Dari sisi lama berada di tempat tidur, kelompok yang menghabiskan waktu di tempat tidur lebih dari 9 jam cenderung memiliki gangguan DIS, DMS, dan ASD. Baik terlalu pendek maupun terlalu panjang durasi istirahat, keduanya rentan gangguan tidur.
Gangguan tidur juga dapat terjadi jika seseorang memiliki masalah pada pencernaan.
Selain dari sisi durasi, gangguan tidur juga dapat terjadi jika seseorang memiliki masalah pada pencernaan. Dalam laporan penelitian berjudul Irritable Bowel Syndrome, Immune Fitness, and Insomnia: Results from an Online Survey Among People Reporting Sleep Complaints yang diterbitkan jurnal Sleep and Vigilance pada 14 Mei 2019, ditemukan hubungan orang yang memiliki keluhan irritable bowel syndrome (IBS) atau keluhan sakit pada perut, diare, dan konstipasi, memiliki kesulitan untuk tidur.
Meski demikian, orang dengan IBM tidak memiliki kesulitan untuk mempertahankan tidur. Riset ini menyumbang rekomendasi untuk mempertimbangkan pemberian obat atau perawatan kepada orang yang memiliki kesulitan tidur berdasarkan penyakit yang diderita.
Apa itu tidur?
Dalam kamus besar Oxford, tidur didefinisikan sebagai keadaan alami ketika mata tertutup, tubuh tidak aktif, dan pikiran dalam keadaan tidak sadar. Sementara dari sisi medis, tidur tidak didefinisikan sesederhana itu.
Dunia medis baru menemukan bahwa otak masih dalam keadaan aktif saat tertidur setelah penemuan mesin electroencephalograms (EEGs) pada 1929. EEGs merekam aktivitas dan perubahan gelombang otak yang ternyata tetap terjadi saat manusia tertidur.
Studi tentang tidur pun berkembang dengan penggunaan alat untuk mengukur aktivitas otot dan kecepatan gerakan mata atau rapid-eye-movement (REM).
Dengan analisis berbasis aktivitas otak, otot, dan mata, ditemukan terdapat empat fase dalam tidur, yaitu fase non-REM (NREM) 1, NREM 2, NREM 3, dan REM. Profesor neurologi dari Universitas Harvard, Thomas E Scammell, menjelaskan, manusia dewasa yang sehat memulai fase tidur dengan NREM. NREM 1 ditandai dengan detak jantung dan gerakan mata yang mulai melambat yang terjadi selama 1-7 menit.
Fase NREM 2 ditandai dengan tubuh yang mulai dalam keadaan rileks dan makin hilangnya gelombang alfa yang biasanya aktif saat dalam keadaan sadar. Fase NREM 2 terjadi selama 10-25 menit. Pada fase NREM 3 muncul gelombang delta yang berlangsung 20-40 menit atau disebut dengan fase tidur nyenyak.
Tidur nyenyak terjadi pada fase NREM 3. Sementara mimpi terjadi pada fase REM.
Terakhir adalah fase REM yang ditandai dengan gerakan mata yang cepat, napas yang tidak beraturan, dan aktivitas otak yang serupa saat dalam keadaan sadar. Fase ini biasanya terjadi 20-25 persen dari total durasi tidur. REM dikenali dengan karakter amplitudo rendah, frekuensi tinggi, dan ritme alfa. Otot pada tangan dan lengan kaku. Mimpi terjadi pada fase REM.
Keempat fase tersebut berulang selama tidur. Faktor-faktor seperti usia, pola tidur, utang tidur, gangguan tidur, stres, keadaan lingkungan saat tidur, dan pola konsumsi disebut dapat memengaruhi distrubusi fase saat tidur. Misalnya, konsumsi alkohol sebelum tidur cenderung menekan tidur REM di siklus awal dan membuat orang cepat terbangun.
Gejala-gejala yang timbul pada gangguan tidur membuat fase tidur terganggu. Bagi orang insomnia, waktu yang dibutuhkan untuk memasuki fase NREM 1 menjadi sangat lama. Begitu juga bagi orang yang tidak dapat mempertahankan tidur, siklus NREM dan REM tidak berjalan dengan sempurna.
Hingga kini, para akademisi dan praktisi masih berjibaku untuk menemukan pertanyaan ”mengapa kita harus tidur?”. Lebih lagi, tidur masih dipercaya sebagai aktivitas yang membantu meregenerasi sel. Mengutip laman Fakultas Kesehatan, Universitas Harvard, tidur berfungsi untuk meningkatkan daya pikir, memperbaiki imunitas, menjaga kesehatan jantung, bahkan melawan sel kanker.
Di tengah studi tentang tidur yang terus berkembang, mengusahakan tidur yang berkualitas masih patut dilakukan. Misalnya, dengan menjaga keteraturan siklus dan durasi tidur atau dengan menjalankan sleep hygiene dengan tidak menggunakan perangkat gawai atau laptop di tempat tidur. (Arita Nugraheni/Litbang Kompas)