Tugas perguruan tinggi salah satunya adalah menyiapkan mahasiswa untuk berkarier atau bekerja, bahkan untuk mahasiswa yang studi S-1, bukan menjadi tenaga ahli.
Jika kemudian hasilnya banyak lulusan perguruan tinggi yang belum siap kerja, ada banyak faktor yang mempengaruhi hal tersebut. Namun, yang jelas, ada yang perlu dibenahi dalam pembelajaran di perguruan tinggi agar dapat menyiapkan mahasiswa untuk berkarier, entah itu bekerja mandiri atau bekerja kepada orang lain.
Langkah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menyelenggarakan program Praktisi Mengajar (Kompas, 4/6/2022) merupakan salah satu upaya konkret untuk menutup kesenjangan kualitas lulusan perguruan tinggi dengan kebutuhan dunia kerja tersebut. Dengan membawa pengalaman praktis di dunia kerja, kehadiran para praktisi dari dunia kerja ke kampus diharapkan akan meningkatkan relevansi mata kuliah yang diajarkan di perguruan tinggi dengan kebutuhan dunia kerja.
Baca Juga: Lulusan Perguruan Tinggi Belum Memuaskan, Praktisi Diundang Ikut Mengajar
Untuk bekerja memang tidak hanya membutuhkan kemampuan akademis atau keterampilan teknis (hardskills), melainkan harus diikuti kemampuan nonakademis atau keterampilan nonteknis (softskills). Bahkan, untuk dapat memenuhi tuntutan era 4.0, porsi keterampilan nonteknis harus lebih besar karena syarat menguasai kemampuan nonteknis inilah yang akan menentukan keberhasilan masa depan, bukan semata kemampuan akademis, apalagi jurusan saat kuliah.
Kita saat ini seolah berlomba dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat. Tantangan pendidikan adalah menyiapkan generasi masa depan yang terampil dan tidak tergantikan oleh proses otomasi. Keterampilan nonteknis, seperti kemampuan yang berkaitan dengan kecerdasan emosional, kemampuan berkomunikasi, berkolaborasi, manajerial, dan keterampilan sosial lain inilah yang tidak akan tergantikan oleh proses otomasi, dan ini yang harus diperkuat dalam pembelajaran di perguruan tinggi.
Dengan kebutuhan tersebut, membuka ruang belajar yang kolaboratif dan adaptif dengan mengundang praktisi dari dunia kerja ke kampus ini menjadi sangat relevan. Memang perguruan tinggi akan membutuhkan proses adaptasi untuk mengubah sistem pembelajaran yang selama ini cenderung konvensional ke sistem pembelajaran yang kolaboratif serta adaptif. Dan, kecepatan adaptasi masing-masing perguruan tinggi pun akan berbeda.
Baca Juga: Jokowi Minta Perguruan Tinggi Lebih Adaptif
Dengan jumlah perguruan tinggi di Indonesia yang mencapai 3.115 (BPS, 2021) dan beragamnya kualitas, tantangannya adalah bagaimana agar program Praktisi Mengajar ini dapat diselenggarakan secara merata di semua perguruan tinggi. Program akselerasi mungkin perlu dilakukan untuk membantu perguruan tinggi yang minim sumber daya. Jangan sampai perguruan tinggi yang minim sumber daya semakin tertinggal.