Di tengah risiko global yang kian meningkat, kondisi ekonomi dalam negeri masih relatif baik, dengan perekonomian yang terus menunjukkan pemulihan dari dampak pandemi.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Langkah Bank Indonesia mempertahankan bunga acuan 3,5 persen pekan ini menunjukkan optimisme perekonomian domestik, di tengah situasi global yang tak kondusif.
Situasi tak kondusif ini ditandai dengan kian meningkatnya risiko global. Saat ini terjadi lonjakan inflasi dunia yang mendorong kenaikan suku bunga negara maju, ancaman stagflasi di Amerika Serikat dan Uni Eropa, kian meningkatnya disrupsi rantai pasok global akibat lockdown di China, pelemahan prospek pertumbuhan global, serta berkepanjangannya perang Rusia-Ukraina yang memperparah krisis energi dan pangan dunia.
Dari sisi moneter, dua kali kenaikan suku bunga The Fed sejak Maret (dan masih akan ada kenaikan lagi tahun ini) dalam rangka meredam inflasi di AS berpotensi memicu arus balik modal dari negara-negara berkembang ke AS. Eksodus modal bisa mengancam nilai tukar dan stabilitas ekonomi negara berkembang, termasuk Indonesia. Opsi yang ditempuh adalah menaikkan suku bunga. Namun, pertimbangan mendorong pemulihan ekonomi menahan bank sentral untuk tidak menaikkan suku bunga.
Ada beberapa faktor yang memungkinkan Indonesia melakukan hal ini. Posisi sebagai eksportir komoditas membuat Indonesia diuntungkan oleh lonjakan harga komoditas global kendati Indonesia juga sangat terdampak oleh kenaikan harga energi dan pangan karena masih tergantung impor.
Di tengah risiko global yang kian meningkat, kondisi ekonomi dalam negeri juga masih relatif baik, dengan perekonomian yang terus menunjukkan pemulihan dari dampak pandemi. Ekonomi triwulan I-2022 tumbuh 5,01 persen, dengan hampir semua sektor dan mesin pertumbuhan mengalami ekspansi.
Inflasi Indonesia memang meningkat ke 3,47 persen, tetapi angka ini relatif moderat dibandingkan dengan banyak negara berkembang lain ataupun negara maju. Perang Rusia-Ukraina memicu siklus globalisasi inflasi lewat lonjakan harga energi dan pangan, ditambah lockdown China yang memperparah disrupsi rantai pasok global. Hampir 80 negara maju dan berkembang mencatat inflasi di atas 5 persen.
Di Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), rata-rata inflasi 37 negara mencapai 7,2 persen Januari 2022 (YOY). AS 8,4 persen, Eropa 7,5 persen, Inggris 9 persen. Di negara berkembang, inflasi Januari Venezuela tercatat 1.198 persen, Sudan 340 persen, Lebanon 201 persen, Suriah 139 persen, Suriname 63,3 persen, Zimbabwe 60,7 persen, Argentina 51,2 persen, dan Turki 48,9 persen.
ASEAN relatif terkendali, sekitar 3 persen. Namun, sejumlah lembaga mengingatkan tren peningkatan inflasi dan risiko gejolak sosial jika lonjakan pangan tak terkendali.
Dengan negara maju relatif menahan diri untuk tak terlalu agresif menaikkan suku bunga karena khawatir bisa memicu resesi, ada ruang bagi Indonesia untuk sementara menahan kenaikan bunga guna memacu pertumbuhan.
Namun, dengan berlarut-larutnya perang Ukraina, lonjakan harga energi akan kian membengkakkan subsidi dan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Kebijakan tak populis menyesuaikan harga energi mungkin harus ditempuh, lebih-lebih dengan alokasi subsidi yang tak tepat sasaran selama ini. Prioritas kebijakan fiskal harus diletakkan pada upaya melindungi kelompok rentan yang terpukul dampak kenaikan harga energi dan pangan.