Aspek nonpandemi, seperti ketegangan geopolitik, invasi, dan kebijakan moneter zig-zag negara Barat, seperti Indonesia yang sempat zig-zag soal sawit, adalah warna nasionalistik yang mengacaukan globalisasi.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
AFP/FABRICE COFFRINI
Kaum muda berdemonstrasi menentang World Economic Forum (WEF) saat berlangsung pertemuan tahunan WEF, di Davos, Swiss, Minggu (22/5/2022).
Pandemi Covid-19 berefek inflatoir karena stimulus mengucur deras saat penguncian wilayah. Peredaan pandemi mendorong kenaikan output dan bisa menekan inflasi.
Namun, peredaan pandemi disambut invasi Rusia ke Ukraina. Efeknya adalah kenaikan harga gandum, pupuk, minyak goreng, bahan bakar minyak, dan gas akibat pasokan yang terganggu. Menambah runyam keadaan, sejumlah negara mengamankan pasokan domestik dengan menghentikan ekspor, hal yang juga pernah dilakukan Indonesia lewat sawit.
Belum ada solusi atas kemelut itu. Amerika Serikat dan Eropa yang sudah berutang banyak sedang terancam inflasi pula. Pilihan mengetatkan jumlah uang beredar, termasuk lewat kenaikan suku bunga oleh bank sentral, terpaksa dilakukan. Langkah ini bukan tanpa efek dan berpotensi mengganggu aliran investasi portofolio.
PHOTO BY FABRICE COFFRINI / AFP
Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad al-Thani menyampaikan pidato sambil duduk di sebelah Pendiri dan Ketua Eksekutif World Economic Forum Klaus Schwab saat berlangsung pertemuan tahunan World Economic Forum (WEF) di Davos, Swiss, Senin (23/5/2022).
Kawasan Asia Tenggara sekalipun, yang disebut penggerak aliran investasi langsung global, terimbas penurunan aliran investasi portofolio. ”Ancaman bagi dunia sekarang adalah inflasi tinggi, suku bunga tinggi, dan pertumbuhan ekonomi yang rendah,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani, Senin (23/5/2022), di Jakarta.
Jika pandemi adalah aspek force majeur, aspek nonpandemi seperti ketegangan geopolitik, invasi, dan kebijakan moneter zig-zag negara Barat, seperti Indonesia yang sempat zig-zag soal sawit, adalah warna nasionalistik yang mengacaukan globalisasi. ”…. Tren ini mencuatkan kekhawatiran tentang dunia yang terpecah,” kata Jose Manuel Barroso, Ketua Goldman Sachs International dan mantan Presiden Komisi Uni Eropa (The Financial Times, 22 Mei). ”Globalisasi sedang tertantang oleh friksi akibat nasionalisme, proteksionisme, nativisme, chauvinisme, bahkan kadang xenofobia, dan tidak jelas siapa yang akan menang,” kata Barroso.
Tak heran Forum Ekonomi Dunia (WEF) di Davos kali ini mengambil tema ”bekerja sama, memulihkan rasa saling percaya”. Presiden WEF Borge Brende mengatakan, ”Pertemuan Davos kali ini berlangsung di tengah gejolak geopolitik paling berkecamuk dalam lima dekade terakhir.”
FABRICE COFFRINI / AFP
Seorang laki-laki berada di dekat paviliun konglomerat teknologi multinasional Meta di acara World Economic Forum (WEF), di Davos, Swiss, Minggu (22/5/2022).
Perlu waktu untuk memulihkan semua kisruh itu. Efek kisruh itu adalah potensi terjerembapnya 263 juta warga dunia ke dalam kemiskinan akut dan makin banyaknya warga dunia yang terpukul inflasi. Solusi bagi korban itu adalah subsidi makanan dan bahan bakar di banyak negara, kata Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional Kristalina Georgieva.
Tidak semua negara mengalami situasi akut. Asia, termasuk ASEAN dan Indonesia, relatif aman walau terganggu. Akan tetapi, ada cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi eksternalitas yang ada di luar kendali Indonesia itu. Kelanjutan reformasi ekonomi untuk memaksimalkan manfaat bonus demografi, termasuk kemudahan berbisnis, adalah hal urgen yang bisa dilakukan Indonesia.
Kebetulan sedang tumpah ruah pula delegasi Indonesia pada pertemuan Davos 2022. Menjual potensi ekonomi dan berbenah diri adalah cara mencegah kemiskinan akut.
