Jurnalis di Indonesia menghadapi ancaman dari sisi aturan, sosial, dan ekonomi sebagai akibat dari pandemi Covid-19.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
KOMPAS/DEFRI WERDIONO
Puluhan jurnalis di Malang, Jawa Timur, gelar aksi keprihatinan tolak kekerasan oleh aparat terhadap jurnalis yang tengah bertugas, Jumat (27/9/2019).
Indeks Kebebasan Pers Indonesia turun dari skor 62,60 tahun 2021 menjadi 49,27 tahun ini. Peringkat juga turun dari ke-113 menjadi ke-117 dari 180 negara yang dinilai.
Hasil pemeringkatan Indeks Kemerdekaan Pers Dunia 2022 itu disampaikan Reporters Without Borders/Reporters sans frontières (RSF), Selasa (3/5/2022), bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Pers Sedunia. Peringkat itu diukur dari indika- tor politik, hukum, ekonomi, sosial, dan keamanan. RSF juga mencatat, Presiden Joko Widodo belum menepati janji dalam hal kebebasan pers, khususnya di Papua. (Kompas, 4/5/2022)
Kondisi kemerdekaan pers di Papua dan Papua Barat selama ini selalu menjadi catatan RSF. Jurnalis di Indonesia menghadapi ancaman dari sisi aturan, sosial, dan ekonomi sebagai akibat dari pandemi Covid-19. Seperti terjadi juga di negara lain, pandemi mendatangkan tekanan ekonomi yang luar biasa kepada pers, sehingga tak sedikit wartawan kehilangan pekerjaan atau dipotong upahnya, bahkan medianya tutup.
Di kawasan Asia Tenggara, kebebasan pers di Indonesia lebih buruk dibandingkan Timor Timur di urutan ke-17, Malaysia (113), dan Thailand (115). Padahal, tahun lalu RSF menempatkan Indonesia di kawasan kalah dari Timor Leste saja, yang saat itu berada di peringkat ke-71. Tahun 2021, Dewan Pers juga menilai Indeks Kebebasan Pers di negeri ini naik, dari 75,27 pada 2020 menjadi 76,02. Skor itu menunjukkan kemerdekaan pers nasional pada kategori Cukup Bebas.
ALIF ICHWAN
Sejumlah jurnalis menggelar aksi solidaritas di kawasan Hari Bebas Kendaraan Bermotor, Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Minggu (29/9/2019).
Tahun ini, menurut Direktur Operasi dan Kampanye RSF Rebecca Vincent, berdasarkan pemantauan kebebasan pers di 180 negara, terjadi fenomena kekacauan berita dan informasi. Efek dari peredaran global informasi daring yang tidak diatur mendorong muncul hoaks dan propaganda.
Temuan RSF itu sejalan dengan temuan Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pendidikan, Sains, dan Kebudayaan (UNESCO), yang mengingatkan perkembangan teknologi digital saat ini memberikan peluang, sekaligus tantangan dan ancaman. Peringatan Hari Kemerdekaan Pers Sedunia tahun ini pun mengambil tema "Jurnalisme di Bawah Pengepungan Digital" (Journalism under Digital Siege).
Teknologi digital mendemokratisasi akses informasi, tetapi juga menciptakan tantangan serius. Model bisnis dari banyak platform media sosial dan media massa tidak didasarkan pada peningkatan akses pada pelaporan yang akurat, tetapi pada peningkatan keterlibatan, yang seringkali berarti memprovokasi kemarahan dan menyebarkan kebohongan. Kondisi ini, seperti temuan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) dan Press Emblem Campaign (PEC), memunculkan fenomena doxing dan pengawasan terhadap wartawan secara illegal melalui teknologi digital. Tak sedikit karya jurnalistik dicap sebagai hoaks, jika tak sesuai kepentingan dari sekelompok orang.
Tak sedikit karya jurnalistik dicap sebagai hoaks, jika tak sesuai kepentingan dari sekelompok orang.
Konflik, termasuk perang di Ukraina, juga membuat kebebasan wartawan semakin tertekan. Kini kemerdekaan pers di dunia terancam. Jurnalis dan publik harus merebut kembali kemerdekaan pers untuk menjamin demokratisasi di dunia.