Wacana penguatan sistem pendidikan dasar, menengah, tinggi, dan vokasi kurang mendapatkan porsi. Jagat pendidikan perlu dibuat progresif, memberi lebih banyak ruang bagi pengelola institusi pendidikan.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei, telah lewat bersamaan dengan hari raya Idul Fitri 2022. Namun, kita masih berkesempatan untuk merenungkannya.
Sungguh banyak topik pendidikan yang harus kita jadikan diskursus dan cari solusinya. Dalam kampanye pemilu untuk masa jabatan kedua, Presiden Joko Widodo menggemakan pembangunan sumber daya manusia, setelah ada kritik bahwa periode pertama terlalu berat pada infrastruktur. Kualitas SDM bisa dikatakan keteteran. Angkatan kerja didominasi lulusan SD, lalu SMP, sementara tantangan makin kompleks.
Sayang, topik pembangunan SDM tergulung oleh pandemi. Fokus pemerintah bergeser untuk menanggulangi pandemi dan memulihkan ekonomi. Dua tahun kemudian, pendidikan sebagai elemen integral pembangunan SDM harus kembali diarus-utamakan. Ini pekerjaan tidak ringan. Selama pandemi berlangsung pendidikan dalam jaringan (daring), yang meski tanpa pandemi akan menjadi keniscayaan. Terasa kendalanya, mulai dari kesenjangan infrastruktur teknologi informasi, ketersediaan pulsa, hingga kebutuhan pendampingan, mengingat sistem ini membutuhkan kebiasaan baru.
Di sisi lain, kita juga melihat pendidikan daring sebagai satu model pendidikan masa depan yang menawarkan kesempatan lebih adil karena sifat inklusif dan egaliter. Tak saja bagi anak bangsa di berbagai pelosok Nusantara, tetapi juga kesempatan untuk mendapatkan pengetahuan global, kalau di pendidikan lanjut, seperti melalui Udemy atau Coursera.
Tanpa pandemi pun dunia pendidikan termasuk yang paling dalam dilanda disrupsi, mulai dari sistem pembelajaran hingga menu akademik, seiring lahirnya disiplin atau lapangan kerja baru. Kondisi ini belum selesai. Revolusi Industri 4.0 baru saja dimulai dan lapangan kerja baru belum semuanya muncul.
Lewat Indeks Kinerja Utama, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tepat menerapkan sistem pendidikan outcome-based. Buah pendi- dikan diukur dari bagaimana lulusan diserap oleh industri. Di sini, Kemendikbudristek perlu menyadari untuk tidak terlalu membuat repot perguruan tinggi dengan prosedur akreditasi yang merepotkan administrator perguruan tinggi (PT). Dalam praktik, pengelola PT repot dengan rekonstruksi sistem pendidikan untuk menghadapi disrupsi. Jangan sampai birokrasi dan otoritas terus asyik menerapkan kewenangannya untuk membuat aturan baru yang inkonsisten.
Pendidikan maju jika ada ruang bagi pengelola menjalankan kebijakan internal institusi, tanpa terlalu dibebani beragam aturan. Pengelola yang bertanggung jawab menyadari, selain otoritas kementerian, ada pengawasan melekat dari masyarakat, yang bisa menjadi elemen watch-dog pendidikan.
Kita masygul, selama beberapa waktu terakhir diskursus di media lebih banyak diwarnai oleh topik sulitnya menjadi guru besar. Wacana penguatan sistem pendidikan dasar, menengah, tinggi, dan vokasi kurang mendapatkan porsi. Jagat pendidikan perlu dibuat progresif, memberi lebih banyak ruang bagi pengelola institusi pendidikan untuk menentukan model dan tujuan daripada sistem bergaya big-brotherism.