Sudah dua bulan perang Ukraina melawan Rusia berkecamuk. Ada tanda-tanda perang bereskalasi. Sebelum semuanya terlambat, harus ada upaya keras deeskalasi.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Awal pekan ini menandai masuknya perang di Ukraina ke bulan ketiga. Sejak serangan Rusia ke Ukraina dimulai pada 24 Februari lalu, serangkaian perundingan bergulir, tetapi tak ada hasilnya. Jangankan gencatan senjata atau penghentian perang, kesepakatan koridor kemanusiaan hampir tak berjalan.
Salah satu penyebabnya, situasi di lapangan tak menyediakan atmosfer yang kondusif bagi penghentian perang. Minggu (24/4/2022), dua pejabat teras Amerika Serikat (AS), yakni Menteri Pertahanan Lloyd Austin dan Menteri Luar Negeri Antony Blinken, berkunjung ke Kiev dan bertemu dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy. Selain mengumumkan tambahan bantuan 713 juta dollar AS untuk pembelian senjata bagi Ukraina dan negara sekutu, lawatan keduanya memperlihatkan sinyal ada pergeseran jenis senjata yang akan dikirimkan.
Jika dalam dua bulan sebelumnya pasokan dari AS dan Barat adalah senjata untuk bertahan, ke depan akan berupa senjata untuk menyerang. Dari perspektif AS, seperti diutarakan Austin, target pergeseran jenis pasokan senjata itu adalah melemahkan Rusia hingga ke tingkat mereka tak lagi bisa melakukan hal yang terjadi saat menginvasi Ukraina.
Melalui pernyataan itu, Austin membuka selubung sasaran strategis AS dalam perang di Ukraina. Dalam laporan analisisnya, harian The New York Times menyebut pernyataan itu semacam pengakuan atas transformasi konflik di Ukraina yang menempatkan Washington bakal lebih berhadapan-hadapan dengan Moskwa. Padahal, di awal perang, seperti ditegaskan Presiden AS Joe Biden, awal Maret lalu, konfrontasi langsung Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO)-Rusia harus dicegah karena konfrontasi itu tak ubahnya Perang Dunia (PD) III.
Washington dan sekutunya, jika tak diserang terlebih dahulu, besar kemungkinan tak akan mengirim pasukan sebagai bentuk keterlibatan langsung dalam perang di Ukraina. Namun, pergeseran blok tersebut dalam memasok jenis senjata ke Ukraina bisa dipersepsikan berbeda oleh Moskwa. Dalam pernyataan merespons situasi terbaru itu, Menlu Rusia Sergei Lavrov menyebut NATO secara efektif ”memasuki perang melawan Rusia bersama proksi-proksinya”.
Ia mulai menyebut ancaman PD III. Sungguh berbahaya jika retorika bermusuhan, yang dilontarkan AS atau Barat maupun Rusia, terus-menerus dikobarkan dan akhirnya jadi kenyataan. Jika hal ini terjadi, dunia akan memasuki tragedi perang yang meluluhlantakkan seperti pada 1914-1918 dan 1939-1945.
Harus ada upaya keras mendeeskalasi perang Ukraina. Upaya Turki mempertemukan pemimpin Rusia dan Ukraina perlu didorong lebih kuat. China, mitra Rusia, seharusnya tak sekadar melontarkan pernyataan tentang perlunya dialog dan perundingan. Beijing seharusnya juga berupaya memediasi konflik, seperti diupayakan Istanbul. Intinya, perbanyak ruang berbicara dan persempit ruang menarik picu senjata.