Penguasaan Twitter sangat mungkin akan menjadi babak baru yang bisa menimbulkan krisis antara otoritas atau pemerintahan dengan perusahaan teknologi. Di titik ini kita mencemaskan sepak terjang Musk.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Pasca-pembelian Twitter oleh Elon Musk diperkirakan akan memunculkan masalah. Penguasaan tunggal media sosial menjadi fenomena baru.
Twitter Inc. pada Senin (25/4/2022) malam mengumumkan telah menerima tawaran fantastis senilai 44 miliar dollar AS atau lebih kurang Rp 632 triliun dari Elon Musk. Media sosial yang digunakan lebih dari 200 juta orang di seluruh dunia per hari itu pun akan menjadi perusahaan privat, bukan lagi perusahaan publik.
Menyandang posisi sebagai orang terkaya sejagat dengan kegemaran berdrama dan berperilaku cenderung spontan, orang bertanya mengenai perubahan apa kira-kira yang akan terjadi pada Twitter.
Musk adalah penganut kebebasan absolut. Dia juga menegaskan bahwa motif ekonomi bukan menjadi alasan ataupun tujuannya untuk membeli Twitter. Justru di situlah kemudian publik bertanya-tanya dan menelisik lebih jauh. Musk juga telah mengkritik moderasi berlebihan pada platform daring (Kompas.id, 27/4/2022).
Persoalan pertama muncul adalah tentang masa depan Twitter dalam mengelola pengaruh interes pribadi ke dalam konten platform. Pengelola lama berusaha memoderasi konten agar tidak memunculkan dampak negatif ke pengguna dan masyarakat.
Penyebaran kabar bohong yang sering muncul di media sosial juga sudah menjadi perhatian banyak negara dan menimbulkan protes. Sebaliknya, Musk cenderung menganut kebebasan absolut sehingga konten dilepas begitu saja.
Persoalan ini cukup meresahkan beberapa kalangan yang selama ini memberi perhatian pada moderasi konten. Tanpa komitmen dari pengelola untuk mengelola konten maka implikasi sosial politik yang selama ini muncul akan makin rumit. Orang bisa makin liar di media sosial, khususnya Twitter.
Kedua, pengembalian Twiter ke perusahaan privat dan saham dikuasai oleh dirinya membuat Twitter berpotensi digunakan untuk kepentingan yang tak bisa lagi dikontrol publik. Apalagi melihat perilaku Musk di media sosial yang sering ugal-ugalan maka publik beralasan mencemaskan potensi tersebut aji mumpung tersebut.
Ketiga, penguasaan perusahaan teknologi, media sosial, dan lain-lain sebenarnya telah mencemaskan sejumlah pemimpin negara karena mereka dianggap telah berdiri di atas otoritas. Indikasi ini terlihat seperti China yang menekan sejumlah perusahaan teknologi, sementara Amerika Serikat berusaha menekan mereka melalui kebijakan persaingan usaha. Oleh karena itu, Musk akan mendapat tantangan ini.
Musk pernah didenda oleh otoritas pasar modal karena kesalahan dalam unggahan yang diperkirakan merugikan investor. Ia cenderung melawan dan berusaha akan melakukan aksi balik.
Penguasaan Twitter sangat mungkin akan menjadi babak baru yang bisa menimbulkan krisis antara otoritas atau pemerintahan dengan perusahaan teknologi. Di titik ini kita mencemaskan sepak terjang Musk.