Investor generasi milenial/Y (lahir 1981-1995) dan Z (lahir 1996-2012) menyumbang 80 persen total populasi di pasar modal. Hal ini tak hanya tren Indonesia dengan struktur demografi mudanya, tetapi juga tren global.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Selain lonjakan jumlah investor, tren selama pandemi ditandai oleh masuknya gelombang investor baru dari generasi milenial dan Z, yang kian mendominasi bursa saham.
Data PT Kustodian Sentral Efek Indonesia dan Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat, hingga akhir triwulan I-2022 jumlah investor pasar modal sudah mencapai 8,3 juta, naik 12,13 persen dari 7,29 juta akhir Desember 2021. Sebelumnya, selama Desember 2020-Desember 2021, jumlah investor melonjak 91,34 persen dari 3,81 juta menjadi 7,29 juta.
Investor pemula dari generasi milenial/Y (lahir 1981-1995) dan Z (lahir 1996-2012) mendominasi, menyumbang 80 persen total populasi di pasar modal. Ini bukan hanya tren Indonesia dengan struktur demografi mudanya, melainkan juga tren global. Kehadiran gen Y dan Z menjadi kekuatan yang terus bertumbuh, mendorong bursa ke new frontiers. Mau tak mau, sektor keuangan harus beradaptasi. Kalau tidak, tertinggal.
Lonjakan jumlah investor ini dinilai sebagai gambaran meningkatnya kesadaran masyarakat berinvestasi. Berkebalikan dengan stigma generasi muda sebagai pemboros, studi di sejumlah negara justru menunjukkan hampir separuh gen Y dan Z menginvestasikan uang dengan motivasi utama mandiri secara finansial. Bursa saham menjadi salah satu pilihan.
Tak bisa disepelekan, karakteristik gen Y dan Z, menurut Jean Case, CEO For What It’s Worth, adalah mereka memiliki kekuatan ekonomi lebih besar, menghasilkan lebih banyak, menabung lebih banyak, berinvestasi lebih awal dan pada tingkat yang lebih tinggi daripada generasi sebelumnya.
Di Indonesia, lonjakan jumlah investor diikuti kinerja bursa yang impresif tecermin dari Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan kapitalisasi pasar. Sepanjang 2021, nilai perdagangan, frekuensi transaksi, dan volume transaksi naik 45,7 persen, 91,3 persen, dan 81 persen. Jumlah perusahaan yang tercatat di bursa juga meningkat.
Kita melihat hal ini sebagai fenomena menggembirakan. Kian semaraknya bursa, reksa dana, dan pasar obligasi menjadi gambaran meningkatnya inklusi keuangan, pendalaman/perluasan basis investor, yang membuat basis pendanaan untuk pembangunan dan pembiayaan usaha di dalam negeri juga semakin kuat.
Selain meningkatnya kesadaran berinvestasi dan kekuatan modal gen Y dan Z, situasi pandemi, rendahnya suku bunga (yang membuat menaruh uang di bank tak lagi menarik), munculnya platform pialang online dan perdagangan tanpa komisi—yang membuat investasi di bursa lebih mudah diakses dari sebelumnya—juga ikut memicu lonjakan investor.
Namun, karakteristik investor ritel pemula yang umumnya emosional, minim pemahaman, dan sekadar ikut-ikutan bisa memunculkan risiko tersendiri terhadap bursa serta stabilitas sektor keuangan. Saham paling banyak diperdagangkan juga bukan lagi saham papan atas berkapitalisasi besar, melainkan saham-saham berkapitalisasi kecil dengan kenaikan harga saham yang sering kali tak didukung fundamental yang solid.
Pergeseran demografi bursa mengubah pula kultur investasi, peta permainan, dan memunculkan risiko tersendiri bagi investor ataupun bursa. Meningkatkan literasi, memperkuat regulasi, dan perlindungan investor menjadi penting di sini.