Di tengah peringatan Hari Nelayan Nasional, Rabu (6/4/2022), yang banyak terdengar dari para nelayan masih dominan keluh kesah dan ratapan.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Liputan tematis kesejahteraan nelayan oleh harian Kompas, di lima lokasi, yakni Indramayu dan Cirebon (Jawa Barat), Natuna (Kepulauan Riau), Kepulauan Aru (Maluku), dan Kendari (Sulawesi Tenggara), menyimpulkan masih kelamnya kehidupan nelayan.
Beratnya beban nelayan disebabkan tiga faktor, yaitu penurunan pendapatan, minimnya akses bantuan, dan kesulitan memperoleh bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
Fakta-fakta itu sesuai dengan hasil liputan tim redaksi Kompas, serta kesimpulan sejumlah survei.
Penurunan pendapatan nelayan, salah satunya disebabkan oleh kesulitan para nelayan bersaing dengan pengusaha perikanan skala besar. Sehari-hari, kini nelayan kecil harus bersaing dengan segala keterbatasan yang ada, menghadapi kapal-kapal besar pengusaha besar.
Sudah demikian kondisinya, upaya nelayan mengakses bantuan pemerintah juga sering buntu. Salah satu kendalanya, distribusi bantuan. Untuk menyalurkan bantuan di masa pandemi, pemerintah menggunakan data kartu nelayan ”Kusuka”. Namun, menurut temuan survei Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) pada 15 Mei-19 Juni 2020, diprediksi masih banyak nelayan, terutama nelayan kecil, yang tidak terdaftar di kartu nelayan.
Kesulitan juga dialami nelayan dalam memperoleh BBM bersubsidi. Saat pandemi, 7 dari 10 nelayan memberikan informasi tentang sulitnya mendapat surat rekomendasi BBM bersubsidi dan mengakses kuota BBM bersubsidi. Akibatnya, para nelayan kecil terpaksa membeli BBM eceran yang harganya lebih mahal. (Kompas, 5/4/2022).
Situasi suram itu membuat kaderisasi nelayan meredup. Dari arsip Kompas periode 2010 hingga 2018, terekam arus alih profesi nelayan ke sektor lain karena ketidakpastian penghidupan. Kondisi ini pun terbukti dari jumlah profesi nelayan yang menurun atau stagnan.
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan yang diakses pada 2 April 2022 menunjukkan, jumlah nelayan laut stagnan dan cenderung menurun dalam 10 tahun terakhir. Pada 2019, jumlah nelayan laut tercatat sekitar 2,1 juta orang. Angka ini turun dibandingkan 2018 yang berkisar 2,3 juta orang.
Di tengah berbagai impitan masalah ini, beredar informasi akan diterapkannya kebijakan kontrak penangkapan ikan, atau penangkapan terukur. Tak pelak, nelayan lagi-lagi dirundung kecemasan karena sistem kontrak ini dinilai hanya akan menguntungkan pemodal dan korporasi besar.
Indonesia sebagai negara maritim, yang dikaruniai laut beserta kekayaan di dalamnya, sepatutnya berjuang memberdayakan nelayan. Pencurian ikan atau illegal fishing semestinya ditindak tegas, demi keleluasaan nelayan mencari ikan. Akses bantuan juga harus dipermudah, demi makin berdayanya nelayan di laut kita yang kaya.