Para pembantu Presiden selayaknya tidak terus melempar wacana penundaan pemilu karena dampaknya bisa terkena pada Presiden Jokowi.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Presiden Joko Widodo menegaskan dirinya taat pada konstitusi, yang mengatur masa jabatan presiden maksimal dua periode dan pemilu setiap lima tahun.
Kita mengapresiasi sikap Presiden itu. Rayuan atau godaan politik agar masa jabatan Presiden Jokowi diperpanjang atau pemilu ditunda datang bukan hanya dari partai politik. Orang- orang dekat Presiden, seperti Menteri Investasi dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia serta Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut B Pandjaitan, beberapa kali menyuarakan perlunya penundaan pemilu. Mereka berargumen itu bagian dari demokrasi.
Terakhir, dalam silaturahmi Nasional Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) yang dihadiri sejumlah menteri kabinet, antara lain Luhut Pandjaitan, muncul wacana deklarasi Jokowi tiga periode seusai Lebaran. Dukungan Apdesi itu kemudian dibantah Ketua Umum Apdesi Arifin Abdul Madjid dan Sekretaris Jenderal Apdesi Muksalmina. Nama Apdesi digunakan orang tertentu untuk gerakan politik mendukung masa jabatan Presiden Jokowi tiga periode.
Kita garis bawahi pernyataan Presiden yang taat dan hormat pada konstitusi. Isu penundaan pemilu yang berkonsekuensi pada perpanjangan masa jabatan presiden dan DPR serta DPD menambah kegaduhan bangsa. Bangsa ini kembali terbelah, yang ingin memperpanjang masa jabatan dan yang ingin taat pada konstitusi. Akan lebih baik lagi jika Presiden Jokowi mengingatkan pembantunya untuk tidak terus menyuarakan penundaan pemilu atau malah bekerja untuk itu.
Konstitusi merupakan kontrak sosial bangsa. Semua elemen bangsa harus tunduk dan taat konstitusi. Usulan penundaan pemilu yang diajukan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan, dan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto memang bisa dibaca sebagai aspirasi demokrasi. Namun, aspirasi itu jelas bertentangan dengan konstitusi. Pasal 22E UUD 1945 jelas menulis, pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
Namun, aspirasi itu jelas bertentangan dengan konstitusi.
Negara harus punya komitmen untuk menghormati konstitusi, termasuk dengan mengalokasikan anggaran bagi penyelenggaraan pemilu pada 14 Februari 2024. Dengan ekonomi yang belum sepenuhnya pulih serta anggaran yang banyak terkuras untuk penanganan pandemi, pemusatan ulang anggaran harus dilakukan terhadap aturan konstitusi, yakni penyelenggaraan pemilu setiap lima tahun sekali.
Sikap hormat dan taat pada konstitusi harus ditindaklanjuti dengan formulasi kebijakan untuk memastikan digelarnya pemilu pada 14 Februari 2024. Para pembantu Presiden selayaknya tidak terus melempar wacana penundaan pemilu karena dampaknya bisa terkena pada Presiden Jokowi. Dalam suatu kesempatan, Presiden Jokowi pernah mengatakan sikapnya, bahwa wacana masa jabatan tiga periode itu untuk mencari muka presiden, menampar muka presiden, dan bahkan bisa juga menjerumuskan presiden.