Olahraga menjadi salah satu yang terdampak konflik Ukraina-Rusia seiring pengucilan komunitas olahraga Rusia dan Belarus dari berbagai ajang internasional. Idealnya, olahraga tetap apolitis.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Setelah Rusia menyerang Ukraina pada 24 Februari, Komite Olimpiade Internasional (IOC) menyerukan agar semua federasi olahraga internasional mengecualikan pelaku olahraga Rusia dan Belarus, sebagai pendukung Rusia, dari rangkaian kegiatan olahraga dunia per 28 Februari.
Sedikitnya 27 federasi olahraga sudah menjatuhkan sanksi kepada Rusia dan Belarus (Kompas, 8/3/3022).
Sejumlah sanksi itu mulai dari pembatalan dan larangan penyelenggaraan kejuaraan internasional di Rusia dan Belarus, larangan pelaku olahraga kedua negara itu berpartisipasi dalam ajang global, hingga larangan penggunaan simbol dua negara itu. Terbaru, Komite Paralimpiade Internasional (IPC) pada 3 Maret mencoret kontingen dua negara tersebut dalam Paralimpiade Musim Dingin Beijing, China, 2022.
Sejatinya, olahraga itu apolitis. Sportivitas menjadi nilai-nilai utama yang dijunjung dalam olahraga sehingga faktor latar belakang atlet bukan penentu partisipasi si atlet dalam sebuah kejuaraan. Ibaratnya, dari negara mana pun, berkulit warna apa pun, sepanjang si atlet lolos kualifikasi, tiada yang menghalangi kepesertaannya untuk berlaga di event itu.
Bagi atlet, penghormatan terhadap sesama olahragawan juga menjadi keniscayaan, aspek yang tak boleh diabaikan. Spirit ini pula yang melandasi kampanye ”Kick It Out”, yang belakangan lebih populer dengan ”Kick Against Racism”. Ini kampanye menolak rasisme seiring beberapa kasus rasisme di sepak bola, mayoritas oleh sekelompok suporter.
Kekalahan dalam kejuaraan atau pertandingan tidak lantas disikapi dengan kemarahan, tetapi penghormatan kepada juara.
Yang tampil sebagai kampiun pun respek kepada yang kalah, salah satunya dengan tidak merayakan atau melakukan selebrasi berlebihan sesaat setelah kemenangan itu.
Tak heran, kerap kita temui kisah persahabatan sesama atlet. Sebut saja antara Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo di sepak bola, juga antara Roger Federer, Novak Djokovic, dan Rafael Nadal yang sekian lama adu keunggulan di tenis. Di bulu tangkis, juga kita kenal pertemanan Taufik Hidayat dari Indonesia dengan pebulu tangkis Malaysia, Lee Chong Wei.
Itu pula yang mendasari Badan Sepak Bola Eropa (UEFA) menjalankan program ”Respect” (hormat) sejak 2012. Selain hormat kepada tim lawan, korps wasit, juga penonton, terkandung beberapa prinsip juga. Di antaranya perang melawan rasisme, meningkatkan akses bagi fan dengan disabilitas, mempromosikan kesehatan melalui aktivitas fisik, dan mengelaborasi dialog antarbudaya di kalangan suporter.
Nilai-nilai luhur ini membuat sepatutnya olahraga dijauhkan dari ihwal terkait politik. Terlebih, olahraga membawa banyak pesan inspiratif, khususnya seputar perjuangan para atlet yang bermula dari nol, kemudian mengukir prestasi mendunia. Olahraga sebagai salah satu panggung inspirasi dunia sebaiknya dibiarkan apa adanya, di tengah perang yang berkecamuk.