Kita tak dapat bermain-main dengan pangan. Harga pangan dunia yang sebelumnya sudah bergerak naik akan semakin tinggi akibat invasi Rusia ke Ukraina.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Antrean panjang warga membeli minyak goreng di sejumlah tempat perlu disikapi sebagai penanda penanganan pangan nasional kini sedang bermasalah.
Dapat disebut bermasalah karena Indonesia penghasil minyak sawit mentah sebagai bahan dasar minyak goreng terbesar di dunia. Seperti dikatakan pemerintah, minyak goreng sebetulnya berlimpah. Ada permasalahan dalam distribusi sehingga sampai hari ini masih sulit mendapatkan minyak goreng secara normal.
Kita tidak dapat bermain-main dengan pangan. Harga pangan dunia yang sebelumnya sudah bergerak naik akan semakin tinggi akibat invasi Rusia ke Ukraina. Di tengah gejolak global, negara tetap wajib memenuhi kebutuhan pangan rakyat.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 menyebut, pangan adalah kebutuhan dasar manusia paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin Undang-Undang Dasar 1945. Negara wajib mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi pangan di tingkat nasional hingga ke perseorangan secara merata di seluruh Indonesia sepanjang waktu.
Presiden Joko Widodo membentuk Badan Pangan Nasional (BPN) sebagai amanat UU Pangan melalui Peraturan Presiden No 66/2021. Kepala BPN juga sudah ditetapkan. Kita mengapresiasi kerja Kepala BPN Arief Prasetyo Adi yang langsung berkoordinasi dengan kementerian dan badan usaha yang bertanggung jawab untuk pangan, perdagangan, dan distribusi. Distribusi minyak goreng, misalnya, dilakukan dari Aceh hingga Papua.
Di tengah berbagai upaya meningkatkan pasokan pangan (minyak goreng), patut kita cermati masalah mendasar pangan kita. Kita mengalami masalah ketersediaan berganda. Kita kekurangan produksi kedelai, daging sapi, dan gula, sekaligus kelebihan pasokan komoditas tertentu, antara lain minyak goreng, tetapi tidak terdistribusi dengan baik.
Kita tidak dapat lengah menangani ketersediaan pangan. Meskipun pangan tersedia dalam jumlah cukup, harus ada akses, dari sisi harga dan ketersediaan sepanjang waktu.
Ekonom penerima Nobel, Amartya Sen, berargumen, kerawanan pangan menimpa orang yang tidak dapat mengakses pangan secara cukup, misalnya karena penghasilan tak memadai meski pangan tersedia. Kelaparan bisa terjadi meski pangan ada dan pasar bekerja baik. Begitu juga ketika harga makanan naik, sementara penghasilan tidak bertambah.
Oleh karena itu, kita tak cukup berbicara hanya pada ketersediaan pasokan, tetapi juga menjamin akses atas pangan hingga ke tingkat individu. Dapat dipertimbangkan untuk memperpanjang bantuan sosial (bansos) pangan dan memperluas penerimanya.
BPN bersama kementerian yang menangani pangan perlu bekerja lebih keras di bidang masing-masing dan berkoordinasi. Jangan sampai terjadi tumpang tindih pekerjaan yang membuat fokus bekerja teralihkan. Keresahan sosial dapat berangkat dari perut yang lapar, seperti telah dibuktikan sejarah.