Kebudayaan tak lagi disusun orang-orang besar saja dengan narasi besar, tetapi oleh orang-orang biasa yang jauh dari pusat kekuasaan.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Ketika terjadi banyak masalah di Tanah Air, sastrawan di banyak daerah terus berkarya. Mereka membawa angin segar bagi kebudayaan nasional.
Beberapa tahun terakhir, komunitas-komunitas sastra tumbuh subur di beberapa daerah. Mereka bergerak ke arah baru, yakni sebagai bagian dari gerakan literasi dan pemberdayaan di akar rumput. Komunitas ini diikuti oleh beragam kalangan, mulai dari anak-anak, orang dewasa, mahasiswa, karyawan di perkotaan, hingga ibu rumah tangga di desa. Pengamat melihat hal ini sebagai gejala demokratisasi sastra yang menjanjikan lahirnya aneka wacana alternatif.
Fenomena kemunculan komunitas-komunitas sastra itu perlu disokong agar terus menguat pada masa mendatang. Caranya, antara lain, ikut memperkuat ekosistem gerakan sastra, terutama di daerah-daerah, misalnya melalui penerbitan lokal. Meskipun ekosistem sastra di negeri ini terbilang sehat, semestinya bisa lebih sehat lagi (Kompas, 8/3/2022).
Kabar baik itu hadir di tengah problem ekonomi dan politik, seperti kenaikan harga barang, soal klaim peragaan busana yang kontroversial, usulan pemunduran pemilu, dan perang Rusia melawan Ukraina. Gairah serta semangat sastrawan dari komunitas seperti melawan arus isu-isu besar. Mereka menggeliat dan menjanjikan berbagai wacana serta isu-isu baru di dalam arus kebudayaan nasional.
Di tengah semangat berkarya itu, kita melihat sastra tak lagi dimonopoli nama-nama besar. Mereka pun tidak lagi berasal dari kota-kota besar, seperti Jakarta, Yogyakarta, dan Denpasar. Semerbak sastra ada mulai dari ujung Timur sampai ujung Barat. Mereka menulis, membaca, serta menampilkan karya dari anak-anak, buruh, sampai ibu rumah tangga.
Semua ini menjadikan kita bisa berharap bahwa kebudayaan nasional masih tetap hidup. Hanya saja, kebudayaan tak lagi disusun orang-orang besar saja dengan narasi besar, tetapi oleh orang-orang biasa yang jauh dari pusat kekuasaan.
Mereka menuliskan pengalaman sebagai buruh migran, pengalaman mendapatkan kekerasan, ekspresi kultural, dan berbagai masalah sehari-hari. Dengan segala keterbatasan, mereka bisa menampilkan karya melalui penerbitan, penampilan, dan bahkan berupa film.
Geliat sastra komunitas memberi hawa sejuk di tengah berbagai kabar heboh dan kabar-kabur yang berseliweran lewat kanal digital. Kabar yang kadang menyesatkan itu lebih cepat beredar dibandingkan geliat para sastrawan komunitas. Mungkin para sastrawan itu iri terhadap isu-isu yang viral meski kadang berupa isu sampah. Karya-karya mereka mungkin tak menjadi perbincangan yang gegap gempita.
Akan tetapi, karya sastra komunitas dengan narasi-narasi baru tentu ditunggu oleh penggemarnya. Mereka ibarat peneduh di tengah masalah-masalah yang panas dan berat.
Geliat mereka mungkin suatu saat akan menggema menjadi suara perubahan. Perubahan bangsa untuk menjadi lebih baik, yakni kekerasan makin menghilang, kesejahteraan warga naik, keadilan makin merata. Kepada sastra, kita berharap.