Partisipasi perempuan di pasar kerja sangat penting dalam perekonomian, tetapi mereka hanya mendapatkan sepertiga dari pendapatan tenaga kerja di seluruh dunia.
Laporan Ketimpangan Dunia 2022 menunjukkan, secara global pendapatan tenaga kerja perempuan pada 2020 hanya 34 persen dari total pendapatan tenaga kerja, di Indonesia bahkan hanya 24,8 persen (Kompas, 5/3/2022). Ketimpangan ini menghambat kesetaraan jender, kemajuan sangat lambat selama 30 tahun terakhir. Di dunia yang setara jender, perempuan akan mendapatkan 50 persen dari semua pendapatan tenaga kerja.
Pembagian pendapatan tenaga kerja perempuan tertinggi baru mencapai 45 persen, yaitu di Moldova. Secara umum, pembagian pendapatan tenaga kerja perempuan di negara-negara bekas Blok Timur memang tinggi, rata-rata 41 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan di Amerika Serikat yang memimpin dalam pemberdayaan perempuan di abad ke-20, yaitu hanya 38 persen.
Baca juga: Pendapatan Tenaga Kerja Perempuan Hanya 24,8 Persen dari Angka Nasional
Secara historis, negara-negara bekas Blok Timur memiliki sejarah rezim komunis yang mendukung partisipasi perempuan di pasar kerja melalui sejumlah peraturan dan kebijakan. Dukungan ini merupakan salah satu kunci untuk mencapai kesetaraan jender meski kali ini tidak berlaku di China yang juga mempunyai kebijakan yang kuat secara historis pada kesetaraan jender.
Pembagian pendapatan tenaga kerja perempuan di China menurun dari 39 persen pada 1991 menjadi 33 persen pada 2019 akibat perampingan BUMN yang menyebabkan penurunan tajam partisipasi angkatan kerja perempuan di perkotaan. Kondisi ini juga mencerminkan fenomena global dimana akses perempuan ke pasar kerja lebih sedikit, terutama pekerjaan-pekerjaan yang menghasilkan pendapatan tinggi seperti di tingkat top management.
Kendalanya bukan hanya tingkat pendidikan, secara umum tingkat pendidikan mayoritas tenaga kerja perempuan lebih rendah dari tenaga kerja laki-laki, tetapi juga norma sosial yang berlaku di masyarakat. Secara umum, masyarakat masih menimpakan tanggung jawab pekerjaan domestik kepada perempuan sehingga perempuan menghabiskan waktu lebih banyak daripada laki-laki untuk pekerjaan perawatan yang tidak dibayar.
Hal tersebut tidak hanya akan mencegah perempuan berpartisipasi di pasar tenaga kerja, tetapi juga ketika mereka bekerja akan mencegah mereka mencapai posisi tinggi. Untuk jabatan-jabatan tertentu, seperti di pemerintahan di Indonesia, mensyaratkan mobilitas yang tinggi. Dengan tanggung jawab pekerjaan domestik, termasuk pengasuhan anak, sangat sulit bagi perempuan mencapai jabatan-jabatan tersebut.
Baca juga: W-20, Tantangan Kesetaraan Jender dan Presidensi G-20
Di tengah kondisi-kondisi yang demikian, perlu ada keberpihakan kepada perempuan untuk berpartisipasi di dunia kerja ataupun mendukung perempuan mencapai jenjang tertinggi dalam pekerjaan. Di Indonesia, Undang-Undang Perkawinan yang menjadikan suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga, di banyak perusahaan masih menjadi alasan untuk membedakan hak pekerja perempuan dengan pekerja laki-laki.
Kesetaraan jender dan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan memang sudah sering menjadi pusat perhatian dan ada kesepakatan bersama untuk melaksanakannya. Namun yang utama adalah komitmen yang tinggi untuk melaksanakannya. Selain itu kampanye penguatan pemahaman tentang kesetaraan jender juga harus terus-menerus dilakukan di masyarakat dan di pemerintahan sehingga norma tentang kesetaraan menjadi lebih dominan.