Kegagalan transisi dari energi fosil tak hanya akan memicu krisis lingkungan yang lebih dahsyat, tetapi juga krisis ekonomi dan kemanusiaan.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Desakan mempercepat transisi energi nasional ke energi ramah lingkungan kian kuat dengan meningkatnya fenomena bencana akibat perubahan iklim ekstrem.
Diingatkan, kegagalan transisi dari energi fosil tak hanya akan memicu krisis lingkungan yang lebih dahsyat, tetapi juga krisis ekonomi dan kemanusiaan. Sebagai salah satu dari sepuluh negara yang disebut sebagai penghasil terbesar karbon dunia, kontribusi dan komitmen Indonesia sangat menentukan.
Presiden Joko Widodo menyatakan akan memanfaatkan momentum presidensi G-20 untuk memperkuat solidaritas global dan menunjukkan komitmen kuat Indonesia dalam ikut mengatasi krisis iklim. Indonesia sudah berkomitmen menurunkan emisi karbon sebesar 29 persen di 2030 dengan target nol karbon (net zero emission) pada 2060.
Separuh dari sasaran 2030 itu ditargetkan dari sektor kehutanan, dan sisanya dari sektor energi serta transportasi. Untuk mencapainya, berbagai kebijakan disiapkan. Dari sisi fiskal, ada insentif pajak untuk sektor energi baru dan terbarukan (EBT). Dari sisi belanja, ada subsidi bagi sektor energi serta transportasi yang lebih ramah lingkungan. Selain itu, ada penyediaan pembiayaan untuk proyek hijau, salah satunya lewat penerbitan green bonds di pasar global.
Peran swasta pun didorong. Peta jalan disiapkan, meliputi kerangka kebijakan untuk pasar karbon, penentuan harga karbon, mekanisme perdagangan karbon, dan kebijakan pajak karbon. PT PLN menyatakan siap membangun pembangkit listrik EBT dengan kapasitas 10,6 GWe hingga 2025. Jika terealisasi, target pangsa EBT 23 persen dalam bauran energi pada 2025 akan tercapai, bahkan terlampaui.
Upaya mengonversi 77 persen sisanya menjadi EBT hingga 2060 merupakan pekerjaan rumah berat bagi Indonesia dan harus melibatkan tak hanya aktor-aktor utama di level pengambil kebijakan, institusi, atau korporasi, tetapi juga seluruh masyarakat. Problem klasiknya terutama pada implementasi.
Beberapa kalangan mengkritik belum terefleksikannya komitmen itu dalam kebijakan ekonomi dan pembangunan nasional. Selain peran pembangkit batubara yang masih dominan dan belum tergantikan dalam waktu dekat karena pemerintah baru akan mulai menghentikan PLTU batubara pada 2025, pemerintah juga belum merencanakan menghentikan ekspor batubara, setidaknya sampai 2046, lebih-lebih di tengah tren lonjakan harga batubara dunia sekarang.
Langkah semua pemangku kepentingan juga belum seirama. Contoh paling nyata, minimnya dukungan bank-bank BUMN yang notabene milik negara dalam aksi iklim. Faktanya, bank-bank BUMN justru terlibat sindikasi pembiayaan proyek-proyek energi kotor batubara skala masif yang menghancurkan ekologi. Hal ini bertentangan dengan komitmen untuk menerapkan praktik keuangan berkelanjutan dan tak memberikan pembiayaan kredit kepada usaha yang merusak lingkungan.
Komitmen semua pihak dan ketegasan pemerintah dibutuhkan agar pihak-pihak yang seharusnya mengambil kepemimpinan dalam aksi iklim tidak justru menjadi sponsor utama proyek energi tak ramah lingkungan dan menggembosi target ambisius pengurangan emisi karbon.