Kompas dalam rubrik politik dan hukum (Rabu, 9/2/2022) menggarisbawahi perlunya pembuatan undang-undang dengan partisipasi bermakna. Agar tak muncul lagi pertanyaan Bivitri Susanti, legislasi untuk siapa?
Oleh
Bharoto
·2 menit baca
Menurut putusan Mahkamah Konstitusi dalam uji formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, undang-undang itu inkonstitusional bersyarat.
Sebagai masyarakat awam, saya kurang paham apa maknanya. Namun, ada hal menarik seperti ditulis Denny Indrayana (Kompas, 3/12/2021) bahwa MK akhirnya sadar, banyak praktik manipulasi partisipasi publik.
Seharusnya partisipasi publik benar-benar bermakna dalam proses pembuatan undang-undang. UU Cipta Kerja dibuat dalam waktu sembilan bulan, tebal 1.200 halaman dan dengan mengubah 78 undang-undang lain.
Ada lagi undang-undang ibu kota negara. Undang-undang ini disahkan dalam waktu 48 hari dan kini menuai pro dan kontra. Jajak pendapat (Kompas, 31/1/2022) menunjukkan, hampir 60 persen responden tidak mengetahui bahwa undang-undang itu telah disahkan DPR.
Ada benang merah yang dapat ditarik dari pembuatan kedua undang-undang itu, yaitu partisipasi bermakna dari publik kurang optimal. Ini mengingat waktu yang relatif singkat dalam proses pembuatan keduanya.
Ada tiga persyaratan yang harus dipenuhi agar partisipasi masyarakat bermakna (meaningful participation). Hak untuk didengarkan, hak untuk dipertimbangkan, dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.
Bivitri Susanti dalam rubrik analisis publik (Kompas, 6 Januari 2022) mengatakan, sistem presidensial di Indonesia dengan banyak partai bisa memunculkan presiden yang terlalu kuat dan legislatif lemah. Ini berbahaya karena ada kecenderungan kekuasaan mayoritas yang sangat kuat. Proses check and balance menjadi sulit terwujud, termasuk dalam pembuatan undang-undang.
Indonesia dengan jumlah dan keragaman penduduk besar tidak mudah mengakomodasi semua pihak. Namun, pemerintah dan DPR merasa telah mendengarkan masukan dan melibatkan berbagai elemen masyarakat.
Kompas dalam rubrik politik dan hukum (Rabu, 9/2/2022) menggarisbawahi perlunya pembuatan undang-undang dengan partisipasi bermakna. Agar tak muncul lagi pertanyaan Bivitri Susanti, legislasi untuk siapa?