Ketegangan Barat versus Rusia saat ini mengingatkan pada situasi Perang Dingin. Patut disayangkan hal itu terjadi saat dunia berupaya memulihkan diri dari pandemi.
Oleh
Redaksi
·1 menit baca
Hampir setiap hari sejak November 2021 kita di Tanah Air disuguhi berita ketegangan baru antara Barat dan Rusia terkait isu Ukraina. Kedua kubu sama-sama menyebarkan informasi dan narasi versi masing-masing ke seluruh dunia, tak ubahnya seperti perang propaganda. Informasi dari setiap kubu saling bertolak belakang. Dari jauh, kita di Indonesia pun cukup sulit memverifikasi versi mana yang benar.
Kubu Barat, yang dimotori Amerika Serikat, misalnya, sejak pekan lalu menebar informasi tentang dugaan Rusia bakal menginvasi Ukraina pada Rabu (16/2/2022). Seolah meledek hal itu, hari itu Kremlin merilis video tayangan penarikan sebagian pasukannya dari Crimea, wilayah yang dulu di bawah Ukraina dan sejak 2014 dikuasai Rusia. Berselang beberapa jam, Barat menyiarkan pernyataan sebaliknya: Moskwa tak menarik pasukan, tetapi justru menyiagakannya.
Siapa dan kubu mana yang benar? Kita di Tanah Air sulit memastikannya. Yang jelas, situasi saat ini mengingatkan pada era Perang Dingin antara blok AS dan blok Uni Soviet sejak pasca-Perang Dunia II hingga runtuhnya Uni Soviet 1991.
Kala itu dunia terpolarisasi dalam dua kutub, Blok Barat dan Blok Timur. Ada pertarungan kekuatan militer antara Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di kubu Barat dan Pakta Warsawa di Blok Timur. Juga persaingan ideologi, kapitalisme versus komunisme. Ketegangan kala itu menyebar dan memantik perang di Korea, Vietnam, dan Afghanistan.
Perbincangan tentang ”perang dingin” mencuat lagi sejak 2021, terlalu dini menyimpulkan ketegangan Barat dan Rusia saat ini bakal bermuara pada Perang Dingin baru. Lanskap dunia kini jauh berubah dari era Perang Dingin silam. Tak ada lagi pertarungan ideologi, tidak pula ada blok polarisasi berkat globalisasi, dan tidak juga ada aliansi yang bermusuhan secara tajam seperti dulu.
Ancaman Perang Dingin baru, yang patut dicermati dan terkait langsung dengan AS, seperti diperingatkan John J Mearsheimer, pakar hubungan internasional dari Universitas Chicago, ialah antara AS dan China (Foreign Affairs, November/Desember 2021).
Jika krisis Barat/AS versus Rusia saat ini ingin diakhiri, kata Mearsheimer dalam wawancara dengan The New Yorker, 11 Februari 2022, cukup dengan deklarasi AS dan NATO bahwa Ukraina tak akan menjadi anggota NATO. Ketegangan Barat dan Rusia saat ini terkait rencana ekspansi keanggotaan NATO ke negara-negara bekas Soviet, termasuk Ukraina. Bagi Rusia, Ukraina seperti ”halaman belakang” yang memengaruhi keamanan negaranya. AS dan NATO menolak tuntutan Rusia.
Ketegangan di Ukraina itu jelas memprihatinkan di tengah upaya pemulihan dunia dari pandemi Covid-19. Bagi Indonesia, yang tahun ini menjadi Ketua G-20, ketegangan itu menjadi pekerjaan tambahan. Wajar jika Presiden Joko Widodo dalam pertemuan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara-negara G-20, Kamis (17/2/2022), menyerukan agar semua pihak mengakhiri friksi-friksi itu.