Saat ini yang diperlukan adalah kerja sama dari industri farmasi dan negara kaya agar dunia bisa kembali bergerak membangun kesejahteraan kita bersama.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Saat vaksinasi di negara kaya sudah dosis ketiga, bahkan keempat, banyak rakyat di negara miskin belum divaksinasi sama sekali. Keadilan vaksin jelas masih jauh.
Saat ini situasinya memang sangat timpang. Dalam laporan ”Yet Money Calls the Shots: Pharma’s Response to the Covid-19 Vaccine Crisis” (September 2021), Amnesty International menghitung ada 10 miliar dosis vaksin Covid-19 diproduksi tahun 2021. Namun, hanya 4 persen penduduk di negara berpendapatan rendah yang mendapatkan vaksinasi.
Hampir semua vaksin habis diborong negara-negara kaya. Menurut The People’s Vaccine Alliance, industri farmasi Pfizer dan BioNTech hanya menyuplai vaksin kurang dari 1 persen ke negara miskin, sedangkan Moderna 0,2 persen. Demikian pula dengan Sinovac dan Sinopharm dari China, yang menyuplai 0,4 persen dan 1,5 persen.
Hanya Johnson & Johnson’s dan AstraZeneca yang distribusi vaksinnya mencapai 50 persen ke negara berpendapatan rendah dan sedang. Meski demikian, dosis yang dialokasikan sebenarnya adalah bagian dari komitmen donasi negara kaya, bukan bagian dari perjanjian penjualan.
Jika keadilan vaksin berjalan benar, seharusnya lebih dari 1,2 miliar penduduk di negara berpendapatan rendah dan sedang sudah divaksinasi akhir 2021. Kenyataannya, 30 negara paling miskin hanya mendapat jatah 2 persen dari populasi. Untuk tenaga kesehatan pun tidak cukup. Akibatnya, target 40 persen dari vaksinasi global yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada akhir 2021 tidak tercapai.
Sebenarnya WHO sudah mengantisipasi situasi ini dengan COVAX, suatu mekanisme untuk menanggung bersama risiko pengembangan vaksin, termasuk mengatur distribusinya. Sayang sekali, panggilan uang ternyata lebih kuat daripada panggilan kemanusiaan. Amnesty International melaporkan, Pfizer, BioNTech, dan Moderna memproyeksikan pendapatan hingga 54 miliar dollar AS tahun 2021.
Hingga saat ini, permintaan negara miskin dan berkembang agar industri farmasi besar itu membuka paten dan berbagi teknologi belum bersambut. Memang, di sisi lain perlu dipahami betapa besar biaya investasi industri farmasi untuk menghasilkan vaksin ini. Tidak mengherankan jika Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memberikan hak paten 20 tahun. Meski demikian, dengan pendapatan amat besar di atas dan alasan kedaruratan, seharusnya semua bisa dibicarakan.
Menurut Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, sebenarnya negara kaya bisa berpartisipasi memenuhi target WHO dengan merelakan 300.000 juta stok vaksin mereka untuk negara miskin dan berkembang. Tidak ada gunanya menyetok vaksin banyak-banyak kalau seluruh dunia masih menghadapi pandemi. Selama kita tinggal di bumi yang sama dan bernapas di atmosfer yang sama, virus dengan mudah kembali ke negara yang tertutup sekali pun.
Saat ini yang diperlukan adalah kerja sama dari industri farmasi dan negara kaya agar dunia bisa kembali bergerak membangun kesejahteraan kita bersama.