Kenaikan harga minyak mentah menjadi momentum bagi kita untuk menggalakkan pencarian sumber cadangan migas baru serta mempercepat transisi ke energi baru terbarukan.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Harga minyak mentah patokan dunia terus merangkak, menembus level 90 dollar AS, bahkan mendekati 100 dollar AS, per barel pekan ini, tertinggi sejak 2014.
Kalangan analis memprediksi disrupsi pasok sedikit saja bisa memicu harga menembus 100 dollar AS per barel sewaktu-waktu. JP Morgan memprediksi harga bisa menyentuh 120 dollar AS per barel jika perang Rusia-Ukraina pecah. Selain faktor geopolitis, kekhawatiran akan invasi Rusia ke Ukraina, kenaikan harga juga dipicu faktor fundamental, yakni ketatnya pasokan dbandingkan dengan permintaan dunia.
Brent menyentuh 94,54 dollar AS, Senin (14/2/2022), naik lebih dari 15 persen sejak awal tahun, setelah melonjak 50 persen pada 2021. Meskipun kenaikan harga juga terjadi pada minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP), sebagai importir neto minyak, lonjakan harga minyak mentah dunia bisa berdampak ganda, seperti pisau bermata dua bagi Indonesia, terutama di tengah produksi minyak mentah dalam negeri yang terus merosot enam tahun terakhir. Sementara 50 persen kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) dan 70 persen elpiji masih harus impor.
Di satu sisi, naiknya harga minyak mentah dunia akan meningkatkan pula pendapatan negara dari sektor hulu migas. Namun, sebaliknya, kenaikan harga minyak mentah juga akan membengkakkan beban subsidi energi: BBM, listrik, dan elpiji, yang harus dipikul APBN. Lonjakan harga minyak mentah dunia juga meningkatkan risiko inflasi. Strategi dan respons kita dalam hal ini menjadi penting dalam menjaga stabilitas perekonomian makro 2022.
Secara global, lonjakan harga minyak mentah bisa kian mengganggu prospek pemulihan ekonomi dunia pascapandemi, kian meningkatkan inflasi, dan menurunkan kepercayaan konsumen. Tren harga minyak mentah dalam jangka pendek sangat tergantung dari perkembangan di Ukraina dan pasar minyak. Tensi yang terus meningkat memunculkan spekulasi Perang Dunia III yang dampaknya akan sangat luas, termasuk ke harga minyak dan pemulihan ekonomi global.
Dengan produksi 10 juta barel per hari, Rusia memasok sekitar 10 persen suplai global. Jika pasokan Rusia tak terganggu, Rusia masih mungkin terkena embargo AS dan sekutunya, Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), jika invasi sampai terjadi. Pelepasan sebagian cadangan strategis oleh AS, China, dan negara besar lain tak akan banyak menolong jika konflik berkepanjangan. Negara produsen lain tak memiliki kapasitas berlebih untuk mengompensasi pasokan minyak dari Rusia.
Presiden AS Joe Biden mendesak Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan produsen lain menambah pasokan, tetapi sejauh ini OPEC+ baru berkomitmen menambah pagu produksi 400.000 barel per hari pada Maret. Untuk jangka lebih panjang, Energy Information Administration (EIA) memprediksi harga minyak mentah akan kembali turun pada 2022 dan 2023, di bawah tahun 2021, terutama karena pandemi masih jauh dari selesai.
Kenaikan harga minyak mentah ini momentum bagi kita untuk menggalakkan pencarian sumber cadangan migas baru dan mempercepat transisi ke energi baru terbarukan.