Setiap kematian pemimpin milisi Negara Islam di Irak dan Suriah tidak mengurangi ancaman teror global. Perlu kerja sama global mematikan benih-benih terorisme.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Gedung Putih ”merayakan kemenangan” atas kematian pemimpin milisi Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), Abu Ibrahim al-Hashemi al-Quraishi, dalam operasi pasukan komando Amerika Serikat di Atmeh, Provinsi Idlib, Suriah, dekat perbatasan dengan Turki, 3 Februari 2022. Presiden AS Joe Biden menyebut kesuksesan operasi kontra-terorisme itu ”untuk melindungi rakyat AS dan negara sekutu serta menjadikan dunia lebih aman”.
Apakah dunia akan lebih aman setelah kematian Quraishi? Kematiannya diakui bisa melemahkan kekuatan NIIS. Namun, banyak pihak tidak yakin, NIIS—apalagi terorisme—bisa diberantas hingga akarnya. Di Suriah dan Irak, dua negara yang pernah dijadikan ”pusat kekhalifahan” buatan NIIS, organisasi teror itu telah bermetamorfosis menjadi sel-sel tidur.
Kelompok ekstrem ini berubah, lebih menyebar, dan terdesentralisasi. ”Kekhalifahan (mereka) telah ditaklukkan, tetapi NIIS belum bisa dibasmi. Saya tak percaya, kita telah menyelesaikan pekerjaan,” ujar Lahur Talabany, mantan Kepala Badan Anti-terorisme Kurdi Irak.
Insiden serangan NIIS, 20 Januari 2022, di sebuah penjara di Hasaka, Suriah timur laut, menjadi lonceng peringatan. Insiden di penjara tempat sedikitnya 3.000 tahanan NIIS itu disebut sebagai serangan paling signifikan NIIS sejak tumbangnya ”kekhalifahan” tahun 2019. Butuh waktu 10 hari bagi Pasukan Demokratik Suriah (SDF) Kurdi, mitra militer AS, untuk merebut lagi penjara itu dari milisi NIIS.
Wajar jika Kepala Kantor Pemberantasan Terorisme di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Vladimir Voronkov, Rabu (9/2/2022), menyebut perang melawan NIIS adalah perang jangka panjang. Tidak ada jalan pintas. NIIS dan bibit terorismenya tak cukup diberantas hanya dengan operasi militer. Butuh langkah lebih komprehensif, terutama pencegahan.
Dengan kata lain, berbagai operasi militer AS untuk memburu dan membunuh para pemimpin teroris—sejak Osama bin Laden, pendiri Al Qaeda; lalu Abu Musab al-Zarqawi, pemimpin Al Qaeda di Irak (AQI), cikal bakal NIIS; Abu Bakr al-Baghdadi, pemimpin pertama NIIS; hingga Quraishi—belum akan ”menjadikan dunia lebih aman”.
Voronkov menyoroti kamp pengungsi di Suriah dan Irak, yang dihuni puluhan ribu anggota keluarga milisi NIIS, perlu ditangani agar tak menjadi inkubator penyemaian benih terorisme. Fawaz A Gerges, profesor hubungan internasional dari London School of Economics and Political Science, memperluas cakupan pemberantasan terorisme dengan penyelesaian konflik di sejumlah negara, termasuk di Yaman, Libya, Somalia, Afghanistan, Afrika Barat, dan lain-lain (Foreign Policy, 7 Februari 2022).
Wilayah konflik selalu menjadi habitat bagi upaya menyuburkan serta konsolidasi NIIS dan kelompok teroris serupa. Apakah konflik itu benar-benar diupayakan untuk diselesaikan?