Perjuangan Ukraina melawan Rusia paralel dengan perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Saat itu Belanda bersiasat mendirikan negara-negara boneka, seperti halnya Rusia menguasai Donbas.
Oleh
Sumantoro Martowijoyo
·3 menit baca
Sejarawan Peter Carey mengulas sejarah kebangkitan nasional kita dalam ”Awakening Day: Indonesia in the Mirror of Ukraine”. Ia diilhami sejarah Ukraina yang ditulis Andrij Bondar (The Jakarta Post, 20 dan 21 Mei 2022).
Perjuangan Ukraina melawan Rusia paralel dengan perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Saat itu Belanda bersiasat mendirikan negara-negara boneka, seperti halnya Rusia menguasai Donbas.
Indonesia, yang memegang kepemimpinan G20 tahun ini, berada di bawah tekanan Barat untuk tidak mengikutsertakan Rusia. Namun, Indonesia bersikeras menolak dengan alasan harus netral. Indonesia akhirnya mengundang Presiden Ukraina sebagai jalan tengah.
Indonesia memiliki hubungan akrab dengan Rusia, termasuk ”utang budi” karena telah membantu merebut kembali Irian Barat (Papua). Carey ”membuka” fakta bahwa Indonesia juga ”utang budi” kepada Ukraina dalam perjuangan kemerdekaan lewat forum internasional.
Dmitry Manuilsky (1945-1952), wakil tetap Ukraina di Dewan Keamanan PBB, menginisiasi ”Indonesian Question” pada 21 Januari 1946, menegaskan bahwa agresi Belanda merupakan ancaman perdamaian dunia.
Setelah Aksi Polisionil II oleh Belanda, 19 Desember 1948, kembali wakil Ukraina ikut melahirkan dua resolusi Dewan Keamanan 24 dan 28 Desember 1948. Isinya memerintahkan Belanda segera menghentikan agresi militer dan membebaskan para pemimpin republik.
Inisiatif ini jadi jalan pembentukan Komisi PBB untuk Indonesia (UNCI), 28 Januari 1949. Dibarengi sanksi ekonomi, Belanda terpaksa bernegosiasi dengan Indonesia mengenai Pengakuan Kemerdekaan (2 November 1949) dan Penyerahan Kedaulatan (27 Desember 1949).
Carey menyatakan, Indonesia belum pernah menyaksikan pembangunan karena pemerintahan hanya dibentuk dan diganti asal-asalan sejak pasca-Orde Lama sampai era Reformasi sekarang. Ia juga menyebut bangsa Indonesia tidak hidup bersama sejarah, hanya dekat dengan sejarah dan lebih sering mengabaikan sejarah.
Dalam buku Keuangan Mikro di Indonesia (UNS Press, 1997), saya menulis bahwa pembuat kebijakan tidak belajar dari sejarah dalam merumuskan kebijakan.
Sumantoro MartowijoyoJl Daksa I, Jakarta Selatan
Tanggapan PT KAI
Menanggapi keluhan Sdr A Ristanto di harian Kompas (Rabu, 18/5/2022) dalam surat pembaca berjudul ”Pesan Tiket Kereta”, kami berterima kasih atas pilihan menggunakan jasa KAI.
KAI telah menghubungi pelanggan pada 23 Mei 2022 untuk menjelaskan dan menyelesaikan permasalahan.
Kami mohon maaf atas kekurangnyamanan yang dialami dan kami berkomitmen untuk terus memperbaiki layanan tiket KAI ke depan.
Joni Martinus
Vice President Public Relations, PT KAI
Berita Dobel
Harian Kompas (19/5/2022) pada rubrik Internasional, menurunkan berita ”Polusi Udara Bunuh 9 Juta Orang”.
Pada edisi yang sama, pada rubrik Humaniora ada berita yang sama dengan judul berbeda, ”Sembilan Juta Kematian akibat Polusi”.
Keduanya membahas polusi udara yang makin ekstrem sehingga memicu kematian 9 juta orang selama 2015-2019. Laporan mengutip jurnal ilmiah Lancet Planetary Health, Rabu (18/5/2022).
Apakah pemuatan bersamaan pada topik yang sama lazim meski rubrik berbeda?
Semoga pemuatan berita dobel seperti ini tidak terulang lagi di masa mendatang.
Binoto NadapdapJl Asem Kranji, Utan Kayu Selatan, Matraman, Jakarta Timur 13120
Catatan Redaksi:
Terima kasih atas kesetiaan Anda membaca Kompas. Kami mohon maaf atas kesalahan yang terjadi. Semoga kami bisa semakin memenuhi kebutuhan pembaca ke depan.