Yayasan Cahaya Guru mengadakan latihan bagi guru agar terbiasa dengan keberagaman. Kegiatan tersebut perlu diapresiasi, tetapi di bagian hulu, yaitu sikap kebinekaan di dalam pabrik guru juga wajib dicermati.
Oleh
A Agoes Soediamhadi
·3 menit baca
Amat menarik membaca berita kemampuan guru di dalam menghargai keberagaman individu. Yang dalam kategori baik ternyata hanya 1 persen (Kompas, 9/4/2022).
Hal itu diukur dari kemampuan guru menghadirkan pembelajaran interaktif untuk menghargai keberagaman individu sesuai kemampuan peserta didik. Selanjutnya 67 persen guru tidak mampu melakukan pembelajaran interaktif atau masuk kategori kurang dan 32 persen sisanya masuk kategori sedang.
Berita tersebut juga menyebutkan, menurut hasil Asesmen Pendidikan 2021, baru 32 persen satuan pendidikan di Indonesia yang membudayakan sikap kebinekaan. Sisanya, 59 persen satuan pendidikan perlu menguatkan dan 9 persen perlu meningkatkan sikap kebinekaan.
Mengantisipasi hasil tersebut, ada inisiatif dari Yayasan Cahaya Guru mengadakan latihan bagi guru agar terbiasa dengan keberagaman. Kegiatan tersebut perlu diapresiasi, tetapi di bagian hulu, yaitu sikap kebinekaan di dalam pabrik guru juga wajib dicermati. Yang dimaksud pabrik tentunya adalah institusi pendidikan perguruan tinggi, yang menghasilkan para guru.
Sudahkah disurvei dan diukur bagaimana sesungguhnya atmosfer pembelajaran ataupun suasana kampus yang berfungsi mencetak para calon guru tersebut?
Jangan-jangan, di dalam ataupun di luar ruang kuliah, bertebaran ajaran-ajaran intoleransi yang menolak keberagaman, bahkan radikalisme.
Kalau keadaannya memang demikian, tidak ada jalan lain kecuali merevisi total institusi tersebut.
Perlu kerja keras untuk menghasilkan guru yang baik, dimulai dari merawat pabrik sampai keluarannya.
A Agoes SoediamhadiJl Langenarjan Lor, Yogyakarta 55131
Warisan Baik
Kita pantas bersyukur, Presiden Jokowi sudah menghentikan wacana perpanjangan masa jabatan presiden dengan menunda pemilu. Intinya, Presiden Jokowi akan teguh pada konstitusi meski harus berseberangan dengan pihak lain yang ingin perpanjangan.
Memang prestasi presiden kita ke-7 selama ini hebat, termasuk Presidensi G20. Namun, jika wacana perpanjangan periode kepresidenan tidak segera dihentikan, ”legacy” (warisan) yang mengesankan ini bisa terlepas karena ada pro dan kontra.
Selama ini, presiden dengan perpanjangan masa tugas tidak bisa mengakhiri masa tugasnya dengan baik. Soeharto harus diturunkan lewat reformasi dan Bung Karno, sang proklamator, dilengserkan bangsanya sendiri. Tragis.
Bagi seorang pemimpin bangsa, legacy adalah kenangan indah yang diingat bangsanya sepanjang sejarah. Ibarat orang mengejar khusnul khotimah. Kata Albert Einstein, ”Try not to become a man of success, but rather to become a man of value.” Jangan mencoba menjadi manusia sukses. Jadilah manusia yang bermartabat dan bernilai luhur.
Hemat saya, Presiden Jokowi adalah man of value. Jadilah orang yang bernilai dan sukses pun akan mengikuti.
Menurut Einstein, orang sukses mengambil lebih banyak (keuntungan) dari kehidupan ketimbang yang ia berikan, orang yang bernilai memberi lebih banyak (keuntungan) kepada kehidupan daripada yang diterimanya.
Presiden Jokowi, saya mengagumi Anda. Kejarlah nilai-nilai luhur agar khusnul khotimah mengikuti. Ini akan menjadi stori cerita baik dan legacy abadi sejarah bangsa.
Saat ini momentumnya sungguh membutuhkan perhatian. Ada kelompok kecil yang rentan, termasuk pensiunan, yang terpapar hebat secara serentak gara-gara kenaikan harga minyak goreng, BBM, dan bahkan kabarnya akan menyusul naik LPG dan listrik. Tak terbayangkan beban ini bagi rakyat yang berada di lapisan bawah.
Apabila tak segera ditangani, ramuan kondisi dan situasi ini mengganggu stabilitas politik dan kinerja pemerintah.
Dr Setyo Soedradjat, APU Dosen Pascasarjana, Universitas Budi Luhur