BPJS Kesehatan Oke
Namun secara keseluruhan, BPJS kesehatan sangat membantu. Tidak hanya bagi ASN/TNI/Polri, tetapi juga masyarakat umum yang kondisi ekonominya terbatas. Semua dilayani dokter-dokter spesialis yang mumpuni.
Sebagai PNS Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK), pensiun 2016, saya sempat memanfaatkan program Asuransi Kesehatan (Askes), saat operasi pembengkakan prostat di RS Karya Bhakti Bogor, 2011.
Saya dikenakan biaya mandiri 60 persen (Rp 14 juta) dari total biaya operasi plus rawat inap Rp 22 juta. Sisanya, sekitar 40 persen atau Rp 8 juta, ditanggung Askes.
Bandingkan dengan era Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan sekarang. Belum lama ini (21 Maret–16 April 2022) putri saya yang juga ASN di Kementerian Hukum dan HAM, menjalani operasi benjolan di ovarium di RS Fatmawati, Jakarta.
Menggunakan fasilitas BPJS kesehatan, anak saya selama proses operasi dan rawat inap di rumah sakit tidak dikenakan biaya sepeser pun. Gratis. Penasaran, saya menanyakan kepada petugas medis yang menangani pasien operasi kebidanan dan kandungan, berapa total biaya operasi seperti anak saya. Jawabannya cukup mengagetkan. Biaya untuk tindakan medis dokter bisa mencapai Rp 40 juta–Rp 60 juta, di luar biaya rawat inap. Wow!
Memang, di satu sisi pemanfaatan BPJS kesehatan ini secara birokrasi kadang rumit dan butuh waktu agak lama. Pasien harus membuat surat rujukan dari puskesmas/poliklinik sebagai fasilitas kesehatan tingkat 1 ke rumah sakit tipe C, B, sampai A. Di RS tipe A semacam RS Fatmawati, setelah diperiksa dokter menetapkan jadwal operasi.
Pasien harus menjalani pemeriksaan radiologi, USG, jantung, internis, paru-paru, anestasi, swab PCR. Dari rujukan akhir di rumah sakit hingga operasi bisa memakan waktu 1-3 bulan, tergantung penyakitnya.
Di sisi lain, pasien harus menahan derita agak lama karena prosesnya panjang. Saya dapat memahami kerumitan ini karena pasien yang akan ditangani jumlahnya banyak, sementara jumlah tenaga kesehatan terbatas.
Namun secara keseluruhan, BPJS kesehatan sangat membantu. Tidak hanya bagi ASN/TNI/Polri, tetapi juga masyarakat umum yang kondisi ekonominya terbatas. Semua dilayani dokter-dokter spesialis yang mumpuni.
Semua itu menjadi indikator bahwa pelayanan kesehatan di Indonesia sudah sangat membaik dibandingkan dengan 10 tahun lalu, sebelum ada BPJS Kesehatan.
Pramono Dwi SusetyoPensiunan KLHK, Vila Bogor Indah, Ciparigi, Bogor
Karcis Pendakian
Para pendaki menuju puncak Gunung Kerinci untuk berburu matahari terbit dan menikmati pemandangan alam di Kabupaten Kerinci, Jambi, Rabu (1/1/2020). Ratusan pendaki dari berbagai daerah di Indonesia berkunjung ke Gunung Kerinci untuk melalui momen pergantian tahun.
Di Indonesia ada kurang lebih 36 gunung berketinggian 2.900-4.884 mdpl yang semakin populer untuk didaki karena keindahannya, seperti Gunung Dempo, Merbabu, Sumbing, Rinjani, Tambora.
Tingkat kesulitan pendakian umumnya rendah sampai sedang, kecuali puncak-puncak di atas 4.500 mdpl. Pegunungan Sudirman dan Jayawijaya di Papua, misalnya.
Namun, saya melihat ada yang bersifat kontraproduktif terhadap pengembangan wisata petualangan ini.
Untuk beberapa gunung yang populer, belakangan ini pendaki harus membayar karcis pendakian. Namun, harga karcis harian pendakian ini yang jauh berbeda antara pendaki nasional dan asing.
Harga-harga tersebut dapat dilihat di website resmi pendaftaran pendakian daring. Harga karcis per hari untuk pendaki asing bisa 12-30 kali pendaki nasional.
Jika dihitung berdasarkan lama pendakian (2-3 hari), harga karcis pendaki nasional Rp 15.000-Rp 67.000. Untuk pendaki asing bisa mencapai Rp 450.000-Rp 830.000.
Saya heran mengapa ada perbedaan harga karcis yang begitu mencolok? Pada kenyataannya, tidak ada perbedaan pelayanan terhadap pendaki nasional dan pendaki asing.
Beberapa pendaki asing yang saya kenal berkeberatan dengan perbedaan harga ini. Di obyek-obyek wisata terkenal di Bali, harga karcis sama untuk semua wisatawan. Kalaupun berbeda, bedanya hanya sedikit.
Saya sarankan kepada Kementerian Pariwisata meninjau perbedaan harga ini.
Handjono SuwonoJl Bintaro Tengah, Tangerang Selatan
Siap Siaga Bencana
Sebuah rumah di Desa Liang, Pulau Ambon, Maluku ambruk rata dengan tanah akibat gempa bermagnitudo 6,5 mengguncang daerah itu pada 26 September 2019.
Tanggal 26 April 2022, peringatan Hari Kesiapsiagaan Bencana berslogan ”Siap untuk Selamat”. Di mana-mana ada simulasi tanggap bencana, juga di Keraton Yogyakarta.
Menurut Prof Dwikorita Karnawati, MSc PhD, Kepala BMKG, guncangan gempa 6,6 di Provinsi Banten pada 14 Januari 2022 kemungkinan menambah tegangan ke zone gap di megathrust.
Agar ”siap untuk selamat”, menurut saya tidak hanya perlu simulasi menghadapi gempa, tetapi segera memeriksa konstruksi bangunan-bangunan penting. Kalau hasilnya tidak memenuhi syarat, lakukan penguatan/retrofitting.
Sekali lagi ”bukan gempanya, tetapi bangunannya”.
Ali ImamBukit Cemara Tujuh, Tlogomas, Malang
Berita yang Memprihatinkan
Bupati Bogor Ade Yasin
Berita Bupati Bogor Hj Ade Munawaroh Yasin, SH, MH, tidak hanya memprihatinkan, tetapi juga menyedihkan. Sudah bolak-balik orang ditangkap karena korupsi, ada saja orang bandel mengulangi.
Menurut saya, tertangkap tangan saat bulan suci Ramadhan hendak berakhir, sungguh keterlaluan. Inilah saatnya umat Islam memaksimalkan ibadah dengan iktikaf, menjauhi hiruk-pikuk dunia, memohon ampunan dan menanti Lailatul Qadar.
Puasa Ramadhan sebagai wahana penyucian diri menjadi tercemar. Orang bisa berkata, puasa atau tidak sama saja. Bisa mengurangi dorongan umat untuk berpuasa.
Kejadian ini seharusnya menjadi momentum berbenah semua pihak.
Suharno Umbulharjo, Yogyakarta
Soal Tanah
Membaca berita di harian Kompas (Rabu, 6/4/2022) berjudul ”Agraria: Saat Penyelesaian Konflik Tak Sekadar Bagi-bagi Sertifikat”, kami juga pernah berkirim surat ke Kantor Staf Kepresidenan Republik Indonesia (KSP RI), 2021. Kami mengadukan mafia tanah yang sudah kami laporkan ke Polda Jateng pada 2018 dan 2019, tetapi belum beres.
Laporan saya ke KSP sudah ditindaklanjuti, dikonfirmasi, hanya sampai sekarang belum ada hasilnya. Kami juga telah melapor ke Kapolri soal tanah kami. Bukan sekadar dikuasai secara melawan hukum, tetapi juga ditambang untuk dijual.
Terlapor utama adalah purnawirawan Polri. Kasus terang benderang, tetapi dari Polda ada saja alasannya.
Semua berawal dari pengurusan Sertifikat Hak Milik (SHM) yang difasilitasi oleh pegawai Agraria. Setelah SHM tanah terbit 1979, SHM 38, 39, 81 dan 105 (sekarang ikut Desa Ujung-Ujung Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah), bukan diberikan kepada kami, tetapi dikuasai oknum purnawirawan Polri. Padahal, nama bapak, ibu, kakak, dan saudara kami tercantum di SHM.
Penguasaan berlangsung dengan modus beragam. Dari menyewa untuk ditanami hingga menggunakan nama- nama orang yang sudah meninggal yang mirip dengan nama-nama kami.
Kami selama ini oleh penyidik di Polda Jateng hanya diberi laporan hasil penanganan laporan. Padahal, sejak 2018 dan 2019 kami sudah melaporkan kasus-kasus itu.
Yanti Binti Sumali Dusun Gading, Desa Sumber Rejo, Pabelan, Kabupaten Semarang
Masih Ada Bara
Tulisan-tulisan tentang Papua di harian Kompas menunjukkan betapa kompleksnya masalah di Papua. Dari jumlah suku yang tidak kurang dari 255, kondisi geografis, terbatasnya infrastruktur, hingga tidak pasnya kebijakan.
Muncul sikap penolakan terhadap pemekaran wilayah dan dialog, lebih parah lagi masih terjadi tindak kekerasan dan teror. Tahun 2015, ada 11 kasus, 2019 ada 139 kasus.
Sekalipun pembangunan juga terus dilaksanakan, upaya itu kurang mendapat respons positif. Penyelesaian masalah Papua tampaknya harus dimulai dari titik nol, apalagi jika dilihat dari strategi keamanan yang hingga kini tidak efektif.
Masih banyak hal yang terlewat dari perhatian pemerintah. Ada baiknya mengidentifikasi ulang berbagai masalah atau potensi masalah.
Semoga dengan demikian, formula kebijakan, strategi, dan pelaksanaannya lebih berhasil dalam menjawab permasalahan Papua.
BharotoKelud Timur I Semarang