Dilema
Boleh bimbang dan wajar mendengarkan bisikan nurani, tetapi sebagai pemegang presidensi G20 dan sebagai negara yang berprinsip ”bebas aktif”, Indonesia akan membuat keputusan tegas dalam mengundang peserta G20.

Presiden Joko Widodo memberikan pidato pada Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 di Jakarta, 17 Februari 2022.
Ada judul ”Indonesia dalam Senandika Hamlet” di Catatan Awal Pekan Kompas (Senin, 18/4/2022). ”Senandika” adalah kata nomina. Takrifnya ada di KBBI. Makna intinya sama dengan ”ngunandika” (Jw), yakni berbicara dengan diri sendiri, menanggapi hati nurani.
”Hati nurani” atau ”kata hati” (conscience) ialah ”ein Ruf aus mir, und doch ueber mich” (panggilan dari dalam diriku, yang justru tertuju kepadaku sendiri). Ada yang menyebutnya ”bisikan kalbu”.
Hamlet adalah pangeran di kerajaan Denmark dalam drama karya William Shakespeare (1564-1616). Ia, seperti dikatakan Kompas, sedang bimbang ketika ngunandika: ”To be or not to be?” Ia sedang ragu, tetapi ia bukan peragu, apalagi pengecut. Ia tanpa rasa takut menghadapi Laertes—abang Ophelia, kekasihnya—dengan pedangnya.
Begitu pula harapan kita kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo: boleh bimbang dan wajar mendengarkan bisikan nurani, tetapi sebagai pemegang presidensi G20 dan sebagai negara yang berprinsip ”bebas aktif”, Indonesia akan membuat keputusan tegas. Apakah akan mengundang Ukraina, Rusia, dan Amerika Serikat berikut negara-negara NATO pendukungnya?
Saya yang awam tidak berani memberi saran. Tetapi, pastilah Jokowi mendapatkan banyak pandangan dari para pembantunya, pakar politik dan hukum internasional. Akhirnya, beliau sendirilah, sebagai RI-1, yang harus memutuskan. Seperti kata Presiden AS Harry S Truman (1945-1953), ”The buck stops here.”
Memang tidak mudah mencari jalan keluar suatu dilema. Nurani—yang tersisa dari imago Dei setelah manusia jatuh ke dalam dosa—dapat membantu. Bisikannya harus kita dengarkan. Akankah Vladimir Putin diizinkan datang meskipun ada ancaman boikot dari para kepala negara kelompok negara maju G-7?
Dulu, Bung Karno berani berteriak, ”Go to hell with your aid.” Beliau juga berani membawa Indonesia keluar dari PBB, menyelenggarakan Games of The New Emerging Forces (Ganefo) sebagai tandingan Olimpiade, dan menggalang kekompakan blok ketiga (Nonblok) melalui Konferensi Asia dan Afrika di Bandung.
Sekarang kondisinya berbeda. RI-1 tentu harus sangat berhati-hati menentukan pilihan. Semoga sebagai presiden terpilih dalam pemilu yang jujur dan adil, Presiden Joko Widodo amanah mengemban tugasnya.
L WilardjoKlaseman, Salatiga
Mencerdaskan

Metode pengobatan DSA yang diterapkan di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, Rabu (4/4/2018)
Dua hari Kompas memuat berita obat kecantikan ilegal pada 7 dan 8 April 2022. Praktik kecantikan ilegal berujung fatal dan kosmetik ilegal bermerkuri dijual bebas. Tulisan ini menyadarkan kita, perlindungan kesehatan yang layak belum didapat konsumen.
Kompas (Senin, 11/4/2022) juga memuat surat Prof (EM) Dr Johan S Mashur dr SPPD-KEMD, SPKN. Sebagai anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI), sepatutnya dr Terawan berpedoman pada kaidah penelitian kedokteran sesuai Declaration of Helsinki yang dikeluarkan World Medical Association dan IDI menjadi anggota. Etika profesi universal juga harus dipatuhi IDI sebagai organisasi ataupun para dokter anggotanya.
Ada pro-kontra tentang pemecatan dr Terawan, bahkan pokok masalah melebar ke mana-mana, tidak lagi tentang pelanggaran kode etik dan tata laksana penelitian.
Seorang ahli bedah saraf dan Guru Besar Fakultas Kedokteran Undip Prof dr Zainal Muttaqin menyuarakan pendapatnya mengenai pembodohan massal serta antisains terhadap masyarakat dengan embel-embel nasionalisme karya anak bangsa.
Metode digital subtraction angiography (DSA) bukan temuan dr Terawan. Metode itu ditemukan Charles A Mistretta tahun 1971. Dengan teknologi digital saat itu, ia mengubah angiografi otak jadi DSA.
”Akankah kita sebagai manusia dan sebagai bangsa yang memiliki akal sehat berdiam diri saat petinggi negeri, khususnya di DPR, membodohi rakyat dengan testimony based medicine?” kata Prof Zainal.
Teknik pencitraan pembuluh darah otak atau DSA sudah biasa dikerjakan banyak dokter sebagai sarana diagnostik. Namun, metode diagnosis ini dijadikannya sarana pengobatan terapi stroke dan beberapa penyakit lainnya.
Lawan testimony based medicine adalah evidence based medicine (EBM), landasan pokok kerja dokter, ilmu kedokteran, dan sains. Tanpa EBM, dokter sama dengan dukun.
Kepatuhan dalam menjalankan EBM menjadi landasan Majelis Kode Etik Kedokteran IDI (MKEK-IDI) menjatuhkan sanksi etik kepada dr Terawan. Tidak ada alasan kebencian kelompok atau lainnya.
Ada kisah tentang dokter terkemuka di Amerika Serikat, William A Silverman. Tahun 1940-an dia mengobati bayi-bayi prematur dengan kelainan yang berpotensi membutakan mata, disebut retinopathy of prematurity.
Dia mengobati dengan hormon ACTH yang awalnya menunjukkan keberhasilan. Silverman yang patuh pada komunitas kedokteran kemudian melakukan penelitian dengan metode sahih. Hasilnya mengagetkan. Sepertiga bayi yang memperoleh ACTH tetap buta dan hanya seperlima yang tidak diobati dengan ACTH (plasebo) menjadi buta.
Hasil yang baik lebih disebabkan oleh berat ringannya penyakit dan bukan oleh pengobatan. Silverman diakui sebagai salah seorang pelopor evidence based medicine.
Hadisudjono Sastrosatomo Anggota Tim Pengarah Pusat Etika Bisnis dan Organisasi SS-PEBOSS–STM PPM Menteng Raya, Jakarta Pusat
Sumpah Dokter

Pelantikan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia periode 2018-2021, di Jakarta, Sabtu (8/12/2018) Sekitar 250 dokter Pengurus Baru PB IDI mengucapkan sumpah pelantikan jabatan yang dipimpin oleh Ketua Umum PB IDI 2018-2021 Daeng M Faqih.
Polemik pemberhentian dr Terawan sebagai anggota IDI mengusik perhatian saya. Lebih dari 46 tahun berpraktik dokter, menjadi kepala rumah sakit, mengajar calon dokter, dan terlibat organisasi profesi, saya meyakini sekali bahwa profesi dokter ini unik dan luhur. Terkait kehidupan manusia. Itulah sebabnya, profesi ini wajib melafalkan ”sumpah dokter”.
Sumpah dokter Indonesia terdiri atas 12 poin, antara lain membaktikan hidup pada kepentingan kemanusiaan, menjalankan tugas dengan cara terhormat dan bersusila, memelihara martabat dan tradisi luhur profesi, menggunakan pengetahuan tidak untuk sesuatu yang bertentangan dengan perikemanusiaan, serta berikhtiar dengan sungguh-sungguh agar tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, jender, politik, kedudukan sosial, dan jenis penyakit dalam menunaikan kewajiban terhadap pasien.
Lantaran profesi dokter rentan diselewengkan, setiap dokter juga diikat dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki). Kodeki berisi 21 pasal: 13 Pasal Kewajiban Umum, 4 Pasal Kewajiban kepada Pasien, 2 Pasal Kewajiban kepada Teman Sejawat, dan 2 Pasal Kewajiban kepada Diri Sendiri.
Secara keorganisasian, profesi dokter tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI). IDI satu-satunya organisasi yang sah diakui Pemerintah Indonesia. IDI membawahkan Majelis Kehormatan Etika Kedokteran IDI (MKEK-IDI) yang bertanggung jawab mengawasi praktik dokter dari aspek ”etika kedokteran”.
Setiap dokter ”wajib” melafalkan sumpah dokter, tetapi ”tidak wajib” menjadi anggota IDI. Umumnya, dokter mendaftarkan diri menjadi anggota IDI untuk memperoleh nomor pokok anggota (NPA) untuk mendapat sertifikat rekomendasi IDI guna memperoleh surat tanda registrasi (STR) yang diterbitkan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Dengan STR, dokter dapat memperoleh surat izin praktik (SIP).
Setahu saya, cukup banyak dokter di Indonesia yang tidak menjadi anggota IDI karena merasa tidak perlu. Misalnya dokter yang tidak berpraktik profesi, seperti dokter direktur rumah sakit dan pemimpin perusahaan.
Karena keanggotaannya sukarela, jika merasa tidak cocok dengan AD/ART IDI atau tidak cocok dengan pengurus, bisa mengusulkan perubahan yang diinginkan. Namun, jika keinginan tidak tercapai karena bertentangan dengan AD/ART, misalnya, ia dipersilakan mencabut sendiri keanggotaan secara kesatria dengan segala konsekuensinya.
Kasus yang jadi polemik semata-mata adalah masalah sederhana yang bersifat internal, antara IDI/MKEK-IDI dan salah satu anggota yang melanggar Kodeki. Namun, penyelesaiannya lama dan berlarut-larut.
Sudah diupayakan berulang-ulang dalam berbagai persidangan, tetapi justru sengaja digulirkan menjadi masalah politik. Padahal, etika kedokteran tak ada kaitannya dengan jiwa korsa, pertemanan, kekuasaan, politik, suku, agama tertentu, golongan, dan lainnya.
Satu-satunya instrumen dunia kedokteran yang berhubungan dengan etika kedokteran adalah sumpah dokter.
Karena itu, saya mengimbau kepada rekan sejawat dokter di Indonesia, jika kita mendapat teguran oleh sejawat, oleh Komite Medik RS tempat kita bekerja, apalagi oleh MKEK, renungkanlah dengan hati nurani. Sumpah dokter sejatinya menjadi pijakan.
BrigJen TNI (Purn) Dr Djoko Riadi, SpBS (K)
Anggota MKEK-IDI dari PDSp (2018-2021); Kepala RSPAD Gatot Subroto (2005-2008)
Halaman ”Kompas”

Kompas edisi Rabu (9/2/2022) Arsip Kompas
Sebagai pelanggan harian Kompas, kiriman di hari Kamis, 14 April 2022, terasa beda. Lebih berat dari biasanya.
Benar sekali perbedaan itu. Ternyata harian Kompas bertambah satu lembar (4 halaman) menjadikan berita lebih komplet dan berisi. Puas rasanya membaca headline dan halaman berikutnya, serasa ndak habis-habis.
Teringat saat halaman Kompas lebih dari 20 setiap terbit. Berbagai suplemen sering muncul, seperti teropong dan liputan khusus. Membaca di pagi hari pasti tidak cukup, baru bisa tuntas pulang dari kantor.
Sebagai pembaca setia, saya tentu mengharapkan jumlah halaman tidak hanya 16, tetapi minimal 20 halaman setiap hari. Semoga Kompas sebagai koran amanat hati nurani rakyat terus berjaya.
FX Triyas Hadi Prihantoro
Guru SMP PL Domsav, Semarang
Tanggapan First Media
Menanggapi surat pembaca di harian Kompas yang disampaikan Bapak A Sumartono (Senin, 18/4/2022) berjudul ”Layanan Internet”, dengan ini kami sampaikan bahwa pada 20 April 2022 kami telah menghubungi Bapak A Sumartono.
Kami menjelaskan kendala yang dialami dan pelanggan pun telah menerima solusi dari kami dengan baik. Saat ini Bapak A Sumartono sudah dapat menikmati layanan First Media secara normal.
Kami mohon maaf atas ketidaknyamanan yang dialami Bapak A Sumartono.
Segala masukan dan dukungan yang diberikan sangat berarti bagi setiap upaya peningkatan yang kami lakukan. Semoga dengan demikian kami dapat terus memberikan layanan berkualitas bagi seluruh pelanggan setia kami.
Niki SanjayaHead of Marketing Communication PT Link Net Tbk (First Media)