Cerita Guntur Soekarno
Jalan bebas hambatan yang kemudian dikenal sebagai Jakarta Bypass bukan yang kini bernama Jalan Gatot Subroto, melainkan adalah Jalan Ahmad Yani yang menghubungkan Cililitan dengan Tanjung Priok.
Sangat menarik membaca tulisan Guntur Soekarno atau Mas Tok di Kompas (Rabu, 6/4/2022). Cerita tentang peran CIA di era Presiden Soekarno itu memberi informasi berharga buat awam seperti saya ataupun sebagai catatan sejarah bangsa kita.
Tanpa mengurangi nilainya, saya ingin memberi koreksi sedikit agar catatan sejarah itu lebih sempurna.
Pertama, kantor AMPAI (American Motion Picture Association Indonesia) bukanlah di gedung USIS (United States Information Service) dan lokasinya tidak persis di sebelah Istana Negara.
Sama-sama di Jalan Segara (kini Jalan Veteran), gedung AMPAI terletak di ujung Jalan Segara III (sebelum jalan itu digeser untuk perluasan Sekretariat Negara). Kebetulan masa itu saya amat suka menikmati gambar-gambar promosi film produksi MGM, Universal, dan 20th Century Fox yang dipasang di sana.
Sementara USIS terletak di ujung Jalan Segara II. Kebetulan saya adalah pelajar anggota aktif perpustakaan USIS. Di antara kantor AMPAI dan USIS masih ada beberapa gedung, antara lain toko perhiasan Jos van Arken dan toko piano KOK.
Kedua, jalan bebas hambatan yang kemudian dikenal sebagai Jakarta Bypass bukan yang kini bernama Jalan Gatot Subroto, melainkan adalah Jalan Ahmad Yani yang menghubungkan Cililitan dengan Tanjung Priok.
Ketiga, bintang film cantik dan kondang asal AS yang ditulis sebagai Susane Pleshets sebetulnya bernama Suzanne Pleshette. Kebetulan artis yang memang cantik itu adalah favorit saya sejak dia bermain dalam film Lovers Must Learn bersama Troy Donahue.
Demikian koreksi hal-hal tidak penting demi menyempurnakan informasi dari Mas Tok.
Renville AlmatsierJalan KH Dewantara, Ciputat, Tangerang Selatan, 15411
Penjelasan Guntur

Guntur Soekarno
Sehubungan dengan adanya protes atas ketidakcermatan di dalam artikel saya, bersama ini saya mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya kepada para pembaca Kompas.
Semua artikel, saya tulis berdasarkan apa yang terekam di kepala saya.
Memang benar kasus Allan Lawrence Pope itu terjadi ketika adanya gerakan separatisme PRRI/Permesta. Bukan terkait Trikora.
Terima kasih atas adanya protes tersebut dan lainnya, yang berarti artikel saya tersebut dibaca oleh banyak kalangan ramai.
”Mas Tok” Guntur Soekarno
Data Dipakai Orang Lain
Paman saya, Frans Murthi, lahir 26 Maret 1945, WNI, pemegang paspor nomor X613***. Sejak 10 Desember 2019 tinggal di Melbourne, Australia, dan tak pernah ke Indonesia.
Dia telah divaksin di Australia sampai dosis ketiga pada 27 Januari 2022. Sesuai petunjuk Satgas Covid-19 Indonesia, WNI yang mendapat vaksin di luar negeri dan ingin kembali ke Indonesia harus mendaftar di e-HAC untuk mendapatkan QR code Peduli Lindungi.
Karena ingin pulang ke Indonesia, dia mendaftar sejak 28 Maret 2022, tetapi gagal terus. Dia telepon petugas Satgas Covid-19 Indonesia dan mendapat jawaban mengejutkan. Menurut data Satgas Covid-19, dia telah divaksin lengkap di Indonesia sehingga sertifikat vaksin dari Pemerintah Australia tidak bisa didaftarkan di e-HAC. Berarti dia tidak bisa pulang.
Bagaimana mungkin itu terjadi, dari 10 Desember 2019 sampai sekarang dia tidak pernah sekali pun pulang. Diduga kuat ada yang menggunakan data paman saya. Mohon tanggapan dari Satgas Covid-19.
Daniel HTSurabaya 60187
Telepon Mati
Telepon kabel di rumah kami di Kompleks PWI Griya Wartawan di Jakarta Timur sudah seminggu tidak dapat berkomunikasi.
Kami sudah beberapa kali memberi tahu melalui media online ke Indihome, tetapi tidak ada respons. Tidak ada petugas yang datang untuk memeriksa. Mengapa?
Telepon kami 02185006xx.
A Astraatmadja
Jalan Kantor Berita, Cipinang Muara, Jakarta
Seragam Sekolah

Presiden Singapura Nyonya Halimah Yacob menyalami para siswa berpakaian daerah seusai memeriksa jajar kehormatan bersama Presiden Joko Widodo. Presiden Halimah bersama suaminya Mohamed Abdullah Alhabshee melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya ke Indonesia. Presiden Joko Widodo dan Nyonya Iriana menyambut di Istana Kepresidenan Bogor, Selasa (4/2/2020).
Berita ”Kebinekaan di Sekolah Belum Membudaya (Kompas, 8/4/2022) menarik untuk disimak. Aturan pakaian sekolah belum menunjukkan kebinekaan di lingkungan sekolah untuk mewujudkan sekolah yang aman dan nyaman demi meningkatkan kualitas pendidikan.
Masih banyak sekolah yang tidak sesuai dengan indikator kebinekaan, yakni sikap inklusif, komitmen kebangsaan, toleransi agama dan budaya, serta mendukung hak dan kesetaraan antarkelompok.
JIGM Drost SJ dalam bukunya, Sekolah: Mengajar atau Mendidik? (1998), mengatakan bahwa penyeragaman bentuk apa pun tidak sesuai dengan semboyan ”Bhinneka Tunggal Ika”. Justru menjamin kebersatuan dalam keberagaman.
Di sekolah kami, sebelum pandemi Covid-19, setiap Kamis siswa dan guru mengenakan pakaian daerah. Kami satu-satunya sekolah di kabupaten yang mengenakan pakaian daerah. Ada siswa yang orangtuanya dari Sumatera Utara, maka dia mengenakan pakaian daerah Batak. Begitu juga siswa dari daerah lain.
Setiap Sabtu, siswa dan guru mengenakan pakaian batik bebas, sampai sekarang. Untuk pakaian batik, beberapa sekolah juga demikian.
Paling tidak saya merasakan betapa indahnya keberagaman. Semoga kesadaran masyarakat terus dibangun. Banyak potensi yang bisa dikembangkan menuju komitmen Bhinneka Tunggal Ika.
Thomas SutasmanSMP Pius Cilacap, Jalan A Yani Cilacap 53212
IDI Vs Terawan
Kasus dr Terawan Agus Putranto dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menarik perhatian masyarakat luas.
Dari berbagai artikel yang dimuat di media, kegiatan
Terawan telah dipantau oleh IDI sejak 2014 terkait dugaan pelanggaran kode etik pada metode cuci otak (brain washing) yang ia kembangkan
untuk pengobatan stroke iskemik.
Kemudian, ditambah lagi dengan penelitian untuk mendukung disertasi doktornya yang dianggap menyimpang dari kaidah penelitian yang berlaku universal.
Itulah yang menjadi pokok masalah dan mencapai puncaknya dengan pemecatan yang bersangkutan sebagai anggota IDI pada Muktamar Ke-31 IDI di Banda Aceh, Maret 2022, karena Terawan tidak menunjukkan itikad baik.
Sebagai anggota IDI, sudah sepatutnya Terawan dalam meneliti berpedoman pada kaidah penelitian kedokteran sesuai Declaration of Helsinki yang dikeluarkan World Medical Association pada 1964. Deklarasi tersebut telah direvisi enam kali, terakhir pada 2008, yang tentu saja harus diikuti oleh semua negara anggota, termasuk IDI.
Ada pro kontra tentang pemecatan Terawan, bahkan pokok masalah kasus melebar ke mana-mana, tidak hanya tentang pelanggaran kode etik dan tata laksana penelitian.
Misalnya, ada maksud merevisi surat izin praktik (SIP) dokter, ada keinginan mendirikan IDI tandingan, ada pula yang mempermasalahkan keterlibatan IDI dalam pendidikan dan penelitian kedokteran/kesehatan, dan sebagainya, yang menjurus kepada keutuhan IDI sebagai organisasi profesi seluruh dokter di Indonesia.
Sangat menarik pernyataan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly bahwa pemerintah akan mengatur kembali izin praktik dokter. Mungkin beliau belum tahu bahwa sejak puluhan tahun surat izin praktik dokter dikeluarkan instansi pemerintah, yaitu dinas kesehatan kota atau kabupaten, setelah mendapat surat tanda registrasi (STR) dari Konsil Kedokteran Indonesia.
Konsil Kedokteran Indonesia merupakan lembaga yang dibentuk pemerintah, dilantik oleh dan berada langsung di bawah presiden. Konsil Kedokteran Indonesia mengeluarkan STR setelah ada rekomendasi Surat Sertifikat Kompetensi yang dikeluarkan IDI atau anak organisasinya melalui Kolegium Kedokteran. Ini badan otonom dari organisasi profesi terkait.
Kolegium ini juga diakui keberadaannya oleh pemerintah. Apakah ini keliru sehingga Bapak Menteri menganggap perlu direvisi? Atau mungkin dianggap bukan domain IDI?
Siapakah yang berwenang menilai kompetensi seorang dokter kalau bukan organisasi profesinya? Apakah perlu pula dibentuk lembaga lain untuk menilai kompetensi dokter?
Saya menjadi anggota IDI sejak 1976 dan pernah menjabat Ketua IDI Cabang Bandung 1981-1984.
Saya sangat prihatin dengan kasus tersebut. Yang menjadi pokok masalah adalah pelanggaran kode etik dan kaidah penelitian oleh Terawan, tetapi yang hendak direvisi malah surat izin praktik dokter, bahkan keinginan mendirikan IDI tandingan.
Apakah ada maksud memecah belah profesi kedokteran di Indonesia? Bisa jadi IDI bukan organisasi sempurna, tetapi untuk memperbaikinya dapat dilakukan secara internal dengan menampung masukan dari pihak-pihak yang berkepentingan.
Hal lain tentang keinginan mendirikan organisasi profesi dokter tandingan. Katanya di luar negeri bisa ada beberapa organisasi profesi dokter. Memang betul di suatu negara bisa ada beberapa organisasi profesi, tetapi itu berdasarkan spesialisasi atau keseminatan. Misal organisasi spesialis penyakit dalam, bedah, kesehatan anak, kebidanan dan penyakit kandungan, serta percabangan ilmu kedokteran lainnya. Ada pula organisasi keseminatan seperti kelainan tiroid, hipertensi, dan lupus.
IDI juga punya banyak organisasi profesi spesialis/keahlian dan keseminatan. Untuk menaungi para dokter dari semua profesi spesialis dan keseminatan, di suatu negara hanya ada satu organisasi, misalnya American Medical Association di Amerika Serikat, British Medical Association di Inggris, dan Japan Medical Association di Jepang. Semua bergabung ke World Medical Association.
Apakah IDI juga terlibat dalam pendidikan profesi dokter dan penelitian kedokteran/kesehatan? Tentu saja tidak, karena itu bukan misi IDI. Namun, IDI ikut mendukung secara tidak langsung. Misalnya, memberi masukan dalam menyusun kurikulum pendidikan kedokteran/kesehatan.
Organisasi profesi juga aktif menyusun berbagai pedoman/guidelines dari penyakit atau prosedur medik tertentu dalam pelayanan kesehatan.
Saya berharap kasus Terawan dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya serta IDI tetap utuh dan mengabdi pada kesehatan masyarakat.
Prof (Em) Dr Johan S Masjhur, dr, SpPD-KEMD, SpKNBandung