Tidak ada yang pasti dalam ilmu sosial-politik, bahkan dalam sejumlah isu ilmu pasti-alam. Fenomena politik hanya bisa dikupas dengan menggunakan teori, data, informasi, dan situasi/pengalaman empiris.
Oleh
DIAN WIRENGJURIT
·4 menit baca
Saya bukan pemerhati politik Indonesia, sudah banyak pakarnya. Namun, opini R William Liddle, ”Sesepuh Bangsa” (Kompas, 4/4/2022), membuat saya tersentak.
Pada kalimat pertama Liddle menulis: ”Kiranya tidak tersangkal lagi(!): Presiden Jokowi sedang menggalang kekuatan politik agar sidang MPR diselenggarakan dan konstitusi diamendemen demi perpanjangan masa jabatannya”. Di kalimat berikutnya tertulis: ”Mengapa kesimpulan saya begitu pasti(!)?”
Saya tersentak dengan frasa "tidak dapat disangkal lagi" dan "kesimpulan saya begitu pasti".
Sebagai orang yang minim pemahaman ilmu sosial politik, tidak ada yang pasti dalam ilmu sosial-politik, bahkan dalam sejumlah isu ilmu pasti-alam. Fenomena politik hanya bisa dikupas dengan menggunakan teori, data, informasi, dan situasi/pengalaman empiris.
Hasilnya adalah sebuah sudut pandang (angle), yang apabila disatukan dengan angle-angle lain baru menghasilkan gambaran fenomena yang ”utuh”, sebagai bahan masukan atau pertimbangan. Bukan kepastian dan kata akhir; demikian pula artikel Liddle.
Masalahnya, mudah-mudahan tidak terjadi, artikel pakar dan indosianis seperti itu dapat menjadi amunisi pihak yang berseberangan untuk menggempur Jokowi.
Masalah lanjutannya, frasa-frasa yang hebat di atas itu sebenarnya bagaikan pedang bermata dua. Pertama, kalau sinyalemen itu benar, Liddle akan dengan bangga mengatakan bahwa ia benar.
Namun, kedua, kalau tidak benar, dia juga akan mudah berkata bahwa Jokowi tidak jadi memperpanjang masa jabatan gara-gara tulisan dia. Artinya, Liddle tetap tidak disalahkan, padahal tulisan itu mungkin sudah menimbulkan keonaran dan memperkeruh situasi politik.
Sekadar mengingatkan, pakar dengan sederet gelar apa pun pada dasarnya tetap manusia. Dengan demikian, kepakaran (expertise) tidak dengan sendirinya sama dan sebangun dengan kebijaksanaan (wisdom).
Yang pertama diperoleh dari belajar dan pengalaman; yang bisa saja menciptakan kesombongan. Sementara yang kedua perlu jam terbang. Artinya, kita memang harus waspada dan cerdas memahami opini pakar.
Dian WirengjuritJl Cirendeu Raya, Tangerang Selatan 15419
Tulisan Liddle
Tulisan William Liddle pada harian Kompas (Senin, 4/4/2022) yang berjudul ”Sesepuh Bangsa” cukup menyentak kendati tidak sangat mengejutkan.
Kesimpulan Liddle, ”Kiranya tidak tersangkal lagi: Presiden Jokowi sedang menggalang kekuatan politik agar sidang MPR diselenggarakan dan konstitusi diamendemen demi perpanjangan masa jabatannya”, perlu ditanggapi Pak Jokowi sendiri.
Seandainya kesimpulan itu tidak benar, Pak Jokowi perlu menyatakan kepada semua pihak bahwa beliau tidak ingin dan tidak berencana menambah atau memperpanjang masa kekuasaannya, serta menyerukan agar semua wacana dan gerakan tentang hal itu dihentikan.
Sebaliknya, kalau kesimpulan itu benar, tentunya akan membawa kehancuran—setidaknya kerusakan hebat—bagi masa depan Pak Jokowi dan keluarga, bahkan bagi bangsa dan negara Indonesia.
Sebagian besar bangsa Indonesia sampai saat ini masih mencintai dan menyayangi Pak Jokowi. Meski demikian, yang sebagian besar itu juga akan sangat menyayangkan kalau sampai Pak Jokowi sampai mempunyai niat dan rencana seperti yang disimpulkan Liddle itu.
Jan S Aritonang
Guru Besar STFT JakartaJl Proklamasi, Jakarta
Pembatasan Masa Jabatan
Memprihatinkan bahwa dalam kondisi ketidakstabilan situasi ekonomi yang membebani masyarakat banyak, gaduh politik tentang perpanjangan masa jabatan presiden terus berlangsung.
Bersyukur sikap Kompas jelas untuk menghentikan wacana ini. Kompas (Senin, 4/4/2022), misalnya, memuat tulisan R William Liddle. Saya anggap tulisan dari jauh seberang lautan ini dapat memberikan penilaian obyektif.
Penutup tulisan itu merupakan peringatan dari seorang sahabat: ”Bahaya yang dihadapi demokrasi Indonesia kini begitu nyata dan solusinya juga begitu terang. Kepastian dua masa jabatan presiden dan pengadaan pemilihan nasional setiap lima tahun perlu dipertahankan”.
Pernyataan sikap beberapa pemimpin partai ataupun pendekatan masif oleh anggota kabinet menjadi sumber pernyataan Liddle: ”Kiranya tidak tersangkal lagi, Presiden Jokowi sedang menggalang kekuatan politik agar sidang MPR diselenggarakan dan konstitusi diamendemen demi perpanjangan masa jabatan".
Ia mencontohkan kearifan Habibie, presiden pertama dalam sejarah Indonesia merdeka yang menyerahkan nasib politiknya pada suara rakyat.
Sidang pembaca dipersilakan membaca artikel lengkapnya. Pemeo yang sangat dikenal di dunia politik, power tends to corrupt, disadari penuh para politikus dunia yang berjiwa negarawan. Inilah yang mendorong mereka melahirkan ketentuan pembatasan kekuasaan pemimpin.
Ikrar Nusa Bhakti lengkap menuliskan dalil Lord Acton itu dalam sebuah terbitan LIPI (24/8/2010). ”Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely”.
Itu tampaknya tepat untuk menggambarkan penguasa yang ingin menyalahgunakan kekuasaannya. Korupsi bukan hanya terkait uang, melainkan juga politik atau kebijakan.
Lebih parah lagi jika korupsi kekuasaan itu dibalut dengan slogan ini negara demokrasi, siapa pun bisa melontarkan gagasan.
Marilah kita semua menghentikan wacana perpanjangan masa jabatan presiden. Sejarah menunjukkan, setiap pergantian kekuasaan di luar tertib perundang-undangan menimbulkan penderitaan dan korban. Peristiwa 1965 dan 1998 jangan sampai terulang dalam bentuk apa pun.
Hadisudjono Sastrosatomo
Anggota Tim Pengarah Pusat Etika Bisnis dan Organisasi SS-PEBOSS–STM PPM Menteng Raya, Jakarta Pusat
Catatan Redaksi:
Terima kasih atas semua tanggapan yang disampaikan. Presiden Joko Widodo sudah resmi memerintahkan kepada para menteri untuk tidak lagi menyuarakan penundaan pemilu agar jangan lagi menimbulkan polemik di masyarakat. (Kompas, 7/4/2022).