Sekalipun Presiden Jokowi berkali-kali menegaskan taat pada konstitusi dan menolak perpanjangan masa jabatan, sejumlah tokoh politik tetap bergeming. Terakhir, wacana berupa penundaan pemilu yang berdampak pada perpanjangan masa jabatan presiden.
Sebenarnya wacana ini merugikan citra para politikus pengusul wacana, yang sebagian menduduki jabatan menteri kabinet saat ini. Masyarakat dapat menyimpulkan bahwa para politikus mengusulkan perpanjangan masa jabatan karena tidak hendak kehilangan posisinya.
Kesimpulan ini sejalan dengan fakta bahwa masyarakat menolak penundaan pemilu. Hasil survei Litbang Kompas menyatakan bahwa mayoritas pemilih Jokowi pada 2019 tetap menginginkan Pemilu 2024.
Perbedaan dengan kehendak masyarakat akan merugikan citra politis para pengusul. Padahal, para politikus ini sangat bergantung pada citra diri, khususnya dalam kontestasi. Kerugian citra politis makin berat apabila pengusul memiliki rekam jejak yang baik dan berkontribusi positif pada masyarakat dan negara.
Dengan begini, para pengusul yang baik sekalipun bisa ”membunuh” masa lalunya. Nila ”wacana” setitik merusak susu ”integritas” sebelanga. Pengusul juga membunuh masa depannya sendiri karena akan tercatat sejarah sebagai politikus antikonstitusi dan antidemokrasi.
Konstitusi kita seiring dengan komitmen kuat terhadap konstitusionalisme. Roh dari konstitusionalisme adalah pembatasan kekuasaan multidimensional, mulai dari pembagian kekuasaan, penegakan HAM, hingga pelaksanaan pemilu teratur sebagai ajang rotasi kekuasaan.
Komitmen terhadap demokrasi nyata, salah satunya memang melalui pelaksanaan pemilu yang teratur. Ini menjadi ajang bagi demos untuk melaksanaan kratos dalam memilih pemimpin yang dikehendaki rakyat.
Jika hasrat para politikus menunda pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden—dengan alasan pandemi dan pemulihan ekonomi—dipenuhi, bukan tidak mungkin setelah periode ketiga wacana sejenis muncul lagi. Alasan bisa saja berubah, misalnya proses pemindahan ibu kota negara belum selesai, dan seterusnya.
Alasan selalu ada, krisis juga datang dan pergi. Namun, komitmen terhadap konstitusi dan demokrasi harus tetap berkobar agar darah perjuangan reformasi tidak sia-sia.
Antonius Steven UnKebon Kosong, Kemayoran, Jakarta Pusat
George Washington
Ketika Presiden Soeharto memerintah negeri ini dalam beberapa periode, konstitusi saat itu memungkinkan.
Rakyat akhirnya gerah dan muncullah gerakan reformasi dengan motor mahasiswa yang mengorbankan nyawa, 1998.
Setelah reformasi berhasil, langkah berikutnya adalah mengamendemen UUD 1945 dengan membatasi masa jabatan presiden hanya dua kali dengan waktu lima tahun per periode. Rakyat nyaman, tenteram, dan hal ini sudah berjalan baik selama 24 tahun.
Coba kita baca Kompas (Rabu, 23/3/2022) tulisan Radian Salman. Ia menyebut George Washington, presiden pertama AS, sebagai pionir pembatasan masa jabatan presiden meski konstitusi tidak membatasi.
Luar biasa yang dilakukan George Washington. Negarawan yang tahu membatasi diri, tidak kemaruk kekuasaan.
Kembali cerita di negeri kita. Sebelum ada pembatasan masa jabatan, rakyat gerah dan minta perubahan. Setelah reformasi, ada pembatasan dua periode jabatan presiden dan wakil presiden.
Akan tetapi, saat ini banyak politikus, pejabat, ketua partai, dan orang dekat presiden yang mengembuskan isu perpanjangan jabatan atau penundaan pemilu.
Jika ini berhasil, pada periode berikutnya akan ada lagi pergerakan massa yang masif, menuntut perubahan kembali ke dua kali periode jabatan presiden dan wakil presiden. Kapan kita selesai bertikai?
Jadilah pejabat negarawan, berbudi bawa leksana untuk suri teladan, dicatat sejarah dan dikenang kebaikannya sepanjang masa. Sepuluh tahun menjabat, masih kurang?
Sri HandokoTugurejo Semarang