Sengkarut minyak goreng juga mengancam petani. Apabila harga kelapa sawit merosot tajam, petaka buat mereka. Ketika dulu harga rendah, petani-pekebun hidup seadanya. Aktivitas perawatan kebun terpaksa dikurangi.
Oleh
Sumarjono Saragih
·2 menit baca
Pasokan minyak goreng kembali memenuhi pasar meski harga masih tinggi. Perlu penanganan menyeluruh agar harga minyak goreng yang bak gempa tidak menjadi tsunami.
Niat pemerintah membantu ”sakit” rakyat, tetapi salah resep. Seperti ungkapan, ”Kepala gatal, tangan yang digaruk”. Maka, sakit pun kian parah. Rakyat antre minyak.
Semua orang ikut berkomentar, bahkan bermain. Terjadi saling tuding. Minyak goreng malah hilang.
Pasokan minyak goreng tak akan kurang atau hilang jika resepnya benar karena pasokan bahan baku dan kapasitas produksi lebih dari cukup. Banyak data digitalnya.
Yang pasti, gempa sudah banyak memakan korban. Pelaku UMKM kuliner di Palembang sudah mengeluh. Dia tidak keberatan membeli dengan harga pasar, yang penting pasokan tersedia. Usahanya sudah terganggu.
Diberitakan pula, ada pabrik minyak goreng yang berhenti beroperasi. Buruh-pekerja bakal menjadi korban.
Sengkarut minyak goreng juga mengancam petani. Apabila harga kelapa sawit merosot tajam, petaka buat mereka. Ketika dulu harga rendah, petani-pekebun hidup seadanya. Aktivitas perawatan kebun terpaksa dikurangi. Ketika harga jual tak lagi mencukupi, buruh kehilangan pekerjaan.
Gempa minyak goreng berpotensi menjadi tsunami, menyapu siapa saja di dekatnya, mulai dari pelaku UMKM hingga 16 juta buruh dan 2 juta petani sawit.
Situasi itu bisa berulang jika pemerintah tidak bertindak cepat dan menyeluruh. Kaji ulang semua kejadian, buat kebijakan yang tepat. Pemerintah jangan kalah.
Sumarjono SaragihPembaca Kompas sejak 1980-an; Chairman-Founder WISPO.ID Gerakan Kerja Layak di Kelapa Sawit, Sumsel
Mengecoh
Surat Mustakim (Kompas, 14/2/2022) berisi kritik dan saran yang baik serta ditanggapi dengan baik pula oleh Redaksi Kompas.
”Ibu Kota Negara Baru” memang multitafsir, bisa ”IK Negara Baru”, padahal maksudnya ”IKN Baru”. Itulah ketaksaan struktural, yang sebaiknya dihindari.
Namun, khusus hal ini tak perlu ada kekhawatiran yang berlebih karena pemindahan ibu kota sedang menjadi pembicaraan di media. Pembaca tahu maksudnya.
Saya setuju dengan Mustakim bahwa judul ”Perpindahan IKN Disepakati dalam 43 Hari” cenderung mengecoh. Barangkali memang disengaja begitu agar pembaca tersentak perhatiannya.
Dua hari sebelumnya, Bre Redana dalam ”Udar Rasa” juga mengutip judul yang salah tata bahasanya, tetapi disengaja oleh penulisnya, yakni ”Who’s Your City?”.
Di edisi yang sama, JC Tukiman Taruna ”mengajak” kita mengikuti filsafat John Dewey. Itu baik-baik saja asal tidak kebablasan mengikuti Dewey yang mengagungkan pragmatisme.