Sebaiknya ada manfaat lain dari sertifikat guru penggerak, seperti untuk sertifikasi guru. Kasihan guru yang mengikutinya jika tidak terkait dengan jenjang karier. Soal belajar, kita belajar dari semua pengalaman.
Oleh
RIDUAN SITUMORANG
·3 menit baca
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Guru SD Negeri Pandu Cerdas Aguste Bangsuil (55, kanan) bersama dua warga permukiman relokasi korban banjir Manado, Maria Tangel (44) dan Siti Aisyah Yusuf (33) merapikan buku bahan ajar di SDN Pandu Cerdas, Manado, Sulawesi Utara, Rabu (24/7/2019).
Saya ikut program Guru Penggerak atas kesadaran sendiri. Namun, saya galau juga, mengingat program serupa dari pemerintah hampir tak ada manfaatnya dalam jenjang karier.
Kalaupun ada, sebatas sertifikat. Memang, ikut program Guru Penggerak akan mendapat pengalaman baru. Namun, kalau hanya pengalaman baru dan sertifikat, kegiatan serupa pada instansi swasta jauh lebih banyak. Tiga hari mendapat sertifikat 32-40 jam pembelajaran.
Program Guru Penggerak 9 bulan diganjar 306 jam pembelajaran. Tugas-tugas sangat banyak, padahal manfaat untuk jenjang karier nyaris tidak ada, apalagi materi. Dalam peraturan baru akan menjadi prioritas kepala sekolah, tetapi tak semua guru ingin jadi kepala sekolah.
Pengalaman sebelumnya, yang lolos calon kepala sekolah tetap tak diberdayakan, kecuali ada ”orang dalam”. Nasib sertifikat guru penggerak lebih kurang akan sama dengan sertifikat calon kepala sekolah.
Sebaiknya ada manfaat lain dari sertifikat guru penggerak, seperti untuk sertifikasi guru. Kasihan guru yang mengikutinya jika tidak terkait dengan jenjang karier. Soal belajar, kita belajar dari semua pengalaman.
Lebih kasihan lagi guru swasta dan non-PNS. Mereka lelah belajar selama 9 bulan dan hanya diganjar sertifikat. Padahal, untuk non-PNS, sertifikat itu tidak berguna untuk angka kredit. Masih sebatas pajangan.
Riduan SitumorangGuru Bahasa Indonesia SMAN 1 Doloksanggul, Humbang Hasundutan
Istana di IKN
Desain Istana Negara berwujud burung Garuda karya seniman Nyoman Nuarta yang memenangkan sayembara desain Istana Negara di Ibu Kota Negara (IKN) yang baru di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
Saya mengagumi rancang bangun istana di Ibu Kota Negara Nusantara, buah kreasi pematung Nyoman Nuarta. Berkarakter dan gagah, dengan nuansa burung garuda di latar belakang gedung.
Tanpa bermaksud mengurangi rasa hormat kepada kreatornya, saya hanya ingin usul. Bagaimana kalau sosok sayap garuda yang terasa menyangga gedung istana dikreasi agar lebih terasa dinamis-kinetis?
Hemat saya, sayap garuda perlu lebih memberi kesan sebagai sayap perkasa yang sedang mekar terbang. Pada tampilan rancang bangun, sayap kurang lebar dan agak tumpul. Saya usul agar rancangan sayap lebih dimekarkan dan runcing, sebagaimana layaknya tampilan garuda sebagai simbol negara.
Berharap saja usulan ini bisa lebih memberi kesan istana negara yang istimewa, menambah bangga anak bangsa.
Saya juga menyampaikan usulan lewat WA kepada staf Saudara Nyoman Nuarta.
Salam apresiasi untuk kreasi agung ini.
Handrawan Nadesul Metro Alam I, Pondok Indah, Jakarta 12310
Digitalisasi E-KTP
Kompas/Hendra A Setyawan
ILUSTRASI: Petugas mengujicoba penggunaan mesin pembaca chip e-KTP (card reader)
Dalam berita salah satu televisi swasta, Kementerian Dalam Negeri berencana mendigitalisasi e-KTP. Masyarakat tidak lagi perlu memfotokopi e-KTP yang dimiliki.
Memang baik maksud tersebut, agar kertas fotokopi e-KTP tidak berceceran atau dibuang sembarangan. Apalagi, dalam e-KTP tercantum data pribadi, seperti nama, alamat, golongan darah, foto pribadi, dan status perkawinan.
Namun, dengan digitalisasi e-KTP berarti seluruh masyarakat harus memiliki perangkat ponsel bertipe smartphone agar dapat mengakses e-KTP saat diperlukan. Padahal, harga ponsel pintar minimal Rp 700.000. Berapa jumlah penduduk yang mampu memiliki ponsel pintar?
Lalu, bagaimana nasib masyarakat tradisional yang tidak menggunakan peralatan modern, misal urang Kanekes?
Belum lagi saat mengaksesnya. Dari pengalaman ibu saya yang sudah lansia saat berobat ke rumah sakit, perlu bantuan untuk mendaftar secara daring. Saat itu semua petugas beralasan repot dan ibu terpaksa minta tolong ke orang lain meski sudah memiliki ponsel pintar.
Masalah lain adalah soal akses internet. Ini tentu memerlukan biaya tambahan, padahal tidak semua warga sering menggunakan internet.
Belum lagi masalah keamanan data digital. Karena itu, rencana digitalisasi e-KTP sebaiknya dikaji ulang.
Boyke NainggolanPerumnas Klender, Jakarta Timur 13460