Berita Kompas tentang ”Dinanti, Gerak Cepat Bapanas” (21/2/2022) memberi sinyal bahwa Badan Pangan Nasional atau Bapanas harus segera merealisasikan Perpres 66/2021.
Meski demikian, Bapanas yang sejatinya adalah ”inkarnasi” dari Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian punya beberapa catatan yang harus dibenahi.
Salah satunya adalah jenis pangan yang menjadi kewenangan dan potensi tumpang tindih antarkelembagaan. Di antaranya dengan Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian. Tugasnya sama-sama mengawasi keamanan pangan. Terutama pangan asal hewan, seperti daging, susu, dan telur.
Mengingat urusan pangan merupakan urusan wajib pemerintah daerah, tidak salah jika urusan Kesmavet yang selama ini di bawah Kementan sebaiknya juga dialihkan di bawah kewenangan Bapanas.
Apalagi, urusan Kesmavet masih menjadi pilihan—boleh dilakukan, boleh tidak—pemerintah daerah. Akibatnya, peranan Kesmavet pun tidak menjadi optimal. Padahal, menurut Peraturan Pemerintah Nomor 95/2012, Kesmavet bertanggung jawab mengurus segala hal terkait dengan hewan dan produk hewan, yang secara langsung atau tidak langsung memengaruhi kesehatan manusia.
Drh Iwan Berri Prima Medik Veteriner Ahli Muda, Jl Nusantara, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau
Generasi Scopus
infografik scopus
Membaca Kompas (Minggu, 13/2/2022) yang menyebut sejumlah mahasiswa S-1 mencetak karya yang mampu menembus jurnal dalam hingga luar negeri, rasanya sangat membanggakan.
Sudah menjadi rahasia umum, khususnya bagi para pengajar di perguruan tinggi, jurnal Scopus adalah jurnal yang sangat bergengsi. Scopus adalah layanan indeksasi dan penyedia basis data jurnal terbesar saat ini.
Layanan Scopus berada di bawah naungan Elsevier, sebuah organisasi atau perusahaan penerbit publikasi ilmiah internasional yang kini berbasis di Amsterdam, Belanda. Berdiri sejak 1880.
Jurnal Indonesia yang telah terindeks Scopus sering dianggap sebagai jurnal berkualitas tinggi dan memiliki reputasi internasional.
Scopus membagi peringkat jurnalnya dari peringkat tertinggi ke terendah, yaitu Q1, Q2, Q3, dan Q4. Sangat tepat jika pemula yang belum pernah submit ke jurnal Scopus membidik Scopus Q4.
Nadia Novianti (23), mahasiswa S-1 Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI), mampu menembus Journal of Small Businness & Entrepreneurship yang terhitung tinggi atau termasuk Scopus Q2.
Ia menerima kabar mengenai tulisan tersebut, diterima pada Januari 2022, yang diperkirakan terbit pada kuartal kedua tahun 2022 ini.
Journal Scopus banyak diimpikan para pengajar perguruan tinggi (termasuk yang bergelar S-2, S-3), tetapi belum tentu mereka dapat menembusnya. Apalagi yang berkualifikasi tinggi, seperti Q1 dan Q2. Oleh karena itu, salut kepada mahasiswa sekelas Nadia yang sangat cerdas dan mampu menembus Q2.
Saya saja, sebagai alumnus S-1 Fakultas Kehutanan IPB tahun 1981, yang sudah malang melintang puluhan tahun sebagai penulis di media massa, sejak mahasiswa hingga saat ini, baru dapat tembus dan dimuat artikel opini saya di harian Kompas setelah usia di atas 60 tahun. Itu saja sudah senang dan bangga luar biasa, apalagi Nadia.
Pujian yang sama untuk Maharani Bening Khatulistiwa (20), mahasiswi S-1 Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Fikom Unpad), dengan prestasi serupa Nadia.
Generasi milenial sekelas Nadia dan Maharani ini hendaknya dapat ditiru oleh generasi seusianya guna membuktikan bahwa mereka tidak hanya pintar memainkan gawai di media sosial, tetapi juga mempunyai kualitas sumber daya manusia yang mampu lebih unggul dari generasi pendahulunya.
Pramono Dwi SusestyoPensiunan KLHK, Vila Bogor Indah, Ciparigi, Bogor