Pelaksanaan gelembung pada kompetisi NBA itu berjalan sangat sukses, kasus Covid-19 nol pada ribuan individu dalam gelembung. Padahal, pada saat yang sama, pandemi Covid-19 dalam tahap mengkhawatirkan.
Suksesnya gelembung pada kompetisi NBA saat itu tidak terlepas dari aturan ketat dan biaya mahal, yang rasanya akan sangat sulit diterapkan di negara kita.
Sebelum masuk gelembung, seluruh pemain, pelatih, ofisial, pengamat, jurnalis, dan staf yang terlibat dalam kompetisi dikarantina secara individu selama 14 hari dan menjalani tes PCR setiap hari. Yang hasilnya negatif 14 hari berturut-turut boleh masuk kompleks gelembung. Yang positif langsung dikeluarkan dari karantina.
Begitu masuk ke dalam kompleks, semua orang tanpa kecuali tidak diperkenankan keluar dari gelembung kompleks Disney World dan dilarang berinteraksi dengan siapa pun di luar gelembung.
Seluruh individu dalam gelembung wajib tes PCR setiap hari. Hasilnya, tidak seorang pun positif Covid-19. Hal itu berlangsung selama musim kompetisi, sekitar 3 bulan.
Di dalam gelembung, pertandingan berlangsung tanpa penonton, tanpa kehadiran anggota keluarga. Inilah arti gelembung yang sebenarnya, di mana semua individu di dalam gelembung dalam keadaan steril.
Apakah kita sanggup menerapkan semua itu sehingga berani memakai istilah ”gelembung”?
Eddy WiyanaBumi Serpong Damai
Kurikulum yang Memerdekakan

Saat saya bersekolah tentunya mengikuti kurikulum yang diterapkan saat itu. Kurikulum 1975 di SD dan SMP, Kurikulum 1984 di SMA.
Ketika anak saya bersekolah, kurikulum yang digunakan adalah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006, dan Kurikulum 2013 (K-13).
Saya sebagai siswa dan orangtua mengikuti saja setiap kurikulum itu. Walaupun dalam pembelajaran ada keluh kesah, proses belajar mengajar terus berjalan.
Kurikulum terus diperbarui dan diperbaiki. Jika pada kurikulum yang lebih baru ada kekurangan, wajar saja karena disesuaikan dengan tuntutan zaman yang terus berubah.
Kemendikbudristek mulai tahun ajaran 2022/2023 membebaskan sekolah memilih Kurikulum 2013, Kurikulum Darurat (masa pandemi), atau Kurikulum Merdeka. Tentang hal ini sudah ditulis Anindito Aditomo dan Anita Lie (Kompas, 15/2/2022).
Perumusan kurikulum semestinya memperhitungkan budaya masyarakat. Pengalaman berkuda anak di Sumba tidak sama dengan pengalaman bersawah anak Garut, atau berburu pada anak suku Anak Dalam di Jambi. Materi esensial pelajaran idealnya disesuaikan dengan pergulatan setempat.
Kemajuan teknologi informatika menjadi keniscayaan bagi pendidikan. Namun, ada sekolah yang belum berlistrik, apalagi jaringan Wi-Fi. Ada juga anak-anak yang harus melintasi sungai ke sekolah. Semoga Kurikulum Merdeka juga mempertimbangkan pelbagai hambatan lokal.
Kurikulum Merdeka akan memerdekakan dengan mengakomodasi keberagaman latar belakang anak-anak Indonesia. Selamat memerdekakan, Pak Nadiem. Merdeka!
P Citra TriwamwotoSrengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan 12640
Etos Intelektual

-
Tulisan St Sularto, ”Sartono Kartodirdjo, Sang Asketis Intelektual” di Opini Kompas (Jumat, 18/2/2022) memperluas pengetahuan kita akan kualitas kecendekiawanan Prof Sartono Kartodirdjo.
Prof Sartono dikenal sebagai ilmuwan sejarah kelas wahid dengan salah satu karya monumentalnya Pemberontakan Petani Banten 1888.
Dalam artikel dijelaskan, Prof Sartono yang memperkenalkan istilah askese intelektual. Sebuah konsep kearifan intelektual yang menjadi etos untuk terus mencari, mengekspresikan, dan menghayati keilmuan dengan sikap yang tidak larut pada kepentingan yang bersifat serba kebendaan dan kekuasaan.
Yang menarik, menurut Prof Sartono, para pendiri bangsa kita adalah sosok-sosok yang asketis intelektual.
Artikel Opini Kompas itu menguatkan keyakinan awam saya (yang bukan sejarawan) bahwa pemahaman sejarah negeri yang ditulis obyektif atas dasar kebenaran ilmiah, seperti dicontohkan Prof Sartono, sangat penting dan perlu bagi generasi muda. Ini akan menumbuhkan dan merawat inspirasi dalam kontribusi keilmuan mereka bagi masa depan negeri.
Kontribusi Prof Sartono yang juga signifikan adalah perlunya pendekatan interdisipliner dan multidisipliner dalam kajian sejarah Indonesia, yang sekarang banyak ditekankan dalam kajian ilmiah tiap disiplin. Di bidang yang dulu saya tekuni, Ilmu Komunikasi, mahasiswa Strata 2 dan Strata 3 diarahkan menghasilkan karya akhir kajian ilmiah yang bersifat interdisipliner dan multidisipliner.
Etos intelektual yang dihayati Prof Sartono (dan tentu cendekiawan kita yang lain) ini perlu diperluas dan konsisten disemaikan guna kian mengokohkan etos kebangsaan, kecintaan, dan komitmen untuk selalu berkarya di berbagai bidang demi kemaslahatan bangsa.
Eduard LukmanJl Warga RT 14 RW 03, Pejaten Barat, Jakarta 12510
Obat Hemofilia
Saya ibu dari anak penyandang hemofilia A. Ia didiagnosis sejak usia 9 bulan (2009). Pengobatannya dengan konsentrat FVIII saat terjadi pendarahan.
Hal yang paling berat adalah ketika pendarahan terjadi di dalam tubuh. Anak saya bisa menjerit-jerit karena sendinya bengkak, tidak bisa digerakkan. Pendarahan bisa muncul tiba-tiba setelah bangun tidur dan saat melakukan aktivitas biasa.
Suatu hari, saya mendapat info obat baru untuk hemofilia A. Obat ini dapat diberikan secara profilaksis, sebagai pencegahan. Ketika mendapat obat ini, anak saya dapat melakukan aktivitas sehari-hari dengan normal.
Sayangnya, obat ini tidak tersedia dalam tanggungan BPJS dan secara ekonomi kami tidak mampu membiayainya. Saya berharap pemerintah memungkinkan pasien hemofilia mengakses obat baru tersebut menggunakan BPJS Kesehatan.
Anisah Tugu, Cimanggis, Depok