Ananda Buddhisuharto, Mendidik Penyapu Jalan
Semenjak tahun 2014, atau delapan tahun terakhir, dia intens membangun karakter ratusan penyapu jalan, komunitas yang bisa jadi luput dari perhatian khalayak selama ini.
Di saat warga pada umumnya masih terlelap tidur, Ananda Buddhisuharto (55) sudah blusukan di jalan raya. Pria yang berlatar belakang guru ini ingin memastikan ruas jalan dan trotoar di jantung Kota Bandung resik dan nyaman bagi warga untuk beraktivitas.
Masa liburan akhir pekan dan hari-hari raya nasional, termasuk Idul Fitri, adalah waktu yang paling menantang bagi Ananda. Maklum, inilah hari-hari di mana Kota Bandung dijubeli wisatawan dari pelbagai wilayah untuk berlibur. Salah satu faktor utama yang membuat orang nyaman berwisata di kota ”Paris van Java” ini adalah karena suasana asri dan bersihnya area yang dikunjungi, termasuk pusat belanja dan kuliner.
”Situasi nyaman itu tentu tidak lepas dari andil para penyapu jalan yang sigap memungut dan menyapu sampah yang ditimbulkan oleh aktivitas orang-orang pada umumnya. Mentalitas penyapu jalan ini perlu dikawal,” tutur Ananda saat ditemui di Bandung, Jawa Barat, pekan lalu.
Baca Juga:
> Deni Rachman, Jejak Literasi Bandung
> Pesona "Art Deco" Teman Kota Bandung Melawan Krisis
Melalui Sekolah Hidup Indonesia (SHI) yang didirikannya sejak 12 tahun silam, bakat dan potensi diri Ananda sebagai pendidik terus dikembangkan. Ia memang tak lagi mengajar di depan kelas seperti yang rutinitasnya belasan tahun silam saat menjadi guru di sejumlah SMP-SMA di Bandung. Semenjak tahun 2014, atau delapan tahun terakhir, dia intens membangun karakter ratusan penyapu jalan, komunitas yang bisa jadi luput dari perhatian khalayak selama ini.
Kalangan penyapu jalan dibekalinya dengan materi seputar pembangunan karakter, mulai dari aspek sikap kerja, disiplin waktu, perilaku saat bertugas, hingga cara berinteraksi secara sosial. Tak ketinggalan cara berpakaian, berpenampilan, dan menyapa warga.
Ada kalanya para penyapu jalan itu mendapatkan pembekalan di markas SHI yang berlokasi di kediamannya, Jalan Batik Kumeli, Sukaluyu Bandung. Namun, lebih sering dilakukan langsung di lokasi tugas para penyapu jalan yang tersebar di berbagai kawasan, termasuk alun-alun, ”titik nol kilometer” Kota Bandung, dan titik-titik lainnya. Jalan, trotoar, taman, dan ruang publik lainnya dioptimalkan sebagai wahana. ”Agar para penyapu jalan bisa langsung mempraktikkannya,” ujar Ananda.
Cobalah melakoni pekerjaan ini dengan hati yang tulus karena bisa jadi ini bagian dari ibadah untuk menebar maslahat bagi orang lain.
Setiap kali menjumpai komunitas binaannya, Ananda selalu menekankan sikap pantang menyerah, mengeluh, apalagi mengiba. ”Tak satu pun orang bercita-cita jadi penyapu jalan. Tapi, cobalah melakoni pekerjaan ini dengan hati yang tulus karena bisa jadi ini bagian dari ibadah untuk menebar maslahat bagi orang lain,” ucap Ananda yang sontak diamini para anggota komunitas penyapu jalan yang merubungnya.
Kiat mendidik anak dalam keluarga pun ikut disisipkan. Ananda lahir dan tumbuh kembang di Semarang, Jawa Tengah, dari keluarga sederhana. Ibunya seorang penjual jamu. Untuk memenuhi kebutuhan sekolah, termasuk sepatu, dia harus bekerja sebagai penjaja koran dan bahkan sempat jadi sopir, Itulah sebabnya, dia menekankan pentingnya menghargai proses dan kerja keras. Terhadap putra-putri penyapu jalan yang berprestasi akademik dan ingin melanjutkan sekolah hingga perguruan tinggi, Ananda mengupayakan beasiswa.
Menceritakan pencapaian anak-anak dari sebuah upaya itu lebih bermartabat ketimbang mengiba dan meminta bantuan secara langsung.
”Akan saya carikan donatur. Menceritakan pencapaian anak-anak dari sebuah upaya itu lebih bermartabat ketimbang mengiba dan meminta bantuan secara langsung. Tangan di atas lebih mulia dari pada tangan di bawah,” tutur Ananda yang selama ini bergaul tanpa kenal sekat dan strata sosial.
Baca Juga:
> Jejak Mode di Kota Penuh Warna dan Gaya
> Uji Coba Pembukaan Pusat Perbelanjaan Paris Van Java Kota Bandung
Dia pun mendorong kaum penyapu jalan di Bandung mensyukuri upah mereka yang sudah di atas rata-rata upah minimum kabupaten/kota (UMK). Saat ini, upah mereka Rp 3,9 juta, lebih tinggi dari UMK Kota Bandung yang Rp 3,7 juta. ”Mensyukuri nikmat dengan kerja yang lebih baik niscaya berkah,” katanya.
Pada momentum hari raya, Ananda menggalang donasi dari berbagai kalangan untuk menyantuni penyapu jalan.
Contoh nyata
Dukungan dari istri, Sandra, yang juga seorang guru, serta putra-putrinya, Fiansa dan Karina (keduanyalulus memuaskan dari Institut Teknologi Bandung), selaras dengan misinya menebar kebaikan. Dia tak hanya bisa mengajari orang lain membina keluarga, tetapi juga ikut menjadi contoh konkret yang layak ditiru.
Kepiawaian ”bercuap-cuap” sebagai MC (pembawa acara) di aneka forum berskala nasional yang sepadan dengan kecakapan pedagogik pada dirinya pun menuai apresiasi. Sebagai praktisi, Ananda dipercaya oleh beberapa perguruan tinggi untuk mengajar bidang komunikasi dan kepribadian, seperti Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran dan Sekolah Bisnis Manajemen Institut Teknologi Bandung. Lembaga pendidikan militer pun memberinya kesempatan menjadi instruktur pembinaan mental karakter, termasuk membagi pengalaman public speaking.
Ananda boleh dibilang istimewa. Tanpa menyandang gelar sarjana tapi bisa mengajar di perguruan tinggi. Tahun 1986, setelah tamat dari SMA Kolese LoyolaSemarang, dia sebetulnya diterima di Jurusan Komunikasi Universitas Diponegoro. Namun, kala itu, dia lebih memilih merantau ke Bandung. Kiprahnya melintas batas....
Ananda Buddhisuharto
Lahir: Semarang, 11 Maret 1967
Istri: Sandra (53)
Anak:
- Fiansa (25)
- Karina (22)
Pendidikan:
- SMA Kolese LoyolaSemarang (1985)
Aktivitas:
- Mengelola Sekolah Hidup Indonesia (2010-sekarang)
- Guru SMP - SMA St Aloysius Bandung (1988-1994)
- Guru SMA Trinitas Bandung (1989-1996)
- Guru SMA St Angela Bandung (1992-1999).
- Dosen Praktisi di Program D3-Fikom Unpad (2002-2007)
- Dosen Tamu di SBM-ITB (2006-2009)
- Mentor di MBA-CCE ITB (2011-2013)