Yulianto Menebar Benih Minat Baca di Grobogan
Yulianto (31) tetap setia menebarkan benih-benih minat baca di kalangan masyarakat Grobogan, Jateng. Cobaan demi cobaan yang datang membuat dirinya tidak kapok berjuang.
Tiga anak balita duduk meriung di sebuah rumah yang salah satu ruangannya disulap menjadi perpustakaan di Desa Sumberjosari, Kecamatan Karangrayung, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, Sabtu (14/5/2022) siang. Mata mereka terpaku pada buku pop-up (timbul) yang sedang dipegang Yulianto (31), salah satu penghuni rumah itu. Dengan penuh penghayatan, Yulianto membaca larik demi larik tulisan di dalam buku tersebut.
Buku yang sedang dibaca Yulianto menceritakan tentang binatang-binatang laut. Di sela-sela membacakan buku, Yulianto menyisipkan pertanyaan terkait nama hewan atau warna hewan yang timbul dari dalam buku. Pertanyaan-pertanyaan itu dijawab dengan antusias oleh anak-anak balita itu.
Setelah selesai membaca buku tentang binatang laut, Yulianto membacakan buku kedua yang dipilih anak-anak balita itu. Buku kedua bercerita tentang kepompong yang dengan sabar berproses menjadi kupu-kupu yang cantik. Selesai mendengarkan Yulianto membaca dua buku, anak-anak balita itu langsung bergerak mengambil mainan yang mereka suka.
”Sudah menjadi kebiasaan di sini, anak-anak yang ingin bermain harus membaca atau mendengarkan saya membaca buku terlebih dahulu. Hal ini saya lakukan agar anak-anak yang datang ke sini terbiasa membaca buku,” kata Yulianto.
Bukan tanpa alasan, Yulianto sedang menjalankan misi melunturkan anggapan bahwa minat baca orang Indonesia rendah. Pria yang mendapatkan gelar sarjana ilmu perpustakaan dari Universitas Terbuka di Grobogan itu meyakini minat baca orang Indonesia tidak rendah. Hanya saja, akses sebagian orang terhadap buku masih sulit.
”Orang-orang sini kalau mau baca buku harus ke perpustakaan daerah. Untuk ke sana, perlu waktu sekitar 45 menit. Mau beli buku juga sulit, harus ke Semarang atau ke Solo yang biaya perjalanannya bisa jadi lebih mahal dari harga bukunya. Apalagi, di masa seperti ini, orang cenderung memilih menggunakan uang untuk makan dan bertahan hidup daripada untuk membeli buku,” ujarnya.
Keinginan memberikan kemudahan akses orang-orang terhadap buku makin menggebu. Pada tahun 2015, Yulianto yang telah memiliki koleksi sekitar 100 buku itu pelan-pelan menyulap salah satu ruangan di rumahnya menjadi rumah baca. Rumah baca itu diberi nama Rumah Baca Bintang.
Awalnya, keinginan Yulianto mendirikan rumah baca di rumahnya yang berukuran 6 meter x 12 meter itu ditentang kedua orangtuanya, Musmin dan Soni Hindiarti. Mereka takut, kegiatan di rumah baca membuat aktivitas keluarga itu terhambat. Lambat laun, keduanya luluh. Mereka mendukung penuh niat baik Yulianto. Bahkan, mereka merelakan ruangan yang tadinya digunakan sebagai kamar Yulianto dijebol untuk memperluas rumah baca.
Pada masa awal berdiri, Rumah Baca Bintang berukuran 2 meter x 3 meter. Lantainya masih terbuat dari tanah dan dindingnya terbuat dari kayu yang telah bolong di sana-sini. Oleh karena belum mampu membeli rak buku, Yulianto menata buku-buku koleksinya di kotak kayu, bekas wadah telur. Kala itu kotak telur itu dibeli Yulianto dari pedagang telur di pasar dengan harga Rp 2.000 per buah.
Kini, rumah baca itu berukuran sekitar 6 meter x 3 meter. Lantainya sudah dicor dan disemen. Dindingnya yang tadinya bolong sudah diganti dengan yang tidak bolong. Koleksi buku di rumah baca itu juga bertambah, sedikitnya menjadi 2.500 buah. Buku-buku aneka jenis itu dibeli dengan uang pribadi Yulianto dan sebagian lagi didapatnya dari para doantur.
Sekitar sebulan lalu, Yulianto membeli dua rak buku. Namun, rak-rak baru itu belum cukup untuk menampung buku-buku Yulianto sehingga sebagian rak buku dari bekas wadah telur masih ia gunakan.
Rumah baca milik Yulianto itu setiap hari dikunjungi anak-anak, terutama yang tinggal di sekitarnya. Sesekali, pelajar dari sejumlah taman kanak-kanak juga diajak guru mereka berkunjung ke rumah baca itu untuk membaca atau mendengarkan Yulianto membaca buku. Dari kegiatan-kegiatan itu, Yulianto tidak pernah memungut biaya.
Seiring berjalannya waktu, Yulianto yang pernah bekerja sebagai pustakawan di sebuah sekolah itu memutuskan berhenti. Ia memilih fokus mengabdikan diri untuk dunia literasi dan fokus mempelajari kemampuan baru, yakni mendongeng. Keputusannya itu awalnya ditentang orang-orang di sekitarnya. Namun, Yulianto tidak gentar.
”Orangtua kala itu sangat menentang karena meninggalkan pekerjaan sebagai pustakawan yang mendapatkan gaji setiap bulan. Sementara pekerjaan sebagai pendongeng ini tidak selalu ada. Kalau ada permintaan mendongeng, baru mendapatkan bayaran,” ucap pria berkacamata itu.
Setelah mahir mendongeng, Yulianto kerap mendapatkan tawaran mendongeng di berbagai tempat. Honor mendongeng itu kemudian dipakai untuk mendirikan empat rumah baca lainnya di kota kelahirannya itu. Empat rumah baca itu berada di Kecamatan Karangrayung, Kecamatan Tawangharjo, dan Kecamatan Grobogan. Kala mendirikan empat rumah bacanya itu, alasan Yulianto sama seperti saat mendirikan Rumah Baca Bintang, yaitu untuk mendekatkan akses masyarakat terhadap buku.
Jemput bola
Tak hanya menunggu pembaca datang ke rumah baca yang didirikannya, Yulianto juga melakukan upaya jemput bola. Dalam kegiatan yang disebut sebagai melapak baca itu, Yulianto mendatangi daerah-daerah yang berada di pelosok Grobogan dengan membawa puluhan buku dan boneka sebagai alat peraga untuk mendongeng. Boneka itu antara lain, Nana, Kam-kam, Mona, Mumun, dan Chelsea.
Untuk menuju daerah-daerah itu, Yulianto harus menempuh perjalanan hingga tiga jam dengan sepeda motornya. Saat pergi melapak buku, Yulianto kerap melintasi hutan-hutan. Di sepanjang hutan, Yulianto kerap menjumpai hewan-hewan buas, salah satunya ular. Medan yang ia lalui juga tak selalu mulus, tetapi berbukit, berbatu, dan berlumpur.
”Saya pernah terpaksa menerjang banjir saat kembali dari melapak baca. Waktu itu, buku-buku yang saya bawa di dalam tas ransel saya basah semua. Padahal, buku-buku itu sudah saya bungkus plastik,” imbuhnya.
Baca juga: Robianto Sais Pedati Pustaka
Yulianto juga pernah kecelakaan saat dalam perjalanan menuju tempat melapak baca. Akibat kecelakaan itu, bungsu dari dua bersaudara itu menderita patah tulang pada tempurung lutut kanannya dan retak pada tulang bahunya. Luka-luka itu membuat Yulianto kesulitan beraktivitas selama lebih kurang 2,5 bulan.
Meski menghadapi berbagai kesulitan, Yulianto mengaku tidak pernah merasa kapok. Baginya, kesulitan yang ia hadapi selama perjalanan melapak terbayar setelah buku-buku yang ia bawa dibaca anak-anak. Tak jarang, anak-anak yang ia datangi meminta agar Yulianto kembali berkunjung dengan membawa buku-buku lain. Akhirnya, kegiatan melapak baca itu rutin dilakukan Yulianto setiap sepekan sekali.
Serupa dengan perjalanan melapak buku, perjalanan Yulianto dalam menyebarkan benih literasi juga tidak mudah. Jalannya sempat terhambat pada tahun 2019. Kala itu, Yulianto yang rutin mendonorkan darahnya mendapatkan informasi dari Palang Merah Indonesia bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan darahnya. Yulianto kemudian disarankan menjalani pemeriksaan.
Orang-orang sini kalau mau baca buku harus ke perpustakaan daerah. Untuk ke sana, perlu waktu sekitar 45 menit. Mau beli buku juga sulit, harus ke Semarang atau ke Solo yang biaya perjalanannya bisa jadi lebih mahal dari harga bukunya. Apalagi, di masa seperti ini, orang cenderung memilih menggunakan uang untuk makan dan bertahan hidup daripada untuk membeli buku.
Bagi disambar petir di siang bolong, Yulianto kaget bukan kepalang kala mendapatkan vonis bahwa dirinya positif HIV. Hari-hari Yulianto setelah itu tak lagi sama. Ia yang biasanya periang menjadi pemurung. Dalam waktu sebulan, berat badannya turun sampai dengan 12 kilogram karena stres.
”Saat-saat itu adalah titik terendah dalam hidup saya. Mental saya down, saya depresi, demotivasi, sudah tidak bisa ngapa-ngapain. Bahkan, saya merasa kesulitan mengingat dan tidak tahu apakah saya masih bisa mendongeng atau tidak,” ungkapnya.
Dalam masa sulit, orang-orang datang dan memberikan penguatan kepada Yulianto. Ia bahkan disarankan untuk semakin mendalami dunia mendongeng. Perlahan-lahan, Yulianto bangkit. Keunikan Yulianto menyemai benih literasi sambil mendongeng semakin dilirik oleh sejumlah pihak. Tawaran mendongeng berdatangan, salah satunya dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
Sebelum tampil di acara Kementerian Kominfo, Yulianto mengaku hilang kepercayaan diri. Ia khawatir kalau tidak bisa tampil dengan baik. Kala itu, Yulianto sempat meminta waktu menyendiri dan tidur selama beberapa saat. Kekhawatiran Yulianto tidak terjadi, ia berhasil tampil dengan apik. Bahkan, pria yang bercita-cita sebagai guru bimbingan konseling itu diapresiasi oleh anak-anak yang menyimak dongengnya.
”Pulang dari Kementerian Kominfo, saya naik bus. Saat sedang menunggu bus di halte, ada segerombol anak yang datang kemudian menyalami saya. Terus, teman yang saat itu pulang bersama saya meyakinkan bahwa anak-anak itu terkesan dengan dongeng saya. Dari situ, kepercayaan diri saya semakin bertumbuh,” kata Yulianto.
Sepulang dari acara itu, Yulianto semakin banyak dilibatkan untuk menyebarkan literasi sambil mendongeng di berbagai daerah, seperti di Sukabumi dan Banten. Di daerah-daerah itu, Yulianto diajak menghibur dan memberikan pemulihan trauma untuk anak-anak korban bencana alam.
Sejak aktif dalam dunia kerelawanan, nama Yulianto semakin dikenal banyak orang. Seiring dengan momentum itu, permintaan mendongeng datang dari berbagai daerah di Jawa Timur, seperti Bangkalan dan Banyuwangi. Bahkan, ia pernah diajak berkolaborasi membuat pertunjukan dongeng oleh salah satu pendongeng cilik dari Tangerang.
Semakin banyaknya permintaan mendongeng membuat pundi-pundi rupiah yang dihasilkan Yulianto bertambah. Kendati demikian, uang-uang itu tidak digunakan Yulianto untuk membeli barang-barang untuk dirinya. Uang itu mayoritas digunakan untuk membeli buku, mainan, atau boneka baru untuk rumah-rumah baca miliknya.
”Kalau dipakai untuk membeli telepon seluler terkini, sepatu, atau pakaian, yang merasakan manfaatnya cuma saya. Tapi, kalau untuk membeli mainan, boneka, dan buku yang merasakan manfaatnya banyak orang,” katanya.
Yulianto mengaku kerap dicap gila oleh orang-orang yang ditemuinya karena lebih mementingkan rumah baca ketimbang keperluan pribadinya. Namun, ia tak pernah peduli. Ia bertekad akan mengabdikan diri pada dunia literasi sampai dirinya mati. Baginya, apa pun akan dilakukan agar orang-orang di sekitarnya tidak kesulitan membaca buku.
Yulianto
Lahir: Grobogan, 19 Juli 1990
Pendidikan:
- SD Karangrayung 4
- SMP dr Soetomo Karangrayung
- SMA Islam Karangrayung
- Universitas Terbuka Jurusan Ilmu Perpustakaan
Penghargaan: Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards bidang pendidikan tahun 2021 dari PT Astra International.