Meimura masih terkenang ketika ludruk menjadi media perjuangan di masa Cak Durasim. Tokoh penting masyarakat Jawa Timur ini selalu dikejar-kejar karena syair-syair yang ia ciptakan menyuarakan tentang perlawanan.
Oleh
PUTU FAJAR ARCANA
·5 menit baca
ARSIP PRIBADI
Meimura
Ludruk bagi Meimura (60) adalah seni menjalani hidup. Kesenian ini tak hanya memberinya kesempatan hidup dekat dengan rakyat, tetapi merasakan pahit perjuangan untuk menyuarakan kebenaran dan keadilan. Ketika pandemi Covid-19 merebak pada awal tahun 2020, ia turun ke pasar-pasar berbagi masker dan literasi tentang pagebluk.
Ada dua misi kemanusiaan yang dibawa Meimura ketika turun ke pasar-pasar di mana rakyat berkumpul setiap hari. Pertama-tama, sebagai orang panggung ia ingin rakyat memperoleh simpati dalam serba keterbatasan seperti yang dipersyaratkan oleh pemerintah. ”Pedagang yang punya belag dan bisa sewa kios, may ndak masalah beli masker. Tetapi pedagang yang gelar di jalan, mana mungkin mampu. Hidupnya susah,” kata Meimura dari Surabaya, Kamis (12/5/2022).
Dengan pakaian Rusmini dalam ludruk, Meimura menyambar masker jatah istrinya yang kebetulan bekerja sebagai perawat. Lalu dengan menggunakan megafon ia berteriak-teriak menyatakan simpatinya kepada rakyat yang hidup serba kesulitan. Sebagian besar pedagang, kata Meimura, mengenal tokoh Rusmini, yang selalu hadir dalam babak besutan (pembukaan) pada pertunjukan ludruk. ”Saya sengaja memerankan Rusmini di pasar-pasar karena rakyat merasa dekat dengannya,” turut Meimura.
Misi bagi-bagi masker ini dalam waktu singkat memancing simpati banyak kalangan, termasuk Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa. Ibu Gubernur serta pihak-pihak yang simpati kemudian mengirimkan masker berkotak-kotak kepada Meimura ”Rusmini”. Tokoh ini lalu menjajal pasar-pasar rakyat, seperti Pasar Keputran, Pasar Simo, Pasar Pakis, Pasar Patemon Kuburan, dan banyak pasar lainnya.
Pada setiap pasar, dalam balutan pakaian tokoh ludruk perempuan, Meimura selalu mengatakan terkadang hidup itu seperti ludruk. Ia seni yang dibutuhkan di masa susah, seperti saat-saat perjuangan kemerdekaan dahulu, tetapi disisihkan saat-saat merdeka atas nama pembangunan. ”Dan ini perjuangan keduanya. Saya protes karena rumah ludruk diratakan dengan tanah,” ujar seniman yang bergelut dengan ludruk sejak kelas tiga sekolah dasar ini.
ARSIP PRIBADI
Meimura
Tahun 2018, gedung THR Surabaya dirobohkan pemerintah dan berganti menjadi mal. Secara tidak langsung, kata Meimura, para seniman ludruk yang berumah di taman hiburan rakyat itu tergusur pula. ”Padahal, gedung ini satu-satunya yang jadi rumahnya ludruk tobong,” kata pendiri Teater Citra di Kampung Patemon Surabaya ini lugas.
Sejak penggusuran dari THR itu, Meimura merancang gerakan ludruk masuk kampung bersama para seniman Surabaya. Ia blusukan masuk kampung, tak jarang ngamen sambil mengetuk pintu-pintu rumah warga. Sepintas seni yang lahir dari rahim rakyat Jawa Timur itu hidup dalam kenistaan, menggelandang di jalanan. ”Tapi itu memang kodratnya ludruk mungkin. Saya tidak kapok kok,” katanya.
Semangat kerakyatan
Ludruk, menurut Meimura, lahir dari rahim rakyat dan menyuarakan hati nurani rakyat. Ludruk tobong Irama Budaya Sinar Nusantara, di mana Meimura menjadi sutradara dan penulis naskah, mementaskan lakon Ojo Keminggris sebagai lakon terakhir di THR. ”Ini kritik terhadap orang-orang yang pernah ke luar negeri, terus pulang jadi keinggris-inggrisan. Jadi sok kebarat-baratan,” tutur Meimura.
Keinggris-inggrisan, kata Meimura, menjadi simbol pada banyak pembangunan di Tanah Air yang berkiblat ke dunia Barat. Penghancuran THR dan kemudian mengubahnya menjadi mal, katanya, salah satu contoh nyata bagaimana kehidupan rakyat menjadi tergencet.
Meimura masih terkenang ketika ludruk menjadi media perjuangan di masa Cak Durasim. Tokoh penting masyarakat Jawa Timur ini selalu dikejar-kejar karena syair-syair yang ia ciptakan menyuarakan tentang perlawanan terhadap Jepang. ”Jadi ludruk itu medium perjuangan rakyat, tempat rakyat menyuarakan keadilan. Ini kan kesenian yang begitu berharga bagi kami di Jawa Timur,” ujar pendiri Sanggar Anak Merdeka Indonesia (Samin) ini.
Oh ya, soal kelompok Samin ini, dimulai dari inisiatif untuk melihat kondisi anak-anak di masa awal pandemi. Pada umumnya, kata Meimura, anak-anak tenggelam dengan gadget dunia, karena hampir semua pelajaran yang dilakukan di dalam jaringan (daring). ”Jadi mereka tak punya waktu bermain, bersosialisasi dengan teman-teman mereka,” katanya.
Meimura kemudian mengumpulkan anak-anak di sekitar Kampung Gunung Anyar, Rungkut, Surabaya, di mana kini ia tinggal. Sekitar 50 anak diajar mengubah potensi di sekitar kampungnya menjadi instrumen kesenian. Terciptalah wayang suket, wayang sederhana yang terbuat dari rangkaian rumput. Tokoh-tokoh dalam wayang suket, menurut Meimura, tidak perlu mengacu pada tokoh-tokoh dalam wayang kulit. ”Wayang suket itu wayang, tidak ikut pakem, tetapi menuntun anak-anak menggunakan imajinasinya. Ini kan yang hilang saat-saat awal pandemi itu,” kata Meimura, sembari buru-buru menambahkan, ia tetap menerapkan protokol kesehatan saat anak-anak berkumpul.
ARSIP PRIBADI
Meimura
Sejak lahir, Meimura sudah berhadapan dengan kesenian. Kakeknya, Sentono Munandir, adalah pendiri kelompok ludruk Krido Mulyo Budoyo di Kampung Patemon Surabaya. Saat menginjak kelas tiga sekolah dasar, Meimura sudah dipercaya memerankan tokoh Cakil dan Ketek dalam pementasan ludruk anak-anak. Ia juga Menguasai Tari Remo, yang biasanya ditarikan saat pembukaan pentas ludruk.
Sejak itu, hampir seluruh hidup Meimura diserahkan pada ludruk. Ia yakin seyakin-yakinnya bahwa ludruk akan kehidupan lahir dan batinnya. Saat menginjak remaja (SMP dan SMA), ia membentuk dan aktif di kelompok Ludruk Kusura (Perkumpulan Pemuda Surabaya). ”Di Kusura ini saya bisa hidup karena banyak pekerjaan dari Pemkot Surabaya,” katanya.
Boleh dikata pada dekade 1980-an menjadi tahun ”keemasan” kehidupan Meimura sebagai seniman. Selain bermain ludruk, ia juga membentuk kelompok lawak bernama Boneka (Bocah Nekat) bersama Koko Kusnindar, Theo Leo, dan Kusnadi. ”Grup lawak ini sampai ngisi acara di klub-klub malam. Lumayan buat hidup, ha-ha-ha,” kata Meimura berderai-derai. Ia mengenangkan masa-masa itu sebagai masa-masa gila berkesenian sehingga sekolahnya berantakan. ”Ndak apa-apa, sekolah saya ya di ludruk itu,” katanya kembali tertawa.
Dunia kesenian Meimura bertambah lengkap ketika ia juga terlibat dalam kelompok teater modern bernama Lektur (Lembaga Kesenian Tunas Remaja) Surabaya. Kelompok ini, katanya, boleh dibilang sebagai kelompok teater modern tertua di Jawa Timur. Keterlibatannya di Lektur kemudian membawanya bergaul dengan seniman-seniman dari Dewan Kesenian Jatim, Bengkel Muda Surabaya dan Aksera.
Meimura yakin bahwa berkesenian telah menjadi takdirnya sebagai anak manusia. Jika tidak, katanya, tidak mungkin ia dilahirkan dalam lingkungan berkesenian di Kampung Patemon Surabaya. Kakek dan ayahnya pendiri dan pegiat seni ludruk dan wayang orang. Oleh karena itu, di sela-sela hidupnya sebagai pedagang sayur, ia terus bergerak untuk memperjuangkan harkat kemanusiaan melalui kesenian, terutama ludruk.
Meimura
Lahir: Surabaya, 16 Mei 1962
Pekerjaan: Seniman Teater
Pendidikan: Perguruan Tinggi (tidak selesai)
Penghargaan:
- Pelestari Tradisi dan Kreator Seni Teater (2017) dari Gubernur Jatim
- Tokoh Daerah Bidang Seni dan Budaya (Jatim Award) 2018 dari PWI Jatim.