Robianto, Sais Pedati Pustaka
Robianto melakukannya dengan cara yang sedikit gila. Dia blusukan ke desa-desa dengan pedati berisi buku. Bermalam hingga satu minggu di sana untuk ”memaksa” warga desa membaca buku.
Gerakan literasi membuka dua pintu kebaikan buat Robianto. Satu pintu membuka kesempatan untuk menghapuskan stigma buruk Robianto di desanya. Satu pintu lagi membuka peluang lebar-lebarnya baginya untuk beramal. Robianto melakukannya dengan cara yang sedikit gila. Dia blusukan ke desa-desa dengan pedati berisi buku. Bermalam hingga satu minggu di sana untuk ”memaksa” warga desa membaca buku.
Rabu (11/5/2022) pagi ketika dihubungi lewat telepon, Robianto mengaku sedang sibuk. Rupanya setiap pagi ia mangkal dengan Pedati Pustaka-nya di depan gerbang sekolah dasar di Desa Bayalangu. Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Di sana, ia mencegat murid-murid yang baru datang ke sekolah dan membujuk mereka untuk membaca buku-buku yang ia bawa. Saat waktu istirahat tiba, ia kembali mengajak murid-murid membaca.
”Bisanya mangkal sampai jam sembilan atau sepuluh pagi, lalu pulang. Siangnya, saya gelar buku di madrasah sampai jam empat sore. Setelah itu, saya ke alun-alun atau balai desa gelar buku lagi sampai Maghrib. Habis Isya, saya bergantian dengan istri ngajarin pelajaran tambahan untuk anak-anak di rumah,” kata Robi yang baru bisa dihubungi lagi Rabu malam.
Kegiatan Robi dan istrinya, Kasmi, tidak berhenti sampai di situ. Sembari mengajar anak-anak, mereka jualan kopi dan goreng-gorengan di warung tenda sekitar 200 meter dari rumahnya di Bayalangu Lor. Di sana, ia juga menyediakan buku yang bisa dibaca siapa pun. ”Pokoknya ke mana pun saya bawa buku dan saya senang banget kalau buku itu dipinjam,” ujar Robi yang juga membuka Rumah Baca Bayalangu sekitar 400 meter dari rumahnya.
Baca juga: Kevindra Mencatat Denyut Perubahan Lewat Makanan
Robianto melakukan itu sejak lima tahunan yang lalu. Sebelum memiliki pedati untuk mengangkut buku, dia blusukan ke desa-desa di Kabupaten Cirebon dengan berjalan kaki. Di punggungnya tergantung ransel berisi 30-an buku bacaan miliknya. Di desa yang dia tuju, dia akan mengetuk satu per satu rumah warga dan membujuk penghuninya untuk membaca buku yang ia bawa.
”Awalnya 90 persen warga yang saya datangi menolak tawaran saya karena saya dulu dikenal sebagai anak nakal. Bahkan ada yang melempar buku saya pinjamkan sambil ngomong, ’Buat apa baca buku, emangnya bisa kaya’.”
Semakin ditolak, ternyata Robi semakin bersemangat. Dia sengaja tinggal di desa-desa itu rata-rata sekitar satu pekan meski harus menginap di balai desa atau mushala. Sering kali, ia tidak punya uang sama sekali untuk makan. ”Kalau ada orang yang kasihan memberi saya makan, ya saya makan. Kalau tidak saya puasa. Orang bilang saya gila. Saya sih masa bodo aja,” ujar Robi.
Robi terus blusukan ke desa-desa dengan berjalan kaki selama enam bulan untuk ”memaksa” warga membaca buku yang ia bawa. Kengototan itu lama-lama membuahkan hasil juga. Anak-anak mulai mendatanginya untuk meminjam buku bacaan, disusul orangtua mereka. Robi senang bukan main. Meski sebagian besar bukunya hilang. ”Kalau buku hilang atau dicuri orang saya malah senang. Itu artinya ada yang butuh bacaan,” tambahnya.
Karena buku yang ia bawa banyak yang hilang, Robi mulai kehabisan stok buku. Ia tidak punya uang untuk membeli buku bacaan bekas, apalagi yang baru. Suatu ketika seorang temannya bilang, ”Coba main medsos, barangkali ada yang mau menyumbang buku.”
Robi waktu itu menolak keras saran itu karena ia tidak suka main media sosial dan minta-minta sumbangan. Tetapi setelah direnungkan, bukankah aksinya justru bisa membuka ladang amal buat orang yang menyumbang buku. Maka, ia pun menghubungi teman itu dan minta diajari main Facebook. Setelah memiliki akun Facebook, ia mulai menceritakan pengalamannya blusukan menggelar buku di sejumlah desa.
Dari Facebook, ia terhubung dengan Nirwan Arsuka, penggerak Pustaka Bergerak Indonesia. Nirwan mengirim buku satu dus. ”Saya tambah semangat. Siang malam saya blusukan ke desa-desa bawa buku. Tapi enggak bisa jauh-jauh karena jalan kaki. Kadang saya pinjam motor tetangga tanpa bilang-bilang sekadar untuk ngirim buku. Dan, saya dimarahin habis-habisan ha-ha-ha.”
Roda pedati
Tahun 2016, Robi menonton televisi yang menayangkan Indonesia tempo dulu. Di situ diceritakan soal pedati. ”Saya langsung kepikiran, menarik juga bawa buku pakai pedati ke desa,” kenang Robi.
Saat itu, kebetulan ia memiliki kelebihan kayu setelah membangun rumah yang dibiayai dari hasil kerja istrinya sebagai TKI di Taiwan. Ia pun menyuruh tukang untuk membuatkan pedati dari kayu-kayu sisa. Di tengah jalan ia kehabisan modal. Ia juga bingung bagaimana caranya menarik pedati berat itu ke pelosok-pelosok desa. Meski begitu, ia yakin niat baiknya pasti akan jalan.
Baca juga: Latif Menguangkan Sampah Mengatasi Masalah Kota
Suatu ketika, ia dihubungkan Nirwan Arsuka dengan Muhammad Nursam, pendiri Penerbit Ombak di Yogyakarta. Ia mendonasikan uang kepada Robi untuk dipakai membeli motor bekas. Motor bekas itu dipakai untuk menarik pedati. Sejak saat itu, Robi blusukan dengan pedati berisi buku yang ia namai Pedati Pustaka selama berminggu-minggu. Ia singgah dari satu desa ke desa lain melalui jalan-jalan rusak atau tergenang air. ”Berkali-kali pedati saya nyungsep di jalan, terbalik. Badan juga berdarah-darah. Kalau sudah begitu, saya telepon kawan-kawan minta evakuasi.”
Seiring waktu, semakin banyak unggahan di media sosial yang menceritakan kegiatan Robi. Semakin banyak pula kiriman buku ke rumahnya. Robi sampai bingung bagaimana menampung buku sebanyak itu. Ia akhirnya mendirikan Rumah Baca Bayalangu sekitar 400 meter dari rumahnya di kios milik saudaranya. Rumah Baca itu buka 24 jam.
”Saya hanya menengok sehari tiga kali. Teman sempat bilang, kalau Rumah Baca enggak ditungguin terus, banyak buku yang hilang. Saya jawab, bagus dong kalau hilang, berarti ada yang butuh buku. Kita targetkan saja sebulan hilang 100 buku.”
Menghapus stigma buruk
Robi lahir dari keluarga sederhana. Ia tidak tahu kapan persisnya ia lahir karena orangtuanya pun lupa kapan ia lahir. Robi pun menetapkan sendiri tanggal lahirnya, 4 Oktober 1985. Saat ia kecil, orangtuanya bercerai dan ia diasuh oleh kakak ibunya. Karena tidak punya biaya, ia hanya bisa sekolah sampai kelas 6. Setelah itu, ia harus kerja serabutan di usia yang 12-13 tahun sebagai kuli atau pengamen. Selanjutnya, ia berkelana dengan anak-anak punk di jalanan.
Karena bergaul dengan anak jalanan, sering berantem, dan bikin onar di kampung, Robi dicap sebagai anak brengsek. Stigma buruk itu melekat bertahun-tahun. ”Masa lalu saya jeleklah. Ya bagaimana lagi, anak-anak kecil lain bisa main sama keluarga, saya enggak bisa. Satu-satunya hiburan saya adalah baca buku cerita. Tapi sewa buku atau komik mahal. Saya heran mau pintar saja susah,” katanya.
Robi lantas menuliskan cerita sendiri tentang pengalamannya di jalanan. Cerita dibuat dengan tulisan tangan. Setelah banyak, ia bendel seperti buku. ”Itu bacaan saya waktu jadi anak punk.”
Seiring waktu, ia lelah dengan kehidupan di jalanan. Ia pun merantau ke Malaysia sebagai TKI pada 2009. Sepulang dari Malaysia pada 2012, ia ingin kembali tinggal di kampung dan diterima seperti warga lainnya. Ia pun berusaha berbuat baik agar stigma sebagai anak brengsek pudar. Ia rajin membersihkan selokan dan ikut kegiatan lingkungan. Namun, ia merasa tidak cukup. Suatu ketika ia membaca survei UNESCO soal rendahnya minat baca anak-anak di Indonesia.
”Saya marah baca survei itu. Itu survei di mana? Saya yakin minat baca tinggi, tapi sarananya enggak ada.”
Dari situlah, ia terinspirasi terjun ke dalam gerakan literasi. Sejauh ini ia mengaku baru blusukan ke 12 desa di Kabupaten Cirebon dan sekitarnya.
”Impian saya Pedati Pustaka harus bisa blusukan ke 240 desa di Cirebon dan sekitarnya,” ujar Robi yang menghabisnya sebagian penghasilannya sebagai pedagang kopi dan gorengan untuk kegiatan literasi.
Stigma buruk yang melekat pada Robi kini sudah pudar. Apalagi, ia diundang Presiden Joko Widodo ke Istana untuk jamuan makan siang bersama penggerak literasi lainnya pada Mei 2017. ”Setelah pulang banyak yang minta foto sama saya, termasuk pejabat daerah. Saya malah jadi sungkan. Kok saya jadi kayak selebritas.”
Belakangan ini, Robi terserang penyakit asam lambung karena dulu sering tidak makan saat blusukan ke desa-desa. Untuk sementara, ia beredar dengan Pedati Pustaka-nya tidak jauh dari rumahnya. ”Tapi saya akan terus menarik dengan pedati ini, meski harus mati di jalan. Lewat gerakan literasi saya menghapus stigma, bisa beramal, sekaligus mengajak orang-orang desa menjalankan ajaran agama, yakni Iqra, bacalah!”
Baca juga: Bernardo Menenun Persaudaraan Indonesia-Mozambik
Robianto
Lahir: Kabupaten Cirebon, 4 Oktober 1985Istri: KasmiPendidikan: Kelas 6 SDN 03 Bayalangu Lor